Official Blog of Nugi Nugraha || Member of Google Corp & Blogger - Since 2011 || Copyrights 2011 - 2024 by Personal Blog & Google

Selasa, 31 Oktober 2023

Nugraha is My Name (part 3)

Nugraha is My Name (part 3)



PERINGATAN !



Sebelum membaca artikel ini, diharapkan agar pembaca sudah berusia 17 tahun, mempunyai kemampuan untuk menghargai dan menerima juga open minded. 

Karena artikel ini berdasarkan pengalaman pribadi dan terdapat konflik secara mendalam dari konteks, paradigma, opini dan juga akan menyertakan orang-orang yang pernah ada di kehidupan pribadi sang penulis secara jujur yang bisa dikonfirmasi secara komprehensif. 


- Nugraha is my name. 


--------


"Setiap orang bakal aya perubahan" - kata pacarnya.


"Ceuk abi ge kan a tt aya nu tt mungkin" - kata dia.


Kalimat itu aku copy paste dari salah satu chat bersama seseorang. 

Seseorang yang belakangan ini ikut serta untuk menjadi bagian dari cerita hidupku.

Bisa saja dia pergi dan menghilang seperti yang selalu aku katakan kepadanya berkali-kali, tapi dia masih memilih untuk tetap ada; dalam artian bahwa dia masih ingin tetap menjadi bagian yang tidak begitu penting ditengah perjalananku.

Aku juga tidak bisa menyingkirkannya begitu saja, karena aku yakin dengan kenyataan "people come and go". 

Aku tidak bisa memaksa seseorang untuk datang dan tinggal di hidupku, aku juga tidak bisa menahannya jika dia ingin pergi dari kehidupanku. 


Ya, mungkin aku memiliki perasaan yang tulus, tapi bukan berarti aku harus memaksanya untuk menerima ketulusanku. 


Namanya Ant (2023).

-------



Tentang perubahan dan segala kemungkinan. 


Aku bangga bisa sampai pada tahap ini. Bukan berarti aku bangga atas keburukan yang pernah aku lakukan, tapi ini tentang apa yang terjadi dalam diriku dan perubahan- perubahan yang sudah aku lakukan untuk diriku juga, aku merasa bahwa hidupku lebih baik dibandingkan sebelumnya.

Dan itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar, tidak semudah membalikkan telapak tangan.


Pada awal tahun 2016 aku sudah membuat pengakuan kepadanya, kepada kakak pertamaku. Bagaimana aku bisa liburan enak, beli barang-barang mahal, makan makanan enak, banyak membawa oleh-oleh kalau saatnya pulang ke rumah. Aku bilang kepadanya bahwa aku mengisi waktu luangku dengan menjadi seorang laki-laki panggilan dan memanfaatkan keahlianku yang lainnya, mengambil kesempatan untuk beberapa keuntungan. Tentu saja aku pintar dalam hal apapun, bukan merasa pintar tapi tanpa bukti, tapi memang benar-benar menggunakan segala pemahaman dan pengetahuan juga cara berpikirku untuk selalu mendapatkan apa yang aku inginkan.

"Teteh dan yang lainnya sudah mengira itu sejak lama".

Aku tidak tau kenapa dia bisa mengiranya, karena aku merasa selama ini mampu menutupi semuanya dari mereka, terutama dari kakakku. Tapi mungkin dia mempunyai feeling yang kuat. Mungkin juga karena kami berdua terlahir dari ibu yang sama.


Aku tau, rasa kecewa itu pasti ada, apalagi aku adalah anak laki-laki satu-satunya di keluarga setelah 2 anak asuh laki-laki lainnya yang baru beberapa tahun menambahkan nama mereka di kartu keluarga kami.

Apalagi kakakku pernah bercerita tentang kehidupan kecilnya ketika masih tinggal di kota Sumedang bersama ayah dan ibu. Dia menginginkan seorang adik laki-laki. Aku tau betapa bahagianya dia ketika menceritakan hal itu, terlihat dari garis senyum di pipinya, dengan antusiasnya dia terus bercerita ketika dia terjatuh saat dia mencoba menggendongku sembari menunjukkan bekas luka di dagunya.

