Aku disadarkan oleh kenyataan yang begitu pahit, tidak ada lagi senja yang bercahaya indah, aku sedang berada di Selepas Senja menuju gelapnya malam tanpa bulan dan bintang. Berharap akan bertemu dengan mentari pun tak pernah terlintas dalam benakku.
(POV penulis)
***
Selepas Sanja (1)
***
POV: Rangga
Anak adalah anugerah terindah yang dikaruniakan oleh Sang Maha Pencipta. Tidak ada tapi ataupun alasan lain kenapa dia terlahir ke dunia ini, entah itu direncakan atau diinginkan dan terkadang tidak pernah diharapkan.
Anak tetaplah sebuah keajaiban bagi para orang tua yang menjadi perantara. Tuhan mempercayakannya hanya kepada orang-orang yang terpilih, tidak ada celah untuk menolak atau menghindar.
Aku adalah anak satu-satunya dari orang tua yang serba berkecukupan bahkan melebihi cukup. Namaku Rangga, Rangga Sadewa nama lengkapku yang diberikan oleh mereka.
Ayahku, dia orang yang penyayang dan sangat perhatian. Dia juga pekerja keras, prinsip dalam hidupnya adalah bekerja keras untuk mendapatkan sesuatu yang orang lain mustahil untuk dapatkan. Wajar saja jika keluarga kami diwarnai dengan serba-serbi kemewahan. Ibuku sudah meninggal sejak aku berusia 3 tahun. Tidak terlalu merasa sedih karena beberapa bulan setelahnya Ayah menikah lagi dengan adik dari Ibuku. Tidak terlalu mengerti tentang pernikahan kala itu, yang jelas aku bahagia meskipun tidak lagi ada seorang Ibu yang melahirkanku.
Aku bukanlah anak yang manja, tapi Ayah selalu memanjakanku. Apapun yang aku mau pasti dia berikan. Sekalipun dengan harga yang sangat mahal. Uang bukan masalah besar bagi keluarga kami. Usaha Ayah yang sukses menjadikan semuanya serba mudah untuk kami dapatkan. Rumah yang besar, kendaraan dengan berbagai macam tipe, investasi di mana-mana, liburan ke luar negeri sudah menjadi agenda wajib bagi kami.
Kehidupanku sangat sempurna, sekolah di SMA favorit, teman-teman yang banyak, pergaulanku juga sangat luas, tidak ada orang yang tidak mengenalku. Tentu saja semua karena Ayahku.
Saat itu aku baru mengenal yang namanya cinta, dan ternyata cinta bukan hanya sekedar kata, harus ada yang namanya pembuktian dan pengorbanan. Perempuan itu bernama Anggun. Dia adalah perempuan pertama yang aku pacari. Menjadi sebuah kebanggaan juga ketika aku bisa memacarinya, karena Anggun adalah perempuan idaman semua siswa di sekolahku. Tapi Anggun tidak se-anggun namanya, karena aku bukanlah yang pertama baginya.
Pergaulan yang bebas dan kesempatan untuk melebihi batas pacaran anak remaja pada umumnya, aku tidak lagi bisa mengontrol semuanya. Cinta bukan lagi sekedar kata.
Tujuh bulan berlalu begitu cepat.
Sesuatu telah terjadi dalam kehidupanku yang mungkin akan merubah hidupku selamanya.
Anggun hamil.
Kami menutupi semuanya berbulan-bulan dari teman apalagi dari keluarga kami.
Kami begitu bingung dan tidak tahu harus berbuat apa, tidak mungkin kami menghilangkan nyawa yang tidak berdosa. Ya, dia tidak berdosa, kami yang berbuat yang sangat berdosa.
Selain dihadapkan dengan kehamilan Anggun yang beberapa bulan lagi akan melahirkan, kami berdua juga harus mempersiapkan diri untuk ujian akhir sekolah kami.
Rasanya ingin mati saja saat itu. Aku tidak tau harus melakukan apa, aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika kemungkinan terburuk dalam hidup kami benar-benar terjadi.
Dalam bayangan kami, hasil ujian gagal, keluarga kami tidak menerima kami lagi, menanggung malu yang sangat luar biasa dan harus mengurus anak di usia kami yang nyatanya kita berdua saja masih harus diurus oleh orang tua kami.
Setelah berpikir keras, pilihan terbaik adalah aku harus bercerita kepada Ayah.
Lagi pula dia menyayangiku, dia pasti akan menerima keadaanku.
Tapi ternyata bukan hanya penolakan yang aku terima, selain kekecewaan yang Ayah rasakan, Ayahku juga pergi untuk selamanya. Dia meninggal karena serangan jantung setelah mendengar kejujuranku.
Hidupku sangat hancur, tidak ada lagi yang tersisa dalam diriku. Bahkan Ibu tiri yang sudah aku anggap seperti Ibu kandungku saja pergi bersama harta benda yang Ayah tinggalkan.
Tiba saatnya Anggun melahirkan.
Di sebuah sudut klinik bersalin yang sangat murah kami menyambut anak laki-laki kami. Tangis pertamanya memecah gemuruh sore disertai cahaya senja dari kaca jendela. Semua orang yang mendengar mengucap syukur, begitu pun kami. Saling menatap dan berjanji untuk tetap menjaga dan menyayangi anak kami.
Anak itu kami beri nama Senja Sadewa.
Semoga setelah adanya Senja, kehidupan kami akan kembali bahagia.
Seperti senja yang meninggalkan siang menuju malam untuk hari esok yang lebih terang.
Next.
Ceritanya menarik hanya kurang dalam saja
BalasHapusMungkin karena baru atau ini bukan fiksi?
Pasti ini cerita ini berarti bagi sang penulis
Kurang greget
BalasHapusSemoga next part makin ada bagian2 yang bikin emosi