Official Blog of Nugi Nugraha || Member of Google Corp & Blogger - Since 2011 || Copyrights 2011 - 2024 by Personal Blog & Google

Senin, 16 Maret 2020

Aku, Seorang Deisme (HJML 2020 part 3)

WARNING !!!

LEBIH BAIK KAMU CLOSE BLOG SAYA SEGERA!!! KECUALI JIKA KAMU ORANG YANG MEMPUNYAI PIKIRAN TERBUKA ATAU MENGANGGAP INI HANYA BACAAN BIASA!!!
Karena berisi materi yang memungkinkan kamu untuk berpikir lebih untuk mencernanya.

***



Jika seorang anak yang terlahir ditengah keluarga dengan kultur yang kuat dan pengaruh agama yang kuat pula, tentu saja akan terbentuk juga pribadi yang sangat baik, kurang lebih sama seperti anggota keluarga lainnya.

***

But not mean to me.

Sajak kecil saya diajarkan untuk mengucapkan 3 kata untuk diucapkan setiap kali saya berbicara, dimanapun dan kapanpun juga kepada siapapun, yaitu kata "maaf, tolong dan terimakasih".

Jika saya melupakan salah satu kata tersebut dalam sebuah ucapan, pasti akan ada teriakan yang keras dan lantang tentunya. Itu berlaku bagi semua anggota keluarga. Bukan hanya anak-anak, tapi semua orang yang ada di rumah pastinya.


Ada sebuah kalimat bijak, "jika ada orang bodoh dia masih bisa diajarin, jika ada orang salah dia masih bisa dibenerin, tapi jika sudah tidak punya rasa hormat dan tidak bisa menghargai orang lain itu yang susah untuk diobatin". 

Karena itu perlu ditanamkan dalam hati, bahkan sejak jiwanya belum terbentuk.
How do u understand it ?


Ada untungnya ketika saya pribadi memiliki keluarga yang mengutamakan sopan santun seperti itu, mungkin cara penyampaiannya yang keras, ya memang keras, tapi percayalah jika pikiran kita selalu terbuka akan hal apapun, pasti hasilnya akan baik, dan terbukti saya bisa menerapkannya dalam kehidupan saya dewasa ini. Meskipun tidak selalu seperti itu, tapi setidaknya saya faham ketika suatu waktu harus berhadapan dengan siapa.

***

Tapi saya tidak tertarik sama sekali dengan politik, bagi saya politik itu tidak ada yang benar. Tapi saya juga tidak akan bilang kalau politik itu salah, hanya saja pandangan saya tentang politik seperti melihat angin, dia tidak terlihat tapi terasa dan tau bahwa itu angin, dan sadar ataupun tidak dia berguna, meskipun terkadang membuat semuanya menjadi buruk. Dan ketika tau itu buruk, orang-orang masih berusaha untuk menemukannya. Itulah persamaan angin dan politik menurut saya.
Not interested. U ?


Agama ? 
Well, saya akan membuat pengakuan di blog ini. 
Sebenernya ada beberapa teman saya yang sudah tau, keluarga saya juga ada yang tau.
Tentu saja mereka yang mempunyai pikiran terbuka dan menerima untuk setiap perbedaan dan cara pandang mereka yang luas, dan tentu juga bukan orang yang ada di pihak untuk mencoba menghakimi.

Saya seorang deisme. 
Itu sejak lama, mungkin sekitar 2 atau 3 tahun yang lalu. 
Of course saya sholat, tapi kalau hari Jum'at dan itu kalau kebetulan lagi di rumah. Dan saya masih ikut sholat idul Fitri dan idul Adha, itu juga kalau saya kebetulan jika sedang merayakannya di rumah. Tapi bukan berarti saya menjadikan sholat sebagai kedok untuk menutupi semuanya, saya mencari sisi baik dari itu, saya juga masih membeli baju untuk lebaran.