Wajar saja jika secara tidak langsung aku membuatnya kecewa dengan adanya beberapa pengakuan yang sudah aku buat kala itu.


Tapi aku berusaha meyakinkan dia bahwa semuanya akan baik-baik saja, dia tidak perlu memikirkan apa yang akan terjadi dengan kehidupanku, dia tidak perlu khawatir atas jalan yang sudah aku pilih, karena membuat pilihan itu tidaklah mudah, butuh waktu lama, perlu pertimbangan yang matang, aku harus siap dengan semua resiko yang akan terjadi dikemudian hari, dan melihat sisi baik atas apa yang sudah aku jalani, yang sebenarnya belum tentu orang lain mampu melewati apa yang sejauh ini sudah aku tempuh. Karena aku bilang bahwa hidup ini akan indah jika kita berjalan tepat dijalan yang kita mau selama itu tidak merugikan orang lain. Kita mempunyai cerita masing-masing, kita mempunyai pilihan hidup masing-masing, kita mempunyai cara untuk membuat hidup bahagia dengan cara kita masing-masing. 



Lalu, bagaimana hubunganku dengan keluarga saat ini?

Actually semuanya baik-baik saja.

Meskipun tidak setiap saat mengobrol dan saling berbalas chat atau bertelepon, tapi kami cukup dekat. 


Aku tidak pernah tau isi hati mereka, aku juga tidak pernah mau tau apa yang mereka pikirkan tentangku, tapi yang jelas sejauh ini kami tetap berhubungan baik dan melakukan hal-hal menyenangkan jika ada kesempatan untuk bertemu.

Lagi pula aku sudah tidak lagi menunjukkan perilaku yang tidak terpuji di depan mereka. 

Tanpa diberitahu pun mereka sudah pasti mengetahui bagaimana diriku dibelakang mereka. 

Bagiku, bukan suatu keharusan untuk meyakinkan dan meminta untuk dimengerti juga dipahami oleh orang lain tentang apa yang terjadi dalam hidupku. Meskipun ada kalanya aku juga butuh untuk didengar. 


-------


Kami 4 bersaudara. 

Aku adalah anak laki-laki satu-satunya dengan 2 orang kakak dan satu adik. 

Meskipun kami bersaudara, tapi kami ditakdirkan untuk tidak pernah dekat dari kecil. 


Aku yang sejak kecil sudah tinggal bersama Ua-ku, kakak pertamaku yang harus tinggal bersama nenek, adikku yang memang tinggal bersama keluarga ayah. Sedangkan kakak keduaku tinggal bersama Umi-nya di Bogor. 

Sesekali kami bertemu.


Aku baru benar-benar mengenal mereka ketika sudah dewasa.


Kakak pertamaku yang sudah mempunyai 3 orang anak. Kehidupan rumah tangganya yang menurutku cukup rumit. Bahkan menjadi salah satu alasan kenapa aku tidak lagi mau menyentuh yang namanya dunia pernikahan. 

Bukan karena aku mempunyai banyak alasan dan pilihan, tapi bagiku sebuah pernikahan adalah hal yang mungkin akan aku hindari. Aku sudah tidak lagi percaya akan konsep pernikahan. 

Bukan hanya karena melihat kakak pertamaku, aku juga melihat pernikahan ayah, tante-tante dan juga paman-pamanku, tidak sedikit juga aku menyaksikan secara langsung bagaimana rumitnya menjalani kehidupan pernikahan dari orang lain disekitarku.


Kakak pertamaku sejauh ini masih menjadi salah satu orang yang aku percaya untuk bercerita. Aku melihat kedewasaan yang jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya. 

Mungkin masih ada orang yang membicarakannya, tapi aku tau bahwa dia akan tetap kuat dan menjadi dirinya sendiri dengan versi yang terbaik, menjadi seorang ibu, menjadi seorang istri dan sebagai kakak yang luar biasa untuk kami adik-adiknya. 


Aku menyayanginya, tapi mungkin sampai saat ini aku masih belum bisa membahagiakan dia sebagaimana mestinya. Aku juga belum bisa mengikuti saran-sarannya, tapi aku percaya sekalipun aku belum atau jika memang tidak akan pernah bisa menjadi adik terbaik seperti yang dia mau, dia akan tetap menerima dan menyayangi juga menghargai setiap keputusan dalam hidupku.

