Official Blog of Nugi Nugraha || Member of Google Corp & Blogger - Since 2011 || Copyrights 2011 - 2024 by Personal Blog & Google

Senin, 22 April 2024

Nugraha is My Name (part 28)

Nugraha is My Name (part 28)




PERINGATAN !



Sebelum membaca artikel ini, diharapkan agar pembaca sudah berusia 17 tahun, mempunyai kemampuan untuk menghargai dan menerima juga open minded. 

Karena artikel ini berdasarkan pengalaman pribadi dan terdapat konflik secara mendalam dari konteks, paradigma, opini dan juga akan menyertakan orang-orang yang pernah ada di kehidupan pribadi sang penulis secara jujur yang bisa dikonfirmasi secara komprehensif. 


-------


Tidak semua orang tau bagaimana kita menjaga, mengontrol isi hati, pikiran serta perasaan kita agar selalu baik-baik saja. 

Lantas, kenapa harus terpengaruh oleh perkataan mereka yang tidak tau kebenarannya? 


-------


Sakit hati yang paling sulit untuk diungkapkan adalah sakit hati seorang anak terhadap orang tuanya. Karena mengungkapkannya saja akan membuat dunia menilai seorang anak menjadi durhaka.

Diluar dunia dan syari'at, tanpa kepercayaan mana pun maka ungkapan itu hanya akan menambah rasa sakit semakin dalam bahkan bisa menjadi mati rasa. 

Sebagai anak harus selalu menuruti kemauan orang tua, ancamannya adalah neraka yang berawal dari penggalan kalimat "ridho orang tua adalah ridho Tuhan....".

Lantas bagaimana dengan perasaan dan keinginan anak? 

Orang tua hanya ingin yang terbaik untuk anaknya, orang tua hanya ingin anaknya sukses dan bisa mengangkat derajat orang tuanya, tidak sedikit pula ketika mempunyai anak adalah agar ketika para orang tua sudah tua nanti berharap anak-anaknya akan mengurus mereka. 

Apakah anak sudah menjadi bagian dari sebuah investasi? 


Banyak orang yang segalanya bisa sendiri, semua beban dia tanggung sendiri, rasa sakit dan rasa bahagia dia telan sendiri. 

Baginya, bercerita dan terbuka kepada orang lain adalah sebuah kelemahan. 

Dan momennya selalu menjadi hal yang tidak pernah terkendali dengan semua rencana hingga  akhirnya aku bertanya: 

"Apakah kamu baik-baik saja?" 


Aku mampu melihat arti dari tatapan mata seperti itu, sudah bukan menjadi hal asing bagiku. Seperti dejavu, seperti melihat kehidupan masa lalu orang-orang yang pernah sangat dekat denganku. Atau mungkin diriku sendiri? 

Semua orang bisa berjalan sendirian tapi tidak  semua orang bisa hidup dalam kesendirian, adakalanya harus ada orang lain yang bisa dipercaya untuk berbagai macam ceritanya. Sederhananya adalah ada orang yang bisa menjadi pendengar. 

Ditengah perjalanan hidup yang terkadang membingungkan ini, kita tidak terlalu butuh orang-orang yang memberi solusi, karena kita hanya butuh telinga mereka dengan mulut tertutup tanpa berusaha untuk menghakimi. 


Aku pribadi bukan orang yang dituntut oleh keadaan hingga harus memenuhi kebutuhan atau menghidupi orang lain, baik itu orang terdekat termasuk keluarga. Tanggung jawabku hanya diriku sendiri. Makanya aku bisa dengan leluasa untuk berjalan bahkan berlari kemana pun aku mau. Tidak ada beban yang tertinggal, tidak ada alasan untuk kembali jika aku tidak mau, tidak ada rumah untuk dituju, point-nya adalah tidak ada seorang pun yang membutuhkan apalagi menunggu kepulanganku.

Sebebas itu kehidupanku, begitu menyenangkan.  Tidak sedikit orang yang mendambakan kehidupan sepertiku. Tapi itu bagi mereka orang-orang yang tidak tau betapa kosongnya perasaanku.


Apakah aku bahagia? 

