Official Blog of Nugi Nugraha || Member of Google Corp & Blogger - Since 2011 || Copyrights 2011 - 2024 by Personal Blog & Google

Minggu, 24 September 2023

Kekeliruan



Selama kamu nyaman dengan pilihan hidup kamu, jalani saja, jangan pernah takut dengan apa yang kamu pilih, jangan pernah ragu  untuk menjalaninya dengan cara kamu sendiri, karena setiap orang pasti punya pilihan hidup yang berbeda-beda, follow your heart, hidup kamu milik kamu, hidup kamu tanggungjawab kamu. 


Meskipun demikian, tetap saja akan ada orang yang tidak pernah menghargai keputusan kita, entah bertindak sebagai hakim atau Tuhan bahkan tidak sedikit yang mendeklarasikan dirinya sebagai ahli dalam  seni kehidupan. Beberapa dari mereka juga sanggup berpura-pura bijaksana dalam menanggapi kenyataan yang terjadi dalam hidup kita. 


Mungkin aku sendiri akan dengan mudah untuk jatuh hati, berawal dari mengagumi, mempercayakan cerita hidupku kepada mereka, dan yang lebih rumitnya adalah aku harus berlagak seperti tidak merasakan apa-apa terhadapnya. 

Sangat sulit untuk menghindarinya, terutama jika sudah bertentangan antara hati dan pikiran. 

Hati yang terus menerus menginginkannya, tapi pikiran dengan segala logikanya berusaha untuk menolak dengan banyak alasan dan kebingungan. 


Cepat jatuh hati adalah kelemahan terbesarku, tidak lagi bisa berasumsi bahwa tenyata tidak semua orang akan memiliki kemampuan untuk menerima dan membalasnya. 

Padahal aku hanya ingin dimengerti, dipahami dan mungkin terbuka sepenuhnya kepada siapapun itu orangnya.


Aku benar-benar akan merasa tidak berdaya jika sudah berusaha menjauh, melupakan dan berbohong tentang perasaan. 

Mungkin aku tidak akan pernah bisa mengungkapkannya, tapi perilaku dan isi hatiku akan terus memaksa agar terus menerus mendekatinya. 

Padahal aku memiliki ketakutan yang luar biasa jika pada akhirnya bukan malah berkurang tapi justru sebaliknya, yaitu mengagumi dari dalam hati yang berujung dengan rasa cinta. 


Sebenarnya tidak ingin lebih, karena aku hanya jatuh hati. Tidak berharap lebih apalagi menjadi sebuah hubungan, tapi cukup dekat dengannya saja sudah lebih dari cukup bagiku.

Ya, hanya ingin didekatnya saja.

Tidak harus selalu bertemu ataupun bersama, tapi cukup hanya dengan hal-hal sederhana seperti saling bertukar kabar, menayangkan hal-hal yang tidak begitu penting, saling menyemangati, berusaha untuk saling menguatkan dan berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. 


Mungkin aku tidak akan pernah bisa menjadi seperti yang dia inginkan, atau menjadi seperti yang dia harapkan.

Tapi aku selalu yakin bahwa aku bisa lebih baik dari orang yang sedang bersamanya saat ini. 


Perjalanan hidupku sudah cukup panjang.

Merasakan sakit dan bangkit, kecewa dan kembali menerima semuanya, dihakimi dan dijauhi oleh banyak orang. 

Dan dari itu semua aku masih tetap berusaha mengatakan kepada diriku bahwa semuanya akan baik-baik saja. 

Tidak ada yang abadi, rasa cinta dan sakit hati sekalipun. 


Satu hal yang paling menyakitkan adalah disaat kita peduli dan sayang juga berusaha membahagiakan seseorang tapi ada orang lain yang terus mengecewakannya. 


Mungkin yang  menyayangimu memang bukan hanya aku, tapi yang akan menyayangimu disaat orang lain tidak menyayangimu bisa dipastikan dan aku janjikan bahwa orang itu adalah aku. 


Semua itu memang akan memberatkan satu orang saja, apalagi ketika ada di pihak yang mengejar bukan dikejar, berusaha mengerti bukan untuk dimengerti, mencoba untuk mendengarkan bukan ingin didengar.


Ketika kembali ke alasan awal, semuanya tergantung dengan apa yang akan dipilih, karena pada akhirnya hanya kita sendiri yang memilih untuk disakiti atau menyakiti. 


And you know what, bukan itu semua yang akan menjadi masalah, tapi kekeliruan tanpa kejelasan yang mencampur adukkan perasaan yang ada di hati. 

Berharap tapi tidak melihat. 


Untukmu, Semut.


Pangalengan, 24-09-23

Kamis, 21 September 2023

Bumi dan Ketidaksempurnaannya



Antara surga dan neraka, ada tempat yang tak sempurna, yaitu bumi. 

Ditengah ketidaksempurnaan bumi, ada manusia yang masih belajar saling memahami dan menemukan juga saling sapa seperti matahari dan bulan meskipun tidak pernah bersama tapi keduanya saling memberi.


Meskipun masih ada manusia yang terkadang terlalu fokus untuk masa depan yang belum tentu bisa mereka jalani, melupakan masa sekarang ditengah ketidakpastian yang pada kenyataannya adalah hanya saat ini yang bisa membuat mereka bahagia. 


Ketika ada manusia yang berusaha saling mengerti ditengah perjalanan mereka masing-masing, saling menguatkan, saling bercerita, saling berbagi, saling mengisi, saling menenangkan yang pada kenyataannya mereka sama-sama sedang rapuh. Maka disitulah letak kesempurnaan yang sebenarnya. 


Aku tau, terkadang aku merasa tidak pantas untuk dicintai ataupun mencintai, tapi pada akhirnya aku sadar bahwa bukan cinta yang aku cari dan bisa aku berikan.. Cinta itu akan hilang dengan sendirinya begitu cepat, tapi yang membuat bertahan hanyalah rasa peduli dan saling mengerti juga menerima. 