Saya tidak percaya agama manapun lagi, karena saya sadar dalam diri saya untuk berbuat baik tidak harus didasari dengan agama, saya juga sangat sadar bahwa untuk takut ketika melakukan salah tidak harus terikat dalam sebuah agama. 
Saya percaya semua agama itu mengajarkan kebaikan, mengajarkan bahwa berbuat yang tidak semestinya itu tidak baik. Saya juga tau bahwa semua agama adalah masing-masing yang terbaik menurut mereka yang memeluknya.
Islam adalah agama saya dulu, tentu saja di KTP juga masih, karena saya tidak pernah ditanya agama saya apa oleh orang lain, tentu saja dengan serius, dan mungkin saya akan menolak untuk diajak berbicara tentang agama, dan ketika suatu saat harus mengisi data, mereka meminta saya untuk mengisinya sesuai KTP, atau saya yang sebaliknya akan bertanya.
KTP saya bukan saya yang buat, dan deisme bukanlah agama atau suatu kepercayaan atau bahkan organisasi. 

Saya percaya adanya Tuhan yang memulai semua ini dan Dia sudah menentukan semuanya diawal, seperti jam mesin otomatis yang berjalan dengan sendirinya tanpa perlu ganti baterai lagi, tanpa perlu setting ulang ditengah jalan, segalanya sudah dimulai sejak lama, dan kapan akan berakhir.
Dia hanya menciptakan tapi Dia tidak ikut campur setelahnya, cukup sampai disana.
Kalau ada yang bilang Dia selalu ada diantara kita, kenapa ada orang jahat yang menang dan orang baik yang tersakiti ? Kenapa Dia membebaskan manusia untuk melakukan apapun yang mereka mau ? Kenapa Dia membiarkan orang-orang berkuasa selalu menang padahal mereka belum tentu benar ? Kenapa dia membiarkan orang kaya semakin kaya dan orang miskin semakin miskin ? Kenapa masih banyak orang-orang yang kelaparan ? Kenapa masih ada yang berperang ? 


Dibalik semua itu, orang-orang yang katanya memiliki agama paling baik diantara agama lainnya masih banyak yang berselisih, yang katanya agamanya terbanyak dianut di dunia kenapa masih melakukan pengkhianatan, yang katanya beragama kenapa agamanya hanya dijadikan ajang politik, yang katanya memiliki agama kenapa agamanya hanya dijadikan untuk menghakimi orang lain yang menurutnya sendiri tidak lebih baik darinya, seolah-olah dia Tuhan ?
Kenapa ?

Yang katanya beragama tapi masih berpikir dua kali jika mau melakukan kebaikan ? Yang katanya beragama tapi masih membiarkan sesamanya menderita karena diabaikan, dihina, dikucilkan, dibuang ?
Yang katanya beragama tapi kenapa masih memandang apakah dia heteroseks atau LGBT ? Bukankah yang beragama itu seharusnya rukun dan saling menolong dan tidak membiarkan sesamanya sederajat di bawah dia ? 
Yang katanya beragama tapi masih meninggalkan kewajibannya sebagai makhluk beragama ? Sekalinya melakukan ibadah hanya untuk pamer seolah berkata "hey saya sudah beribadah, kamu tidak, maka saya lebih baik dari kamu" 


Saya tau, saya sadar, saya akui, bahwa saya terlalu kurang suka kepada orang-orang yang mengaku beragama tapi perilakunya jauh dari ajaran agama. 
Saya tidak membenci agama apapun, sekali lagi saya katakan saya percaya bahwa semua agama itu baik, dan tidak semua orang yang beragama adalah mereka orang-orang yang tidak baik, hanya sebagian saja. Lebih jelasnya adalah orang-orang di dalamnya.

Dan saya mulai ada rasa tidak peduli akan hal itu.