Aku tidak pernah merasa tidak bahagia. Bahkan ketika aku tidak bahagia pun, aku mampu menciptakan kebahagiaan dengan caraku sendiri. Entah itu dari rasa sakit yang sedang aku alami, entah itu dari apa yang sedang aku pikirkan, ataupun hal-hal kecil yang biasa saja bagi orang lain tapi menjadi sesuatu yang luar biasa jika sudah terjadi pada diriku. 


Ada beberapa percakapan antara aku dengan seseorang. Selama perkenalan kita dari tahun 2021 lalu, baru beberapa hari yang lalu kita membahas sesuatu yang aku pikir menjadi hal ter-deep sejauh ini. Tapi masih terkesan santai bukan sesuatu yang terlalu berlebihan. 


Tentu saja aku bukan anak kecil yang dengan polosnya untuk mendengar dan menanggapi apa yang dia katakan, mungkin reaksiku berlebihan tapi pikiranku masih berada di jalur dengan segala logikanya. Sehingga aku masih bisa memilih bagian mana yang perlu dijadikan pembahasan dan bagian mana yang aku pikir tidak terlalu penting untuk aku tanggapi. 

Ayolah! Aku bukan anak kemarin sore. 


Aku bukan ahli dalam bidang memberi solusi, karena aku tau kapasitasku sejauh mana dan seperti apa. Apalagi keadaanku juga yang sedang tidak baik-baik saja. 

Tapi aku pikir bahwa diriku sangat ahli dalam mencari titik dimana lawan bicaraku harus mengungkapkan perasaan terdalam dalam dirinya. 


"Siapa yang terpenting dalam hidupmu?"

Hingga akhirnya dia mengatakan bahwa keluarga adalah segalanya. Dia tidak bisa jauh dari keluarganya. Keluarga adalah hal terpenting baginya. 


Tidak ada yang salah dari itu semua. 

Tapi saat aku bertanya, dari sekian banyak orang yang ada dalam lingkungan keluarga, ditengah-tengah pengorbanan dia untuk keluarga, dengan segala macam cara usaha dia untuk keluarga, ada satu orang yang sangat penting untuk dia bahagiakan, siapkah orang itu? 

Diluar prediksi, dia kebingungan untuk menjawab itu. Beberapa kali dia menjawab dengan jawaban yang aku pikir belum tepat. 


Kataku.

Kamu harus ingat, kamu adalah segalanya bagi mereka, begitupun mereka yang seberharga itu bagimu. 

Mungkin memang bukan tugasmu untuk membahagiakan orang lain meskipun itu keluarga, tapi semua orang mempunyai pilihan dalam hidupnya, entah itu terpaksa atau memang sudah menjadi bagian dalam dirinya. Tapi mereka hanya bagian ditengah perjalanan hidupmu, sewajar, secukup dan seperlunya saja, karena ada yang lebih penting daripada mereka, yaitu diri kamu sendiri.

So, jangan lupa untuk membahagiakan diri kamu sendiri.


Reaksinya seperti baru tersadarkan dari mimpi panjang, dia baru paham dan mengerti bahwa dirinya adalah hal terpenting dalam hidupnya. 

Mungkin dia lupa bahwa setiap orang mempunyai tanggung jawab untuk membahagiakan dirinya sendiri. 


Aku juga sempat bertanya tentang pengalaman yang membahagiakan baginya selama dia hidup.

Jawabannya cukup standar bagi orang yang sepantaran dia. Ya, lumayanlah. 

Lalu aku bertanya tentang pengalaman atau hal yang membuat dia bersedih.

Kamu bisa menebak apa yang terjadi? 

Tidak ada reaksi yang terjadi, dia hanya menjawab, "bingung".


Bingung adalah satu kata yang menyimpan banyak jawaban. 

Bukan hal yang menyenangkan tentu saja, tapi bingung karena terlalu banyak bagian mana yang harus dipilih dan diungkapkan. 


-------


Tidak ada yang spesial dariku.

Sebaik-baiknya aku lebih baik orang lain, seburuk-buruknya orang lain, lebih buruk diriku.

Tapi bisa dipastikan apa yang aku katakan adalah sebuah kebenaran berdasarkan logika dan perasaan bukan menyudutkan apalagi sebuah kepalsuan.