Dan sampai kapanpun aku akan tetap berdiri menjadi pribadi yang apa adanya, mematahkan perasaan yang tidak pernah pantas untuk dicintai ataupun sebaliknya.


Mungkin aku pernah mengecewakan orang lain, pernah dikecewakan oleh mereka, pernah menyakiti orang lain dan mungkin pernah disakiti oleh mereka, tapi diriku yang sekarang tidak dibentuk dari itu semua. Aku tidak akan pernah bisa menyalahkan masa lalu dan keadaan ataupun orang lain. 

Karena diriku adalah apa yang sebenarnya benar menurut keyakinanku. 


Aku tidak bisa meyakinkan orang lain, tidak bisa berjanji kepada mereka, tidak akan pernah mampu untuk mengendalikan pemikiran dan perasaan mereka tentang diriku, aku adalah aku. 

Tapi satu hal yang mungkin akan aku katakan, bahwa aku tidak akan pernah membiarkan siapapun mengubah apa yang sudah aku pilih, yang sudah aku lalui dan sudah aku pertahankan selama ini, kecuali orang itu bisa memberi alasan yang bisa aku terima diluar dalil dan sekutunya. (Memangnya ada?)


Aku percaya akan selalu ada orang yang tidak pernah menyukai akan keputusanku, tapi aku juga selalu percaya masih banyak orang yang akan mengatakan, "kami menerima kamu apa adanya sebagai keluarga dan teman". 

Aku selalu bersyukur karena masih banyak orang yang terus terang mengatakan bahwa mereka tidak menyukaiku, dan dibalik itu ternyata masih banyak juga orang yang bersedia menerimaku apa adanya.


Aku tidak akan pernah meminta lebih, aku sudah merasa cukup dengan semua ini. 

---

Bila air yang sedikit sudah mampu menghilangkanmu rasa haus maka tidak perlu lagi meminta air yang lebih banyak yang bisa saja menenggelamkanmu.

Jangan memaksakan yang kamu belum mampu, bisa saja jatuh bangunmu selama ini adalah pelajaran membuat kapal.

Jika nanti air yang lebih banyak diberikan, kamu sudah mempunyai kapal yang bisa membuatmu berlayar tanpa takut lagi tenggelam.


Kapal tidak tenggelam karena air disekelilingnya, tapi kapal tenggelam karena air yang masuk kedalamnya.

Jangan biarkan apa yang terjadi disekitarmu masuk kedalam pikiran dan memberatkanmu.

---


Tentang perasaan, yang butuh waktu yang cukup panjang untuk dapat memutuskan apakah harus dilanjutkan atau dihentikan, karena pada dasarnya perasaan saja tidakkah cukup karena akan seimbang jika bersama dengan pemikiran. 

Mungkin aku akan jatuh hati kepada seseorang dengan mudah dan dengan cepat, tapi sejauh ini aku masih sulit jika harus sampai ke tahap jatuh cinta, itu level yang berbeda. 


Aku suka terinspirasi oleh orang yang aku temui, mengetahui sisi lain dari dirinya, mendengarkan banyak cerita hidupnya, meskipun masih banyak dari mereka yang salah mengartikan semua itu. 

Again, kita tidak akan pernah bisa mengontrol apa yang ada di dalam diri orang lain, entah itu pemikirannya, perasaannya, dan mungkin niat-niatnya. Tapi satu hal yang mungkin bisa kita jaga, yaitu bagaimana reaksi kita terhadap apa yang kita terima. 


---


Hope all is well.

Selasa, 19 September 2023

Namaku, (?) Part 1



(Part 1)



Aku tidak mempunyai nama, identitasku juga tidak jelas, apalagi ketika aku lulus dari sekolah khusus yang tidak semua orang mengetahuinya, yaitu sekolah intelijen.

Aku seorang pembunuh, pencuri, penipu, seorang pembohong, dan aku juga seorang pengkhianat.

Aku melakukan semua itu demi satu hal yang aku kejar. Yaitu,.....

Tapi sebelumnya aku harus menemukan siapa diriku, dimulai dari namaku.


Permasalahan dalam hidup ini terkadang tidak mampu kita mengerti, sama halnya dengan seni yang tidak harus di pahami melainkan hanya cukup untuk diterima - Seni Kehidupan.


***


Akhirnya aku mampu mewujudkan mimpiku selama ini, aku mempunyai rumah 2 lantai dengan pemandangan yang langsung ke laut lepas. Bentuknya persis sama dengan yang aku gambar saat di bangku sekolah dasar dulu, dengan warna cat abu, jendela kaca yang banyak, roof top untuk barbeque, dan ada kolam ikan di halaman belakang. 

Rumahku tidak terlalu besar, tapi mempunyai halaman yang cukup luas yang dipenuhi dengan berbagai macam tanaman.


Aku membeli rumah ini sudah dari 2 tahun yang lalu, tapi baru benar-benar aku tempati sekitar 3 bulan. Sebelumnya aku berpindah-pindah tempat karena harus mengurus beberapa pekerjaan. 


Aku seorang laki-laki yang tidak mempunyai nama yang pasti, umurku saat ini 30 tahun, pekerjaanku adalah...


***

Hidup ditengah keluarga yang harmonis adalah impian setiap anak. Rasanya begitu bahagia.

Mempunyai ibu yang memanjakan anak-anaknya, dan ayah yang selalu pengertian. Mereka mempunyai nama kesayangan untukku, yaitu Ceng. Diambil dari bahasa Sunda dengan asal kata Aceng yang berarti anak laki-laki.


Aku juga mempunyai kakak perempuan yang selalu menyayangiku. Dia juga mempunyai nama kesayangan khusus untukku, yaitu Oto. Nama Jepang yang tadinya Otouto berarti adik.