Karena saya punya prinsip, saya bisa mengakui keberadaan Tuhan tanpa harus berada di pihak agama manapun, saya tidak mau ada diantara mereka yang memposisikan dirinya di suatu agama untuk mempercayai adanya Tuhan.
Saya masih bisa bersyukur dengan berbuat baik kepada orang lain, tidak merusak ciptaan-Nya, tidak melanggar aturan, saya berusaha melakukan hal-hal baik setiap hari, saya akan mengaku jika suatu saat saya berbuat salah, saya berusaha menjadi orang baik setiap saat, saya selalu mencoba bersikap menyenangkan di hadapan orang lain, saya selalu berusaha untuk jauh dari hal-hal yang sekiranya akan membuat diri saya rugi, dan saya masih sama seperti kebanyakan orang, bedanya saya tidak mendasarkan semuanya dengan agama atau kepercayaan apapun.

Karena saya yakin, jika orang baik itu tidak harus memiliki keinginan terlihat baik oleh orang lain, dia melakukan semuanya atas kesadaran dirinya sendiri.


***

Saya tidak tau akan bagaimana kalau mereka tau semua ini, yang pasti saya yakin bahwa mereka pada awalnya akan sulit menerima, tapi saya juga yakin bahwa mereka akan ingat bahwa saya sudah dewasa dan tidak berbuat jahat apalagi menyakiti orang lain.
"Ini baru pengakuan kecil". 

Ini bukan berarti ajaran agama saya kurang, atau keluarga saya tidak pernah mengajarkan kepercayaan sejak kecil, atau saya tidak pernah membaca buku agama dan atau pergi ke majlis, tapi ini tentang hati dan cara berpikir, yang tentu saja semua orang mempunyai pendapat yang berbeda.
Kebanyakan orang memeluk suatu agama karena turunan dari keluarganya, agama turun temurun ?
Dan saya juga yakin banyak orang yang beribadah karena dia merasa "takutnya" nanti setelah kematian diminta pertanggungjawaban oleh yang menciptakannya. Sebagian saja, tidak semua, jangan mulai menghakimi. OK ?

***

Well, dewasa ini semua orang mempunyai hak yang sama untuk melakukan yang terbaik bagi dirinya, entah mungkin itu jauh dari kata baik menurut orang lain, tapi apa hak orang lain untuk menilai yang lainnya ? Selama itu tidak merugikan, kenapa harus khawatir ?
Yang penting prilaku kita tetap baik kepada sesama, kepada alam, kepada makhluk hidup lainnya dan terutama masih bisa memperlakukan diri sendiri sebaik mungkin, terutama hati dan pikiran kita.

By the way, saya jadi khawatir setelah menulis ini, apakah cara berpikir kamu semakin terbuka untuk menerima perbedaan atau malah semakin menyempit karena mengetahuinya ?
But, semua orang punya pilihan.

Whatever.

Next: Hidupku Just My Life (part 4)

Minggu, 15 Maret 2020

Hidupku Just My Life 2020 (part 2)



Ini tentang sebuah cerita dari orang yang mempunyai sedikit mimpi dan sedikit harapan tanpa perlu ada pengakuan dari orang lain yang membaca atau mendengar semua ceritanya.
Jika kamu pada akhirnya menjadi salah satu orang yang menjadi pembaca atau pendengar isi hati orang itu, saya yakin itu karena tidak sengaja, dan atau kemungkinan lainnya adalah kamu ingin benar-benar tau siapa dan bagaiamana saya.

***

Ketika saya memutuskan untuk memperbaiki diri, ternyata itu seperti sesuatu yang bisa dikatakan sangat amat tidak mudah untuk dilakukan, seperti pemalas yang enggan untuk bangun dari tempat tidurnya, seperti orang-orang yang nyaman dengan kehidupannya saat ini, seperti orang-orang yang tidak lagi peduli akan hari esok, seperti orang yang sama sekali tidak khawatir akan sesuatu yang akan terjadi dengan dirinya dikemudian hari.