I love you, Teteh. 


Kakak keduaku.

Umur kami hanya beda 19 hari.

Kita sama-sama Gemini. Oh iya, aku mempercayai zodiak tapi hanya untuk karakter bukan untuk keuangan dan percintaan. Takutnya malah terkesan seperti "horoscope people".

Dia sudah mempunyai 2 orang anak.

Karena jarak rumahnya yang tidak begitu jauh dari tempat tinggalku, jadi sangat sering aku bertemu dengannya.


Mungkin karena umur kami yang hanya beda beberapa hari saja, banyak kesamaan diantara kami. Karakter sudah pasti sama, cara berpikir apalagi, cara memandang kehidupan mungkin sedikit berbeda, tapi ada yang spesifik sama diantara kami yaitu bagaimana cara memperlakukan orang. 

Kami akan membenci orang sekaligus menyayanginya dalam satu waktu yang bersamaan. 

Kami bermuka dua dalam artian bisa menyembunyikan rasa marah, kami juga bisa berpura-pura tidak terluka, bisa menyimpan dendam dan rasa tidak suka kepada orang lain, jika sudah mengetahui hal terburuk dari seseorang maka kami tidak akan segan-segan untuk menganggap orang itu tidak lagi ada, kami akan menghilangkan respect kepada mereka, tapi kami akan tetap berprilaku seperti tidak pernah ada semua hal itu. 


Dia juga menjadi sosok kakak yang baik.

Masih sama dengan kakak pertamaku, dia juga menjadi orang yang bisa mendengarkan segala ceritaku. Aku tidak  ragu untuk bercerita apa saja kepadanya. Dia bukan tipe orang yang menghakimi, jadi sejauh ini aku masih nyaman untuk mengungkapkan apapun yang sedang aku rasakan. 


Banyak hal yang bisa aku contoh darinya. 

Semua orang mempunyai kekurangan dan kelebihan, tentu saja. Tapi kita tidak harus fokus pada satu kekurangan dan melupakan banyaknya kelebihan. 

I love her. Kami memanggilnya Teh Omah. 



Adikku. 

Sejak dia masih kecil, aku benar-benar tidak menyukainya. 

Wajahnya yang bengis, tatapan matanya yang tajam, galak dan bahkan galak sekali. 

Oh Tuhan, aku sangat tidak menyukainya kala itu. 

Tidak menyukai bukan berarti membenci. 

Karena ketika sudah beranjak dewasa kami baik-baik saja. 


Kami berempat sangat menyukai obrolan. 

Adikku pun begitu. Ketika kami bertemu dan memulai satu topik, kita bisa membahasnya sampai topik itu benar-benar habis tuntas kita bicarakan. 

Adikku juga sudah mempunyai anak perempuan yang rasa ingin taunya begitu tinggi. Aku pernah diwawancarai oleh keponakanku itu sampai begitu detail dan spesifik. Tentu saja keponakanku jauh lebih sweet dibanding ibunya saat masih kecil. 


Adikku sekarang ini sudah jauh bertumbuh menjadi sosok yang lebih baik. 

Dia menjadi seorang istri yang sangat pengertian dan memahami, menjadi seorang ibu yang pintar, dan dia juga menjadi adik yang aku pikir malah jauh lebih dewasa dibanding kami kakak-kakaknya. 


Dia juga pernah menyediakan tempat disaat aku sedang membutuhkan pelarian dari satu kenyataan yang tidak bisa aku hadapi dengan cepat. 

Membiarkanku menghabiskan waktu untuk merenung dan mencerna apa yang sedang terjadi sampai aku bisa cukup sembuh dari itu semua. 

Mungkin bukan apa-apa untuknya, tapi bagiku itu adalah hal yang luar biasa yang pernah aku dapatkan sejauh ini. 

Disaat tidak ada orang yang mau tau, dia bertanya "kenapa" dan menyuruhku untuk pulang dan tinggal bersamanya sampai semuanya terasa tenang. 


Thank you ya, Dede sayang Neng. 


--------


Aku juga mempunyai banyak sepupu. 