Tapi sayangnya kebahagiaanku itu tidak berlangsung lama. Karena suatu siang ketika aku pulang dari sekolah, saat itu aku kelas 2 SMP, di depan rumahku sudah ada bendera kuning yang terbuat dari kertas, ternyata ayahku meninggal. 

Itu adalah hari dimana aku memulai petualangan hidup yang sebenarnya.


Perasaan ibu dan kakak tidak serapuh aku, mungkin karena mereka sudah cukup ikhlas sehingga bisa dengan cepat menerima kenyataan bahwa ayah memang benar-benar telah pergi untuk selamanya. 

Sedangkan aku membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk bisa menerima fakta bahwa orang yang selama ini menjadi sosok pelindung bagi keluarga kami memang tidak akan pernah kembali.


Setelah kepergian ayah, keadaan keluarga kami tidak seperti dulu lagi, terutama masalah keuangan kami, apalagi ibu hanya seorang ibu rumah tangga tanpa keahlian, dan kami sebagai anak masih harus melanjutkan sekolah.


Tiga bulan setelah ayah meninggal, kami memutuskan untuk pindah ke rumah nenek yang berada di kota lain. Karena saat itu keuangan keluargaku sudah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan kami lagi. 

Rumah kami pun dijual murah hanya agar bisa terjual dengan cepat. 

Selain disimpan untuk biaya sekolah kami, hasil dari penjualan rumah juga digunakan untuk membayar biaya pengobatan selama ayah sakit. 

Sudah 7 tahun ayah bertahan dan berjuang melawan kankernya. Sekarang ayah sudah tidak merasakan sakit lagi, dia sudah tenang di alam sana. 


Rumah nenek cukup besar untuk menampung kami bertiga.

Kebetulan nenek hanya tinggal berdua bersama paman, adik dari ibu. 

Nenek sangat beruntung, meskipun kakek sudah lama meninggal, tapi banyak usaha yang sampai saat ini masih diteruskan oleh paman. Jadi tidak perlu khawatir lagi soal keuangan.


*


Nenek dan paman sangat menyayangi kami.

Aku juga cukup dekat dengan mereka. 

Bahkan mereka mempunyai nama kesayangan khusus untukku, yaitu Egi. Bahasa Korea yang berarti kekasih dengan asal kata Aegiya

Tidak terasa sudah empat tahun kami tinggal di rumah nenek. Bahkan kakakku sudah menikah dan memutuskan  untuk ikut bersama suaminya. Sedangkan aku tinggal menunggu jadwal untuk ujian akhir. Sebentar lagi aku tidak akan menjadi beban mereka lagi, setidaknya kalau sudah mempunyai ijazah aku bisa mendapat pekerjaan dan mempunyai uang, ya minimal untuk membiayai hidupku sendiri.


***


Pada suatu malam yang sunyi, aku melihat jam dilayar HP-ku yang menunjukkan sudah jam 12. Mungkin karena saking fokusnya aku belajar, dengan harapan agar aku mendapat hasil ujian yang bagus. Padahal ini adalah malam Minggu, yang kebanyakan orang menghabiskan malam untuk bersenang-senang di luar rumah bersama teman-teman.


Angin terasa seperti menusuk kulit, aku lupa memakai jaket, oh iya, aku merasa lebih fokus belajar di luar rumah, di halaman depan tepatnya dengan ditemani secangkir kopi.


Aku pun segera menuju kamarku yang terletak di lantai 2, dan kebetulan bersebelahan dengan kamar paman. 

Karena sekarang malam Minggu, paman sudah biasa menghabiskan waktu entah itu bersama pacar atau teman-temannya. 

Jadi tidak terdengar ada suara musik yang dia putar hingga tengah malam. Itulah salah satu alasan kenapa aku lebih nyaman untuk belajar di halaman rumah.

Pamanku saat ini umurnya 36 tahun. 

Pernah menikah dan mempunyai satu orang anak. Tapi karena ada suatu permasalahan, dia memutuskan untuk bercerai, dan anaknya ikut bersama mantan istrinya.


Setelah membereskan buku, aku pun merebahkan tubuhku dan mulai tertidur.

Mungkin karena tidurku belum cukup lama, jadi aku masih bisa mendengar suara orang yang berbicara dilantai bawah dan sesekali berteriak. 

Karena merasa penasaran, aku pun bangun dan keluar dari kamar untuk mengintip kebawah. 

Tapi rasa penasaranku tidak berlangsung lama, karena paman terlihat keluar dari kamar nenek dan segera menuju ke lantai atas.

Dengan segera aku pun bergegas kembali masuk ke dalam kamar. 


***


Terkadang kita harus melakukan hal buruk untuk bertahan hidup, dan terkadang kita perlu bersikap kejam demi menyelesaikan masalah.


***


Aku terbangun saat pintu kamarku diketuk dengan begitu keras.

Itu adalah ibu yang membangunkanku dan berkata bahwa nenek meninggal.

Meninggal? 

Apakah ini mimpi?

Bukan, ini bukan mimpi.

Aku hampir tidak percaya menyaksikan betapa ngerinya pemandangan yang aku lihat di kamar nenek. 

Nenek sudah terbujur kaku dengan bersimbah darah di atas tempat tidurnya. 

Paman langsung menelpon polisi. 


Tidak lama polisi pun tiba di rumah. 

Tapi sudah dipastikan bahwa nenek sudah meninggal. 

Ada spekulasi kalau nenek dibunuh oleh orang yang mencoba merampok rumah kami yang masuk melalui jendela. 

Terbukti dengan hilangnya perhiasan dan uang juga beberapa barang berharga yang nenek miliki.


*


Setelah kejadian itu, pikiranku tidak pernah tenang.

Hampir setiap saat aku terus memikirkan kejadian pada malam disaat nenek meninggal. Entah itu sedang di sekolah, dijalan, dan apalagi jika sedang berada di rumah.