Well, saya mau membuat pengakuan, yang saya khawatirkan dalam hidup adalah tentang akan dimana saya tinggal 30 tahun mendatang jika umur saya sampai ke waktu itu. Rumah ? Ya, mungkin saya akan berhenti bekerja jika saya sudah mempunyai rumah impian dengan ukuran 4x5 2 lantai dengan dapur dan ruang TV di lantai 1 dan kamar pribadi di lantai 2, dengan halaman yang tidak terlalu luas, tanpa kolam ikan apalagi kolam renang karena saya tau merawatnya butuh waktu khusus dan biaya yang tidak sedikit, mungkin beberapa pot bunga atau 2-3 pohon yang bisa berbuah seperti jeruk atau mangga.

But that’s just a dream.

Saya tidak pernah mau mengakui bahwa itu sebagai masa depan, mungkin hanya masuk ke daftar keinginan saja, karena saya masih ingat yang diucapkan dia, “jangan terlalu serius manatap masa depan yang belum tentu dapat kita lalui, jalani saja apa yang terjadi saat ini”, mari kita artikan secara awam!
Bukankah semua orang berhak mempunyai mimpi, bahkan ada pepatah “where there is a will there is a way” “gantungkan cita-citamu setinggi langit” dan masih banyak lagi kalimat bijak yang mungkin membuat orang berlomba-loba untuk membuat daftar mimpinya.
Apakah dia tidak mengharuskan saya memiliki keinginan tinggi ? Apakah dia tidak percaya bahwa setiap mimpi akan dapat terwujud dengan terus berusahanya orang itu untuk mencapainya, mewujudkannya ?
Atau, dia tidak percaya kalau saya mampu membuat berbagai mimpi dan mencoba untuk menjadikan semua mimpi-mimpi itu menjadi nyata ? Karena kalimat itu seperti sebuah benih yang setiap hari tersiram oleh banyak kepercayaan dan semakin hari semakin tumbuh dengan cepat hingga kuat dengan akar serta ranting dan batang yang kokoh hingga tidak mudah lagi untuk dicabut dari pikiran ini.
Bagaimana bisa dia menanamkan kepercaan seperti itu ? Jahatkah ?
Ya, saya berpikir seperti itu.

But it was.

Sebelum saya bisa membuka pikiran dengan benar-benar terbuka, sebelum saya mampu menerima keadaan hidup yang ternyata tidak semudah yang dibayangkan, sebelum saya sadar bahwa hidup ini bukan hanya tentang mimpi dan terus bermimpi, sebelum saya faham bahwa untuk mewujudkan satu atau bahkan setengah dari mimpi saja ternyata membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Setelah saya mencoba berpikir apa arti dibalik kalimat itu, ternyata bukan berarti kita tidak boleh mempunyai keinginan atau mimpi, hanya saja harus sadar dengan kemampuan diri kita, harus tau sampai mana batas garis cara berpikir dan cara pandang kita untuk hal-hal yang memang terlihat jauh di depan sana. Jangan terlalu serius manatap masa depan karena itu semua belum tentu benar-benar dapat kita lewati, jangankan kita lewati, sampai di titik itu saja belum tentu kita mampu. Ini bukan tentang pesimis akan sesuatu, tapi untuk zaman sekarang ini kita tidak bisa mengandalkan angan-angan untuk tetap bisa bertahan hidup. Kita butuh logika yang semua orang juga tau bahwa itu jauh lebih penting dibandingkan hanya memakai firasat atau perasaan. Makanya lebih baik fokus dengan apa yang kita kerjakan saat ini, lebih baik jalani dengan benar dan yakin apa yang terjadi saat ini. Jika ada peluang maka manfaatkan itu, jika ada masalah maka segera selesaikan itu.
Kita tidak bisa membuang waktu untuk bermimpi.