Selain kami memang tinggal berjauhan, kami semua juga sudah mempunyai kehidupan dan kesibukan masing-masing. 

Ada yang sesekali bertemu, ada yang berkali-kali bertemu, ada yang jarang bertemu tapi kami merasa cukup dekat bahkan sudah saling tau pribadi masing-masing. 


Sepupu? 


--------


To be continued

Nugraha is My Name (part 2)

Nugraha is My Name (part 2)


PERINGATAN !



Sebelum membaca artikel ini, diharapkan agar pembaca sudah berusia 17 tahun, mempunyai kemampuan untuk menghargai dan menerima juga open minded. 

Karena artikel ini berdasarkan pengalaman pribadi dan terdapat konflik secara mendalam dari konteks, paradigma, opini dan juga akan menyertakan orang-orang yang pernah ada di kehidupan pribadi sang penulis secara jujur yang bisa dikonfirmasi secara komprehensif. 


- Nugraha is my name. 


--------


Tentang Ibu.

Aku sedang mencari playlist lagu yang cocok agar semua pikiran itu sedikit terasa nyata. Karena kebiasaanku ketika menulis harus sambil mendengarkan lagu yang benar-benar pas.



Kembali ke awal. 

Ibuku meninggal pada saat aku masih kelas 1 SD.

Aku tidak mengenalnya. Aku juga tidak mempunyai memori bersamanya. Bahkan aku tidak mempunyai satu foto pun bersamanya. Apalagi ada salam perpisahan atau kata-kata yang menenangkan disaat anak-anak lain bisa bercerita apa saja kepada ibu mereka.

Yang aku tau darinya hanya tentang kekuatan hati yang hingga saat ini dia wariskan kepadaku. Bagaimana cara dia menerima kenyataan, bersabar, terus bertahan demi orang-orang yang dicintainya.


Aku selalu berpura-pura tegar dan baik-baik saja. 

Ibu lihat kehidupanku sekarang? 

Aku belum sempat mengucapkan terima kasih secara langsung kepada ibu. 

Betapa besarnya jasa ibu untukku. 

Aku bisa berpikir cepat dan pintar dalam segala hal, itu karena ibu.

Ibu bisa dengan cepat memaafkan kesalahan orang, karena aku juga memiliki hati yang sama seperti ibu.


Aku sangat merindukan sosok ibu sampai saat ini.


Ibu tiriku, istri kedua ayah yang katanya galak. 

Aku pribadi tidak merasakan hal itu. Karena saat itu aku sudah tinggal bersama Ua-ku. 

Kakak pertamaku dengan cerita viralnya diantara keluarga, katanya pernah disuruh memetik kangkung saat pagi buta ditengah kolam ikan yang tinggi airnya hampir sedada. 

Aku beberapa kali bertemu dengannya, kami memanggilnya Umi. Kakakku yang kedua dan adikku terlahir darinya. 

Kami pernah ke rumahnya yang di Bogor pada tahun 2016. Tentu saja kakak pertamaku tidak ikut. 

Aku melihatnya seperti ibu pada umumnya, bahkan kita akrab mengobrol. 

Sekarang dia sudah meninggal karena sakit yang dideritanya. 


Ayahku menikah lagi beberapa bulan setelah bercerai dengan Umi. 

Dia memilih gadis yang katanya terbaik di kampung pada saat itu, malah dia adalah mantan muridnya. Dia juga kakak kelas dari kakakku. 

Apakah dia baik? 

Aku mendeskripsikan bahwa semua ibu tiri itu sama. Mereka palsu. 

Ketika aku menganggap bahwa dia adalah ibu tanpa ada akhiran tiri, tapi dia masih dengan jelas memperlakukanku sebagaimana mestinya, yaitu anak tiri. 

Dulu dia adalah orang yang pernah aku sayangi, sebelum aku sadar bahwa aku hanyalah anak sambung baginya.

Aku juga pernah memanggilnya dengan sebutan "ibu". 

Aku kecewa, bukan kecewa padanya. Tapi aku kecewa pada diriku yang berekspektasi bahwa dia akan melakukan banyak hal untukku ditengah kehausan diriku yang membutuhkan sosok seorang ibu.