Ibu yang kini mencoba membuka usaha menjahit yang letaknya tidak jauh dari rumah.

Sedangkan paman yang selalu sibuk dengan banyak pekerjaannya. Berangkat pagi dan pulang pada sore hari, tanpa terlihat sedih atau memikirkan apalagi menyesali apa yang sudah dia lakukan.


Aku mengetahui sesuatu, tapi tidak berani membicarakannya kepada ibu apalagi kepada orang lain.

Sekalipun aku berusaha untuk terus melupakan kejadian itu, karena semakin lama aku diam maka semakin tidak terkendali juga rasa ingin mengungkapkan yang sebenarnya.

Tapi aku tetap berusaha tenang dan terlihat baik-baik saja. 

Ada hal yang menurutku sama pentingnya, yaitu sekolahku.


*


Tiba saatnya aku mengikuti ujian akhir sekolah.


*


Dua Minggu berlalu. 

Kini tiba saatnya mengetahui hasil kelulusan. 


Pagi ini hatiku terasa tidak karuan, jantung yang terus berdebar, tidak bernafsu untuk sarapan, dan pikiranku sedikit kalut. Tapi aku melihat pancaran wajah ibu yang menggambarkan bahwa betapa bahagianya dia melihat aku yang akan segera lulus sekolah. 


Karena semua siswa harus didampingi oleh orangtua, pagi ini aku pergi ke sekolah bersama ibu dengan mengendarai motor kesayanganku pemberian dari nenek saat ulang tahunku yang ke 17.

Diperjalanan menuju sekolah, aku sedikit mengobrol bersama ibu. Dia bilang kalau aku boleh memilih tempat kuliah yang aku mau. Katanya dia ingin sekali kalau aku mempunyai pendidikan yang tinggi agar nantinya mempunyai jenjang karir yang bagus. 

Aku masih melihat wajah ibu yang memancarkan kebahagiaan itu di spion motor. Rasanya aku pun merasa bahagia ketika melihat ibu terus tersenyum seperti itu, aku terus memandang wajahnya melalui spion. 


Dalam hati ingin rasanya aku menceritakan apa yang selama ini aku ketahui. 

Tapi aku segera menyimpan keinginan itu, karena untuk saat ini aku lebih mementingkan kebahagiaan ibu, dan mungkin paman juga tidak dengan sadar telah melakukan perbuatannya itu.

Tapi tidak menutup kemungkinan jika suatu hari aku akan mengungkap perbuatan yang sudah paman lakukan.

Karena tidak sepantasnya nenek diperlakukan seperti itu oleh anaknya sendiri.

Saking lamanya aku melamun, aku tidak fokus lagi melihat jalan, sehingga aku tidak sadar bahwa aku terlalu ke jalur sebelah kanan dan di depan ada sebuah mobil yang melaju cukup kencang, dan tabrakan pun tidak terhindarkan. 

Aku tidak ingat apa-apa lagi, semuanya menjadi gelap. 



***


Sore ini aku akan jalan-jalan menyusuri pantai, kebetulan cuacanya juga cukup bagus, cocok sekali untuk menikmati angin di sore hari sambil menunggu sunset. 


Setelah lumayan lelah berjalan, aku memutuskan untuk masuk ke sebuah bar. Aku memesan bir dan menyalakan rokok yang selalu aku bawa di saku celana. Kurang lebih sama seperti kebiasaanku 10 tahun yang lalu. 

Hampir setiap hari bersantai di bar dan pergi ke diskotik ketika malam hari. 

Itu saat pertama kali aku keluar dari rumah.


Tidak terasa sudah hampir 2 jam aku duduk disini, hari pun mulai gelap, lampu-lampu di sepanjang jalan sudah mulai menyala. Aku segera menuju kasir untuk membayar dan segera berjalan keluar dari bar.


Ketika melihat lampu yang terang di sepanjang jalan, seketika aku teringat kejadian dulu. 


***


Aku terbangun disebuah ruangan dengan selang infus di tangan juga selang oksigen di hidungku. Ketika aku melihat keadaan sekitar, ternyata ada banyak orang termasuk ada kakakku dan juga paman. Tapi aku tidak melihat ibu. 


Terlihat mata kakak yang sebam seperti habis menangis berjam-jam bahkan berhari-hari. Aku tahu pasti dia bukan menangisi apa yang terjadi kepadaku, tapi ada hal lain yang membuatnya lebih bersedih. 

Ketika aku bertanya dimana ibu, kakak hanya terdiam dan malah dijawab dengan keluarnya air mata yang mengisyaratkan bahwa sesuatu sudah terjadi kepada ibu. 


Disitulah aku merasa bahwa hidupku tidak lagi ada artinya, aku perlu dihukum atas apa yang sudah aku perbuat, ini semua salahku yang menyebabkan ibu meninggal. 


Aku tidak sadarkan diri cukup lama. 

Aku tidak berkesempatan untuk melihat wajah ibu untuk terakhir kalinya selain di kaca spion, itu pun tiga hari yang lalu. 


Setiap hari aku hanya bisa terdiam dan tidak mampu lagi berkata apapun apalagi untuk menangis. Setiap saat aku hanya memandang langit-langit kamar rumah sakit. Sesekali aku memejamkan mata yang membawaku ke kejadian itu, rasanya seperti  tertidur dengan mimpi buruk yang tidak pernah berakhir.


*


Sebulan kemudian aku keluar dari rumah sakit. 

Aku langsung mengunjungi makam ibu, tapi aku masih tetap tidak merasakan kesedihan apalagi menangis, kecuali aku merasakan marah yang luar biasa.



*** 


Sebelum pulang ke rumah, aku sengaja kembali melewati pantai yang tadi sore aku lalui. Masih tetap dengan rokok ditangan yang sesekali aku hisap. Malam ini cukup dingin, aku selalu lupa membawa jaket atau baju berlengan panjang, memang kebiasaan burukku dari dulu. 