***

Menurut psikolog, katanya kecerdasan anak itu gen dari sang ibu. Tentu saja termasuk bodoh dan pintarnya anak ya bisa dibilang itu turunan dari sang ibu, itu bahasa kasarnya. Ya contohnya bagaimana dia berpikir, berbahasa dan berintelektual.
Dan selebihnya adalah turunan dari sang ayah.

Well, saya tidak pernah khawatir dengan kegagalan si pencukur rambut yang memotong rambut saya yang ternyata hasil akhirnya jauh dengan keinginan yang saya mau di awal, karena dalam beberapa hari saja pasti akan tumbuh dengan cepat. Saya tidak akan pernah memarahinya jika itu terjadi lagi, karena saya berpikir itu hanya akan membuang waktu dan membuka sisi lain saya yang buruk jika saya melakukan itu.

Lain halnya jika salah cara asuh anak.

Jika seorang anak dari usia dini ditanamkan hal-hal buruk like bertengkar di hadapan dia, memarahinya di depan umum, menghukumnya melebihi apa yang dia lakukan, membatasinya untuk berbicara, atau yang lebih buruknya adalah tidak pernah berbicara dengannya.
Mungkin uang memang segalanya bagi sebagian orang dan saya, tentu saja. Tapi anak kecil, mereka tidak butuh itu, mereka hanya ingin di dengar dan dianggap. Semuanya bisa dibeli dengan uang, tapi waktu tidak akan pernah bisa kembali apalagi dibeli.
Ini semua bukan tentang masa lalu saya, saya hanya melihat dari kehidupan anak-anak zaman sekarang. 
How about your child ?

***

Saya tidak pernah menganal ibu saya dengan benar, saat saya umur 1,5 tahun saya tinggal dengan tante saya, karena ibu saya sakit, dan saat saya kelas 1 SD ibu saya meninggal. Bahkan saya sama sekali tidak mengingat wajah orang yang melahirkan saya. Tapi saya bisa mengenal dia dari orang-orang yang memang mengenalnya dengan benar dan dari kakak saya, dan tentu saja dari diri saya sendiri.
Saya tau bagaimana dia berpikir, bagaimana dia berprilaku, bagaimana dia memperlakukan orang-orang disekitarnya, bagaimana dia melihat sisi lain dari kehidupan ini dan masih banyak lagi yang bisa saya kenali karena semakin hari saya sadar bahwa dia memang sudah tiada tapi tidak dengan apa yang dia tinggalkan. Tentu saja apa yang ada di kepala saya, saya jadi tau cara berpikir yang baik, saya jadi tau bagaimana berprilaku yang seharusnya, saya jadi faham bagaimana cara memperlakukan orang-orang yang ada dikehidupan saya, dan saya semakin mengerti bagaimana cara saya melihat kehidupan dari berbagai sisi.