Bahkan belakangan aku sudah tidak lagi menganggap dia ada, karena dia pun begitu kepadaku. Tidak ada lagi ikatan dalam batinku. Ditengah perjalanan hidupku yang tanpa arah, tanpa tujuan, tanpa siapa-siapa, dan dia tau semua itu, tapi dia tidak pernah bertanya apapun kepadaku. Padahal dengan jelas dan tegas dia memang mengetahui bagaimana keadaan diriku pada saat itu. 

Bukannya aku ingin menghindar, aku sudah memperlakukannya dengan lebih tapi aku tidak mendapatkan perhatian sekecil apapun yang bisa dia lakukan. 


Aku lebih memilih Ua-ku yang cocok untuk dijadikan sosok ibu. 

Meskipun dia galak dan sangat keras, tapi setidaknya dia jujur. 

Aku memanggil Ua-ku dengan sebutan "mamah". 

Karena dia adalah mamahku. 

Orang yang dari kecil sudah mempedulikanku, menyayangiku, mencintaiku dengan cara-caranya. Rela melakukan apa saja untukku. 

Dia juga pernah menangis untukku, sering memelukku, apalagi saat pertama kali mendengar bahwa ibuku meninggal. "Bae De pan aya mamah". 

Aku juga sangat menyayanginya. 

Aku akan selalu mendo'akannya yang terbaik selama aku ingat. 

Andai saja aku bisa bercerita tentang apa yang terjadi dan aku rasakan pada saat ini dan pada saat-saat orang lain tidak peduli. 

Aku yakin akan ada kalimat penenang yang aku dengar darinya. 


Aku tidak bisa kembali ke masa lalu untuk memelukmu dan berkata bahwa anakmu ingin baik-baik saja, aku ingin hidupku seperti orang lain yang kebanyakan dari mereka bisa kapan saja bercerita tentang apapun kepadamu, mungkin mamah bisa mengusap air mataku yang selalu mengalir di pipi ini, menepuk pundakku dan menenangkan betapa teduhnya tangan itu yang selalu kurindukan darimu. 


Untuk saat ini sosok ibu hanyalah angan. 

Aku terlalu dewasa untuk berharap akan ada pelukan dari mereka. 


Karena aku melihat diriku yang sudah sangat kuat untuk saat ini, betapa bangganya diriku atas apa yang sudah aku jalani sejauh ini, melewati banyak hal dan fase kehidupan yang benar-benar berat, terus belajar memahami dan menerima kehidupan juga tetap berusaha untuk selalu bersyukur agar aku tidak lagi larut dalam banyaknya kesedihan.


--------


Perjalanan hidupku dimulai lagi pada tahun 2010.

Tahun dimana aku menjadi seorang ayah pengganti yang seharusnya tidak perlu aku lakukan. 


Masih ingat, saat itu hampir tengah malam, tanggal 11-05-2010 jam 23:39.

Aku bersama teman-temanku sedang menikmati malam yang indah dan bahkan terlalu sayang untuk dilewatkan. 

Kehidupan anak remaja yang sedang benar-benar tau bagaimana cara menikmati kesenangan tanpa mempedulikan kanan kiri dan kedepannya.

Apalagi saat itu aku sedang jauh dari rumah. 

Tiba-tiba aku di telepon oleh seseorang, dia adalah ayah dari perempuan itu. 


Aku disuruh datang ke RSIA di Astana Anyar, diminta untuk meng-adzani anak yang baru lahir. Karena kakek dari anak itu sedang berada diluar kota.

Pada keesokan harinya aku juga diminta memberi nama sementara olehnya untuk anak itu, aku pilih "Angga Nugraha" dan sekalian diminta untuk menandatangani surat kelahiran.


Pertama menggendong bayi, dalam hatiku, "kamu bukan anakku", tapi aku mencoba untuk merubah pola pikir itu, kamu anak yang tidak berdosa. 

Di usiaku yang belum genap 18 tahun, baru keluar dari rumah, lagi kacrut-kacrutnya, mencoba untuk peduli dengan seorang perempuan yang ditinggal oleh pria yang tidak bertanggung jawab. Tapi seiring waktu berjalan, aku menerima keputusan atas apa yang sudah aku pilih, dia memang hanya temanku, dia bukan pacarku ataupun saudaraku, tapi aku tetap memperdulikannya. 