Deburan ombak terdengar begitu jelas, mungkin karena semakin malam air laut menjadi pasang. Terbukti kakiku basah karena ombak yang sampai ke tepi pantai. 


Aku begitu menyukai pantai. 


Jadi teringat ketika masih kecil. 

Kami sekeluarga berlibur ke sebuah pantai yang tidak terlalu jauh dari rumah. Mungkin saat itu usiaku baru 5 tahun. Begitu senangnya ketika ombak akan datang, aku akan melompat agar tubuh kecilku tidak terbawa arus, membuat benteng dan rumah-rumahan dari pasir bersama kakakku. Ayah yang duduk santai dibawah payung sambil meminum air kelapa, ibu yang menunjuk-nunjuk kearah gulungan ombak yang akan datang mengisyaratkan, "awas ada ombak jangan terlalu jauh mainnya", sambil mengayun-ayunkan tangannya menyuruh kami agar segera ke pinggir dan berhenti bermain karena matahari di siang itu terlalu terik. 


Terasa ada yang mengalir di pipiku, padahal aku tidak merasa sedih atau apapun, dokter menyebutnya dengan istilah hypophrenia. Padahal dulu aku tidak bisa menangis atau bahkan bisa mengeluarkan air mata, itu dulu sebelum aku mengikuti hipnoterapi agar aku bisa kembali menangis seperti orang pada umumnya.


Sedalam itukah rasa sedihku? 



 ***


Saat itu baru seminggu tinggal di ibukota, tidak ada teman apalagi keluarga sama sekali. Aku tinggal di sebuah kamar kost  yang tidak jauh dari jantung kota, dengan berbekal uang yang lumayan banyak dari pamanku, hampir setiap hari aku mengunjungi sebuah cafe yang sama, tentu saja untuk melupakan sedikit demi sedikit beban yang aku rasakan. 

Pada suatu waktu, ada yang menyapaku dan langsung bertanya, apakah aku duduk sendirian atau sedang menunggu seseorang. Dia juga bertanya siapa namaku dan berasal dari mana.

Namaku saat itu adalah Ale, kata yang diambil dari bahasa Prancis "Aller" yang berarti pergi. Aku bekerja sebagai pelayan disebuah restoran. 

Tentu saja itu adalah sebuah kebohongan. 


Sedangkan nama dia adalah Diana, diambil dari bahasa latin yang berarti surgawi.

Nama yang indah. 

Seorang perempuan yang baru lulus dari universitas ternama, sudah pasti memiliki kesempatan untuk berkerja di sebuah perusahaan besar bukan lagi menjadi impian. Terbukti dia sudah bekerja di sebuah perusahaan ternama yang bergerak di bidang transportasi sebagai administrasi konsultan.

Kebetulan tempat tinggalnya tidak terlalu jauh dari sini, makanya cukup sering juga dia mampir ke cafe itu.


*


Selama aku hidup hingga saat ini, aku belajar untuk survive alone atau bertahan hidup sendirian.

Bisa saja ada orang lain yang menghampiri atau bersamaku pada saat ini dan menganggap betapa pentingnya aku bagi dia, dia menyukaiku, menyayangiku, tapi dikemudian hari bisa saja aku ini bukan lagi siapa-siapa baginya, dan bahkan mungkin dia tidak mau lagi untuk mengenal seperti apa diriku saat ini. 

Makanya sangat penting sekali untuk survive alone, because in the end of the day it's only me and myself. 


*


Pada keesokan harinya kami selalu bertemu di tempat yang sama dan pada waktu yang sama pula. 


Pertemuan kami di hari-hari selanjutnya tidak lagi kaku seperti sebelumnya, kami mulai bercerita tentang keluarga masing-masing. Ternyata dia anak kedua dari 2 bersaudara, dia mempunyai kakak seorang polisi. Bahkan banyak anggota keluarganya yang mempunyai latar belakang yang sama. 

Ditengah banyaknya obrolan yang kami lakukan, yang paling jujur dari semua ucapanku hanya tentang kesukaanku mengenai pantai dan makanan favoritku yaitu nasi goreng buatan ibu. Selebihnya adalah bualan semata. 


Ditengah obrolan, dia menceritakan tentang kakaknya yang pernah bersekolah di tempat khusus yang berada di Jawa Barat, namanya sekolah intelijen. 

Aku pun mulai tertarik hingga penasaran dengan apa yang diceritakannya kali ini. 



***


Hampir setiap hari aku menghabiskan waktu hanya dengan duduk termenung karena belum bisa melupakan apa yang sudah terjadi dalam hidupku.


Pada hari itu aku terbangun ketika matahari sudah tegak tepat diatas bumi. Karena semalaman aku tidak bisa tidur.

Oh iya, sudah mau sebulan aku berpindah-pindah hotel. 

Ketika membuka HP ternyata ada pesan masuk yang tidak lain adalah dari Diana. Karena dia orang pertama dan satu-satunya yang tau nomor HP-ku semenjak aku tinggal disini. Dia menanyakan apa kegiatanku sore nanti, aku jawab saja mau ke tempat yang sama seperti kemarin. 


Pada sore hari, kami pun bertemu lagi di tempat yang sama. 

Aku mempunyai tujuan untuk bertanya lebih lanjut tentang sebuah sekolah intelijen yang pernah dia ceritakan sebelumnya.


*** 


Semenjak kejadian itu aku hanya diam di dalam kamar dan sesekali duduk di halaman depan rumah. Selain kejadian itu, yang membuat diriku terpuruk adalah disaat mendapat kabar bahwa aku tidak lulus sekolah, hasil ujianku gagal. 


3 bulan berlalu.