Bagaimana dengan ayah ?
Saya ingat waktu itu mungkin umur saya sekitar 3 tahun. Ketika ayah saya masih memakai celana jeansnya. Saya meminta cincin persis dengan apa yang dia pakai saat itu. Dan tidak lama setelah itu dia mengirmkannya ke rumah tante saya. Tapi cincin itu hilang di kolam ikan depan rumah.
Terus mendapat kiriman banyak tauco darinya, karena dia sering sekali pergi dinas ke daerah Cianjur kota. Rasanya lumayan enak, tidak seburuk buatannya yang sengaja dia buat sendiri di rumah beberapa tahun lalu.
Saya ingat ketika saya awal masuk sekolah SD, saya mempunyai kebanggaan tersendiri kala itu, karena my dad is my teacher. Itu berlaku sampai saya masuk SMA. Tapi sejak SMA saya baru sadar bahwa ayah saya sama sekali tidak berpengaruh lagi untuk menunjang kepercayaan diri saya dan itu berlaku untuk kehidupan saya mulai saat itu. Karena ternyata saya baru menyadari, waktu sudah berubah, sudah bukan saatnya lagi untuk berada dibawah payung bersamanya lagi, saya harus mempunyai tempat baru untuk berteduh. Apalagi sejak saat itulah kalimat-kalimat bijak versi dia mulai saya dengar dan tertanam di dalam hati dan terngiang terus dalam dipikiran ini, yang hingga akhinya saya mau tidak mau memiliki pemikiran-pemikiran yang berdasarkan logika dalam kehidupann saya sampai saat ini.
Dia keras, pemikir yang hebat, pemecah masalah, pemberi solusi, ahli matematika, jago begadang, perokok sekaligus peminum kopi, bersahabat dengan siapa saja, dan tentu saja temannya banyak dan ada dimana-mana, sopan, selalu menyapa, dikagumi banyak orang, dihormati banyak orang, disegani banyak orang, banyak orang yang mau ada diposisinya seperti saat ini, jago masak, dan masih banyak lagi sisi lain dari dia yang belum saya tulis.
How about me ?
Saya keras ? Ya, tapi itu dulu, ayah saya juga dulu, sekarang dia sudah tidak sekeras dulu, mungkin keluarga saya tau perubahan itu. Pemikir ? Ya, tapi tidak untuk hal yang tidak menguntungkan, u know, untuk apa berpikir keras untuk hal yang sama sekali tidak ada artinya. Pemecah masalah ? Saya tidak terlalu ahli jika menjadi penengah, atau pada suatu waktu ada yang meminta solusi, saya akan menjawabnya dengan spontan karena jika dipikir lagi saya selalu merasa bahwa semakin lama dipikir dan dicari solusinya maka akan timbul jawaban bahwa itu tidak penting lagi untuk diselesaikan. Pemberi solusi ? Sama dengan apa yang saya bilang barusan. Ahli matematika ? Saya tidak bodoh dalam berhitung, tapi pikiran saya terlalu cepat untuk menambahkan/mengurangi/membagi/mengalikan angka, hingga akhirnya saya tidak mampu menemukan jawaban yang sebenarnya dengan cepat, sama halnya dengan tulisan tangan saya yang hanya bisa dimengerti oleh saya sendiri. U know what I mean. Jago begadang ? Ya, tentu. Perokok sekaligus peminum kopi ? Rokok saya kadang-kadang, tapi tidak untuk kopi. Ada kabar terakhir bahwa ayah saya juga sekarang sudah mengurangi rokok dan kopinya. Bersahabat dengan siapa saja ? Saya ? Tergantung. Tapi saya bisa mengenal semua orang dari semua kalangan. Sopan ? Tergantung dengan siapa saya berhadapan, tapi kadang saya suka khilaf kalau sudah kenal sama orang, kadang sopan saya berkurang karena terlalu banyak lawakan, yeah like him. Selalu menyapa ? Tergantung. Dikagumi banyak orang ? Sampai saat ini hanya saya sendiri yang dengan sadar mengagumi diri saya sendiri. Narsis! Dihormati orang ? I don’t know. Tapi sampai saat ini 95% orang fine-fine saja. Jago masak ? Saya tidak jago, hanya bisa. Jadi masih bisa diandalkan kalau suatu waktu tidak ada makanan di rumah ya saya selalu inisiatif untuk memasak.Sebuah fakta, di rumah saya semua orang bisa memasak.

Saya memang merasa tidak sama dengannya, tapi secara garis besar saya masih membawa sedikit gen dari dia. Dan saya bersyukur telah ditanamkan banyak logika dalam diri saya yang ternyata sangat berguna dibanding yang lainnya, karena kehidpan ini harus dihadapi dengan logika agar semua semakin masuk akal dan mudah untuk dimengerti.
Meskipun saya baru tinggal dengannya sejak SMP, tapi itu semua sudah lebih dari cukup, karena saya merasa bahwa dia mampu menebus waktu bertahun-tahun dengan apa yang dia tanamkan.