Dan anak itu juga bukan darah dagingku, tapi aku menyayanginya. 


Aku belajar menjadi pribadi yang baik, belajar menjadi sosok ayah pengganti yang bisa dijadikan contoh, aku juga berusaha memenuhi kebutuhannya, belajar menerima banyak hal entah itu omongan yang kurang enak untuk didengar ataupun banyak pujian yang orang lain sampaikan. 

Sampai aku kembali merasa kecewa karena terlalu dalam mencintai seseorang, yaitu anak itu. Anak yang sudah jelas bukanlah anakku. 

Aku terlalu erat memegang gelas hingga pecah dan malah melukai tanganku sendiri.


Satu tahun kemudian.

2011.

Rasanya waktu berjalan begitu cepat kala itu.

Dia bisa melihat wajahku, mengenali suaraku, bisa tertidur di gendonganku, berhenti menangis dalam pelukanku, dia belajar merangkak, berjalan, dia juga memanggilku dengan nama "Nugi" bukan panggilan lainnya. Dan tiba saatnya ulang tahun pertama anak itu.

Aku diminta mengambil kue ulang tahun oleh ibunya di sebuah toko yang tidak jauh dari rumah.

Dan ketika aku kembali ke rumah, ada sosok yang membawa hadiah yang selama ini perempuan itu inginkan, "akta kelahiran" dengan nama anak itu yang berubah menjadi "Erlangga Sadewa". Dan sosok itu adalah ayah biologisnya.


Masih terbayang dan sedikit terasa sakit jika teringat saat itu. 

Remaja umur 19 tahun dihadapkan dengan kenyataan yang benar-benar menyakitkan. Remember, aku tidak sayang kepada ibunya selain hanya perduli, apalagi jika harus mencintainya, tapi aku menyayangi dan mencintai anak itu melebihi sayang dan cintaku kepada orang-orang sebelum dia, bahkan sampai saat ini pun belum pernah aku merasakan hal seperti itu kepada orang lain melebihi semua rasa sayang dan cinta kepadanya, kepada anak itu. 


Acara ulang tahun pertamamya pun tetap berlangsung.

Aku bertahan sejenak untuk melanjutkan momen terbaik yang sudah aku buat sejak jauh-jauh hari.

Kami juga mengundang beberapa anak tetangga disekitar rumah.

"Happy birthday to you, happy birthday to you, tiup lilinnya, tiup lilinnya".

Kemudian aku memberinya hadiah kecil sepatu berwarna abu tanpa bungkus kado, karena aku pikir setiap hari adalah hari yang spesial untuknya, jadi aku menganggap hari ulang tahun itu tidak ada bedanya dengan hari-hari sebelumnya, setiap hari bersamanya adalah hari spesial bagi kami. 


Setelah acara itu selesai, aku mencoba mencerna semuanya. Berusaha untuk berpikir dan merenung.

Tapi semakin hari semakin tidak ada kesempatan lagi untuk aku ada diantara mereka, hingga pada akhirnya aku keluar dari hari-harinya, dari kehidupannya.

Berusaha move-on dan hanya sesekali aku datang menemuinya.

Karena aku bertemu banyak orang ditengah perjalanan baruku, mencoba banyak hal yang sejak saat itu bisa merubah cara pandangku terhadap dunia, terhadap orang-orang bahkan tehadap perempuan. 

Again, aku tidak akan pernah menyalahkan siapapun, karena semuanya sudah aku pilih dan aku lakukan atas kesadaranku sepenuhnya. Aku yang memilih dan berusaha untuk bertanggung jawab akan banyak hal untuk hidupku.


Tapi aku benar-benar tidak pernah tau jika saat umurnya yang ke 3 tahun orang tuanya memutuskan untuk berpisah. 

Andai saja aku tau itu sejak dulu, mungkin aku akan deket dengannya lagi, mungkin dia tidak akan seperti sekarang ini (2022-2023).

Nanti aku akan menceritakannya secara detail.


-------


2011 


Setelah keluar dari lingkungan itu aku bertemu dengan seseorang yang membawaku ke kehidupan yang luar biasa berbeda.