Tubuhku sudah benar-benar pulih, cara berpikirku sedikit lebih baik. Aku harus bisa memperbaiki keadaan, meskipun tidak sama seperti sedia kala, karena yang sudah terjadi tidak akan bisa diubah, waktu tidak akan pernah kembali, maka aku harus bisa dan lebih siap untuk menghadapi banyak kemungkinan yang akan terjadi dikemudian hari. 

Bukankah hidup akan terus berjalan?


Aku mulai berpikir, apa yang salah dari semua ini, dan aku mulai mencari cara bagaimana aku bisa memperbaiki semua itu, terutama langkah apa yang akan aku ambil selanjutnya. Karena aku tidak mau terus begini, hanya duduk terdiam dan merasa tidak berguna.


Ini semua berawal semenjak kepergian ayah, nenek yang meninggal tidak wajar, hingga ibu yang menjadi korban kecelakaan karena keteledoranku. 

Aku mencoba untuk menerima kenyataan itu, tidak ada pilihan lain selain aku harus menerima semua itu, terbukti aku sudah bisa hidup dengan tanpa kesedihan atas kepergian mereka. 


Aku belajar dan selalu berusaha untuk tidak takut kehilangan siapapun yang hadir di dalam hidupku, entah itu teman, sahabat, keluarga, dan atau orang yang sangat aku sayangi. 

Karena aku akan lebih takut ketika aku harus kehilangan diriku, hanya karena aku terus menerus memikirkan hal yang sudah terjadi.

Jika aku kehilangan diriku maka aku akan kehilangan hidupku dan jati diriku juga segala yang ada di dalamnya termasuk masa depanku.


Aku harus melakukan sesuatu.


Pada suatu malam, aku meyakinkan diri bahwa aku harus meminta pertanggungjawaban dari paman, dia adalah orang yang harus disalahkan atas semua yang sudah menimpa hidupku selama ini. 


Dia meminta maaf dengan sungguh-sungguh, dia juga berjanji akan menyerahkan diri kepada polisi.

Terlihat ada air mata yang mengalir di pipinya. Tapi aku tetap tidak bisa menerima kata maafnya yang dengan mudahnya dia ucapkan. Bahkan dia bersujud di bawah kakiku agar aku bisa memaafkan dirinya. Aku memang memaafkannya, apalagi dia adalah pamanku sendiri. Tapi taku mempunyai sedikit rencana yang sudah aku pikirkan matang-matang selama ini.

Aku memberikan secarik kertas yang berisi tulisan nomor rekening pribadiku yang baru dibuat beberapa hari yang lalu. Di kertas itu juga tertulis sejumlah uang yang harus dia berikan. 


Belakangan baru diketahui alasan kenapa dia melakukan hal keji itu kepada nenek.

Hanya karena nenek menolak menandatangani surat wasiat yang berisi bahwa semua harta yang dimiliki oleh nenek harus diberikan kepada paman.


Pada suatu malam, paman baru pulang kerja dan dia memberikan slip transfer, disitu tertulis nominal yang melebihi jumlah yang aku minta. Dia juga meminta agar aku tidak mengadukan kejadian itu kepada siapa pun apalagi kepada polisi. 

Benar saja dia akan mengingkari janjinya.

Pantas saja dia memberikan uang yang lebih banyak.

Dia tidak benar-benar tulus meminta maaf.


Nyawa harus dibayar dengan nyawa. 


 ***


Hujan tidak berguna lagi untuk pohon yang sudah mati.


Aku bukan lagi manusia tanpa harapan, aku tidak bisa terus berada dalam ruang yang sesak dan penuh dengan amarah, aku harus melepaskan diri dari semua ini.


***


Kini hanya kami berdua yang tinggal di rumah itu.

Keseharianku hanya tidur, makan dan sesekali pergi mengunjungi makam nenek dan ibu.

Sedangkan paman berkegiatan seperti biasa. 

Pergi ke kantor dan pulang hingga lurut malam. 

Sesekali dia baru pulang ketika pagi hari.


***


Malam itu aku memutuskan untuk menjalankan sebuah rencana.


Tepat pada hari Sabtu jam 9 malam, seperti biasa dia akan menghabiskan waktunya diluar rumah dan akan pulang pada pagi hari. Terdengar suara mobil paman menyala mengisyaratkan bahwa dia sudah siap berangkat.

Kemudian aku mengikutinya dengan sepeda motor. 

Setelah berkendara sekitar 30 menit, akhirnya dia sampai disebuah diskotik. Ya, memang di tempat seperti ini kebanyakan orang datang untuk bersenang-senang, menutupi rasa sakit hati, dan tidak sedikit pula yang berlari dari banyaknya masalah hidup. Tapi tidak denganku, justru aku akan menyelesaikan semua masalah di tempat ini. 


Terlihat dia keluar dari mobilnya dan langsung masuk ke tempat itu. Aku yang dari tadi hanya mengawasinya dari motor, segera mengikutinya masuk, tapi tetap menjaga jarak agar tidak terlihat oleh paman.


Di dalam ternyata sangat penuh sekali dengan orang, aku sempat kehilangan pandangan darinya. Mungkin karena kebetulan sekarang adalah malam Minggu.

Jadi ingat saat ulang tahun temanku 2 tahun yang lalu. 

Ketika kami mencoba menerobos masuk tapi ditahan oleh petugas keamanan karena kami memang belum cukup umur saat itu, tapi temanku melakukan cara andalannya dengan memberi uang rokok kepada mereka, alhasil kami pun bisa masuk ke dalam.


Terlihat dia duduk di bar bersama beberapa orang, mungkin teman-temannya. Aku terus memperhatikannya dari jarak jauh yang sesekali terhalangi oleh lalu lalang orang, tapi tetap pandanganku tidak teralihkan darinya. 

Semakin malam semakin sesak di penuhi oleh banyak orang yang datang ke tempat itu, aku masih sabar menunggu saat yang tepat.