Kehidupan dimana aku bisa melanjutkan perjalanan, bertemu teman, sahabat, cinta, banyak pengalaman, banyak kesenangan dan juga uang.


Siang itu aku sedang duduk santai di taman alun-alun Bandung seperti biasanya.

Ada beberapa teman yang setiap hari pasti kita bertemu dan mengobrol sambil merokok dan minum kopi, bercerita banyak hal, pengalaman-pengalaman, apapun itu kecuali tentang keluarga. Bahkan sampai sekarang pun diantara mereka tidak pernah tau keadaan keluargaku seperti apa dan bagaimana. Karena aku pikir ada beberapa bagian yang tidak harus mereka ketahui sepenuhnya dariku. 

Namanya Teh Wati dan Teh Dini.

Mereka adalah perempuan PSK yang memang sering mangkal disana.

Bagi orang-orang yang sudah tau kondisi alun-alun Bandung sejak dulu pasti terbayang suasananya seperti apa.


Oh iya, kehidupanku dibiayai oleh mereka.

Tempat tinggalku tidak menetap dan selalu berpindah-pindah, makan dan kebutuhan lainnya mereka selalu berbagi. 

Aku juga membantu mereka berjualan kopi. 

Berjualan kopi adalah kedok dari usaha utama mereka, tentu saja. 

Sering kali ditengah obrolan dan sedang melayani pembeli yang memesan kopi, diantara mereka tiba-tiba pergi untuk check-in ke hotel yang tidak jauh dari sana. 

Bukan sesuatu yang aneh bagiku.


Aku tidak memiliki pekerjaan jelas pada saat itu. 

Pernah beberapa bulan aku kerja di toko roti belakang Yogya Kepatihan, tapi aku tidak menyukai rutinitas yang tertata dan terjadwal. Itu sangat membosankan bagiku. 

Meskipun sekolahku tidak benar dan bisa dibilang tidak tamat, tapi aku  tetap mempunyai ijazah SMA resmi. Sudah jelas semuanya karena ayahku. 

The power of kepala sekolah.


Suatu pagi di bulan Mei, aku beraktifitas seperti biasanya. 

Mengobrol kesana kemari, bercanda seolah tidak memiliki luka batin yang berarti, tiba-tiba datang seorang remaja sepantaranku  yang ternyata sudah kenal dengan Teh Wati. 

Memakai kemeja flanel, celana jeans, sepatu sport yang bagus menurutku kala itu. 


Namanya Rian. 


Anehnya saat aku mengingat awal pertemuanku dengan dia dan harus menulisnya pada saat ini aku tidak bisa menyembunyikan rasa senang itu, aku sedang tersenyum sekarang. 

Padahal momennya terjadi 12 tahun yang lalu. 


Dia adalah orang yang mengenalkan banyaknya pilihan hidup, orang yang membawaku pergi dari tempat yang aku taunya hanya rasa kecewa, orang yang mengajariku bagaimana menciptakan kebahagiaan dengan hal-hal sederhana dan momen kecil sekalipun, dia yang mengenalkan bahwa cinta itu universal dan tidak selalu spesifik, dan dia juga yang mengajariku bagaimana mendapatkan uang dengan cara yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Aku kenal Teh Wati dan Teh Dini yang sudah jelas berada di dunia pertukaran antara jasa dengan uang, tapi mereka tidak pernah sekalipun mengajariku bagaimana caranya. 

Sedangkan dia mengajariku akan hal itu.


Pertemanan kami semakin hari semakin dekat.

Bahkan kami tinggal di sebuah kost yang tidak jauh dari alun-alun Bandung. 

Dia juga sering membawaku ke hotel-hotel bagus di kota Bandung bahkan beberapa kali keluar kota. 

Jakarta, Bodetabek sudah pasti, Yogyakarta adalah salah satu kota favoritnya, Cirebon dan banyak kota-kota lainnya. 


Kami berteman. Teman yang sangat dekat.

Saat itu aku sedang benar-benar jauh dari rumah dan keluarga. 

Apalagi aku sedang dalam masa penyembuhan atas kekecewaan yang sebelumnya begitu mendalam. 

Bertemu dengannya adalah hal terbaik yang  pernah aku rasakan. 