Beberapa saat kemudian dia terlihat beranjak dari tempat duduknya dan menuju ke toilet. Aku pun mengikutinya.

Tapi keadaan toilet cukup penuh dan sangat terang, kalau aku masuk pasti dia akan menyadari kehadiranku disana. 

Aku menunggunya di pintu keluar toilet. Begitu dia keluar aku langsung menusuk perutnya beberapa kali dengan pisau yang sedari tadi sudah aku simpan di kaki bagian bawah. Darah pun terlihat mengalir dari perutnya, meskipun tidak terlalu jelas karena redupnya lampu di tempat itu, tapi cukup terasa di tanganku.

Kemudian ada beberapa orang berteriak karena melihat kejadian yang baru saja terjadi.

Aku segera pergi dan keluar mengikuti orang-orang yang mulai berhamburan meninggalkan tempat itu. 


Aku segera kembali ke rumah untuk mengambil beberapa barang pribadiku dan beberapa barang berharga yang ada disana.

Aku langsung menuju sebuah hotel untuk bersembunyi dan menenangkan diri.

Jantungku tidak berhenti berdenyut kencang. Rasanya seperti mau copot. 

Aku juga tidak berani untuk menyalakan TV apalagi keluar kamar.

2 hari kemudian aku memutuskan untuk pergi ke luar kota.


***


Semua orang melakukan kesalahan, entah itu pernah atau bahkan setiap saat. 

Tapi tidak semua orang mempunyai keberanian untuk mengakuinya.

Aku bukan orang yang berada ditengah-tengah kebenaran dan selalu berprilaku salah, tapi jika memang aku memilih untuk ada di jalan yang tidak baik, maka sudah pasti dan bisa dipastikan bahwa aku sudah memikirkan dan memutuskan untuk melakukan hal itu sebelumnya. 

Aku tidak akan malu untuk mengakui jika aku salah, tidak akan ragu untuk meminta maaf, aku juga tidak akan sulit untuk memaafkan. 

Tapi, memang ada kalanya tidak semua orang berhak atas permintaan maafku ataupun menerima maaf atas kesalahan yang mereka lakukan. 

Karena ada beberapa hal yang sebenarnya tidak bisa diterima jika memang sudah melebihi batas apalagi menyangkut dengan pilihan yang aku jalani. 



***


Aku merasakan sesuatu yang tidak pernah aku alami sebelumnya. 

Ada rasa ingin cepat bertemu ketika aku jauh darinya.


Pada suatu sore aku kembali bertemu dengan Diana.

Untuk pertama kalinya aku berniat akan mengatakan sebuah kejujuran kepadanya.


Setelah selesai aku bercerita.


Diana pun hanya terdiam dan seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja aku ceritakan. 

Aku pun merasa khawatir karena telah memberitahu orang lain tentang apa yang sudah aku perbuat, apalagi melihat reaksi Diana yang sejak tadi hanya terdiam.

Tapi itu tidak berlangsung lama, karena beberapa saat kemudian dia bercerita tentang kejadian pada masa lalunya yang membuatku sedikit kaget.


Diana bercerita.

Dia mempunyai sepupu yang seumuran dengannya, ketika itu mereka kelas 1 SMP.

Mereka sering mengerjakan tugas bersama dan terkadang Diana mengajak sepupunya untuk menginap dirumahnya atau Diana yang menginap dirumah sepupunya. 


Pada suatu malam, Diana menginap di rumah sepupunya, lebih tepatnya adalah rumah dari tantenya, adik dari ayah Diana. 

Pada suatu malam, ketika mereka sedang mengerjakan tugas tiba-tiba listrik padam dan tantenya menyalakan beberapa lilin.

Setelah ditunggu cukup lama ternyata listrik tidak kunjung menyala, akhirnya semua orang memutuskan untuk tidur karena sudah larut malam. 

Tapi Diana tidak langsung tidur, dia masih mengerjakan tugasnya, sedangkan sepupunya sudah terlebih dahulu tidur. 

Dengan bantuan penerangan lilin yang seadanya, Diana berusaha menyelesaikan tugasnya itu. Hingga akhirnya dia tertidur di ruang tamu. 

Tiba-tiba terasa ada hawa panas, ternyata api sudah melahap sebagian ruangan dan menjalar ke berbagai ruangan lainnya.

Tapi dia tidak sempat membangunkan semua orang yang ada di rumah itu, karena api semakin membesar, dia pun langsung berlari keluar rumah. 

Dia selamat, tapi tidak dengan sepupu dan tante juga anggota keluarga yang lain yang ada di rumah itu.

Mereka semua meninggal dalam kebakaran itu.


Ketika menceritakan itu terlihat air mata Diana mengalir di pipinya. Terlihat rasa penyesalan di wajahnya. Sejenak memurung, tapi aku berusaha meyakinkan dia bahwa itu sebuah kecelakaan, berbeda dengan yang sudah aku perbuat yang jelas-jelas sengaja aku dilakukan.


Kami pun lanjut bercerita tentang masa kecil masing-masing dan beberapa hobi dan musik favorit yang kami sukai.

Demi mengalihkan topik serius yang sedari tadi kita bahas.



***


Apakah kami sama-sama seorang pembunuh?


***


Caraku memandang dunia hingga sejauh ini sudah jauh berbeda berubah, kebenaran bagiku adalah apa yang aku nilai benar dan tidak ada kesalahan yang mutlak tanpa alasan ataupun sebuah pemikiran. Sesalah apapun perbuatan orang masih bisa diperbaiki melalui banyak cara dan berbagai upaya. 

Tentang orang yang katanya paling mengerti kita, kita hanya harus melihat perlakuannya bukan mendengarkan perkataannya. Dan, semua tergantung dari sisi mana kita melihatnya.


***


Namanya Rangga, umurnya 10 tahun. 

Ya, aku sudah mempunyai anak. Saat ini dia tinggal bersama kakakku. 