Aku mempunyai teman sekaligus sahabat yang rasanya melebihi saudara sendiri. 

Tapi ada hal yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya. 

Ketika aku mengantarnya untuk bertemu dengan orang lain seperti biasanya, ada rasa kekhawatiran dan rasa tidak suka, bahkan ada rasa benci ketika aku mengetahui dia dekat dengan orang lain. 

Tidak nyaman jika harus menunggu terlalu lama di lobby hotel, padahal dengan keprofesionalan yang dia miliki tidak mungkin dia akan melakukan hal itu tanpa uang. 

Tapi tetap saja aku merasa tidak suka.

Cemburu? 


Ayolah. 

Aku pernah beberapa kali berpacaran dengan perempuan. 

Saat SMA, aku juga pernah berpacaran  dengan teman kakak keduaku yang bernama Delis. Itu nyata, meksipun hanya sebentar. 

Aku juga sering menyukai banyak perempuan, ada Dini anak SMP yang tinggal di Batuireng kala itu, ada juga yang mirip sama si Herlina cinta pertamaku, Dewi anak sekelas ketika masih SMP di Banjaran, dan masih banyak lagi perempuan-perempuan lainnya. 

Aku juga sering melakukannya sewaktu masih bersama ibu si anak meskipun tanpa didasari rasa sayang dan semacamnya.

Tapi kepadanya lain dari pada biasanya. 


Pada suatu malam di jalan Asia Afrika Bandung, aku menyendiri jauh dari orang-orang yang aku kenal. Mencoba mencerna dan menyadari apa yang sebenarnya aku rasakan. 

Aku tidak ikut bersamanya pada saat itu. 

Entahlah, aku mencoba untuk menghindarinya. 

Ketika aku sedang duduk melamun, tiba-tiba dia datang mengajakku pulang.

Kalau diingat sekarang itu hal paling menjijikan tapi rasanya sedikit romantis. 

Aku tidak mau pulang ke kost dan ingin tetap duduk disana. Dia terus memaksaku tapi aku tetap diam. 

Dan dia malah duduk disampingku sambil berkata, "iya, aku juga merasakan hal yang sama". 

Aku masih baru pada saat itu, tapi dia tetap mempercayakan perasaannya untuk bersamaku, bahkan disaat kita pertama bertemu.

Aku tidak akan berkata bahwa dia ada udang dibalik batu, karena semua perlakuannya kepadaku adalah sesuatu yang tulus. Mungkin memang ada niat lain dari sejak kita berkenalan, tapi apapun maksudnya dia melakukannya dengan baik. Hingga pada akhirnya aku menjatuhkan hati dan perasaan kepadanya.

Tentu saja bukan cinta pada saat itu, tapi aku merasa bahwa dia adalah orang terbaik yang aku punya. 


Meksipun masih terasa aneh bagiku, tapi itu sesuatu yang nyata. 

Perasaan yang tidak bisa dibohongi. 

Aku mulai menjalani kehidupan yang menurutku masih baru. 

Aku sangat merasakan kebahagiaan yang selama itu aku harapkan. 

Bertemu dengannya adalah salah satu hal terbaik yang aku rasakan, ditengah ketidakpastian, kebimbangan dan kekosongan juga rasa kecewa kepada banyak orang, dia menemaniku, menerimaku, mendengarkanku, memberikan apa yang aku butuhkan, hatinya, pikirannya, bahunya, pelukannya, dan juga harta yang dia punya. 


Ditengah kebahagiaan yang sedang aku jalani, dua bulan kemudian dia menghilang tanpa kabar. Tidak ada kontak, tidak ada titip salam ataupun memberi tanda keberadaannya.


Aku mencarinya ke semua tempat yang selalu kita kunjungi, bahkan aku keluar kota yang selalu kita datangi, yaitu Jakarta. 


Ditengah pencarian yang aku lakukan, aku bertemu dengan banyak orang yang baru. 

Ms, An, Da, Dm, Zn, Ad, Kn, Gn, Kv, Bw, dan beberapa gadun yang sudah pasti untuk memenuhi kebutuhanku. 


2012, aku bertemu dengan Ms di Jakarta.


-------


To be continued.