Yang mengetahui hal ini hanya beberapa orang saja. 


***


11 tahun yang lalu.


Hubunganku dengan Diana cukup dekat. Mungkin lebih dari dekat. 

Saat itu umurku baru 19 tahun, sedangkan Diana sudah berusia 23 tahun. 

Aku yang sedang dalam pelarian, tidak mempunyai pekerjaan, aku memang memiliki uang, tapi tujuanku belum jelas akan kemana dan harus bagaimana. 

Ditakdirkan untuk bertemu dengan Diana yang bisa dipastikan tidak ada bagian yang perlu dikhawatirkan lagi dari dirinya.

Kehidupan yang sudah baik, masa depan yang sudah pasti akan cerah, sedangkan aku yang kebalikannya. 

Tapi cinta tidak memandang itu semua. 


Kami pun menikah.

Meskipun tanpa restu dari orang tua Diana, kami tetap melakukan pernikahan itu. Karena saat itu Diana sudah mengandung buah cinta kami. 


*


Jadi teringat saat kakak melangsungkan acara pernikahan. 

Karena tidak ada wali dari anggota keluarga ayah, jadi yang berhak untuk menjadi wali nikah kakak adalah aku. 

Saat itu umurku baru 17 tahun. 

Aku diberi tanggungjawab yang cukup besar, yaitu mempercayakan nasib kakakku kepada seorang laki-laki yang tidak terlalu aku kenal. 

Menyaksikan betapa bahagianya keluargaku untuk terakhir kalinya. 

Karena setelah acara pernikahan itu kehidupanku kembali berubah, bahkan menjadi tapak ketidakseimbangan dalam hidupku. 

Kehilangan kakak meskipun masih bisa ditemui, tapi yang namanya orang sudah berumahtangga tidak akan sama seperti dia masih sendiri. Akan mempunyai prioritas hidup yang lebih berbeda. Kemudian aku kehilangan nenek dan disusul dengan kepergian ibu karena kecerobohanku sendiri. 


*


Kehidupanku setelah pernikahan itu berubah drastis. Begitupun Diana.

Kami tidak tinggal bersama dengan keluarga Diana, karena kami lebih memilih untuk mengontrak rumah yang tidak terlalu jauh dari tempat Diana bekerja. 

Keseharianku mulai sibuk dengan pekerjaan baruku. Aku belajar bertanggungjawab dimulai dari menikahinya dan dilanjutkan harus memenuhi kebutuhan keluarga kami, termasuk mempersiapkan untuk biaya persalinan nanti.

Sedangkan Diana masih tetap bekerja di tempat sebelumnya. 


Dia perempuan yang selalu menghargaiku.

Perlakuannya masih sama seperti pertama kali kita bertemu. 

Meskipun penghasilannya yang lebih besar daripada aku, tapi dia tetap melaksanakan kewajibannya sebagai seorang istri dengan baik.

Aku sangat menyayanginya. 

Dia seperti rumah bagiku.

Seperti tetesan hujan ditengah gurun. 

Perlakuannya yang lembut.

Mungkin karena umurnya yang 4 tahun lebih tua dariku, terlihat dari kedewasaan yang dia tunjukkan. 


Kehidupan kami yang sederhana tidak menjadi cobaan untuk pernikahan kami. Gajiku yang tidak seberapa, tempat tinggal yang seadanya, makan makanan yang tidak mewah. 

Kehidupan remajaku yang tidak lagi digunakan untuk main-main seperti kebanyakan orang seusiaku, aku belajar menjadi dewasa demi keadaan. 

Hubungan kami selalu baik-baik saja.

Sampai pada suatu sore ketika aku sedang bekerja seperti biasanya, tiba-tiba teleponku berdering. 

Diana menelepon kalau perutnya terasa sakit pertanda akan segera melahirkan. 


Disebuah klinik yang tidak jauh dari kontrakan kami, Diana berjibun dengan nyawanya berusaha kuat untuk bertahan demi buah hati yang selama ini sudah kami nanti. 


Setelah beberapa lama Diana berjuang, terdengar suara bayi. 

Tangisannya memecah keheningan hidupku.

Wajahnya seperti mentari, menyinari kehidupanku yang terkadang tenggelam dengan banyaknya kenangan. 

Kulihat wajah mungil nan indah yang membuat kehidupanku menjadi luar biasa bahagia. 

Kugendong dengan pasti. 

Kehadirannya menambah pernikahan aku dan Diana semakin lengkap menjadi sebuah keluarga. 


Anak laki-laki yang kami beri nama Rangga. Diambil dari bahasa Jawa yang berarti kesatria.

Semoga pada suatu hari dimasa hidupnya dia menjadi kesatria bagi orang-orang disekitarnya, terlebih untuk dirinya pribadi. 


Kehidupan keluarga kami menjadi lebih lengkap dan sangat bahagia.

Aku semakin giat bekerja demi keluargaku yang sangat aku sayangi.

Diana juga tidak perlu membutuhkan waktu yang lama untuk menyesuaikan diri menjadi seorang ibu. 

Dia merawat Rangga dengan baik. 

Rangga tumbuh dengan baik dan sehat. 

Hari-hariku diwarnai tangis dan tawa anak tercinta kami. 


Satu tahun berjalan. 

Rangga akan merayakan hari ulang tahunnya yang pertama.

Kami sudah merencanakan pesta kecil untuknya. 

Kami mengundang beberapa anak kecil yang ada disekitar kontrakan. 

Meskipun dia belum mengerti, tapi kami akan mengabadikan momennya untuk kenangan suatu hari nanti. 


Pestanya tidak meriah, hanya dengan kue murah yang berukuran kecil dengan lilin merah berbentuk angka satu. 

Kami bahagia dengan seadaanya, seperlunya dan sewajarnya. 


Tapi semua itu tidak berlangsung lama. 


***