Di file flashdisk-ku dengan judul: Fiksi: Pengalaman Hidup Di Negeri Paman Sam, Amerika >correct to blog menjadi< Perjalanan Hidupku Di Amerika
*
Setiap orang berhak mempunyai cita-cita
setinggi langit. Siapa pun dan bagaimana pun keadaan dia, cita-cita tetaplah
harus dapat dicapai. Meskipun cobaan akan selalu menghampiri, asalkan
cita-cita dan tekadnya kuat pasti akan tercapai.
Ini ceritaku yang hanya aku tulis di
laptopku sejak keberadaanku di kota kecil namun indah ini. Sudah
beberapa bulan aku meninggalkan negara termaju di dunia. Ya, Amerika.
Sudah 2 bulan aku berada disini.
Meskipun tinggal di rumah impianku dengan pemandangan pantai lepas, aku disini hanya sendiri, tanpa teman apalagi pekerjaan.
Aku memutuskan untuk pergi dari sana karena aku merasa bahwa ternyata cita-cita itu bukan hanya harapan dan keinginan, tapi harus disertai dengan pemikiran dan pemahaman juga kepercayaan, dan bukan ini yang sebenarnya aku inginkan.
***
6 tahun yang lalu.
***
Aku berasal dari negara republik, yang
kini semakin banyak saja masalah disana. Indonesia tercinta. Aku masih ingat
saat pertama kali belajar lagu Indonesia Raya di bangku sekolah dasar. “Hiduplah
Indonesia Raya”.
Ini memang keinginanku untuk pergi
keluar dari zona aman kehidupanku. Mencoba hal-hal baru, mengunjungi tempat-tempat baru, bertemu dengan orang-orang baru, demi menambah
pengalaman dalam kehidupan ini.
Begitu pikirku.
Karena aku percaya, bahwa setiap nasib masih
bisa dirubah.
*
Untuk
pertama kalinya aku mendapat lotre green card (Program DV Lottre). Beruntung
sekali aku, karena dari setiap periode aku selalu ikut mendaftar, tidak hanya sendiri, aku ikut mendaftar bersama salah satu teman ku sewaktu masih kuliah. Namanya Resti.
Mungkin dia hanya belum beruntung, meskipun setiap
tahun ikut mendaftar, tapi keberuntungan belum berpihak padanya. Karena yang
saat ini mempunyai kesempatan adalah aku. Padahal saat itu aku baru ikut program ke dua kalinya.
Wajar saja, karena 1 berbanding 1000 orang di
seluruh dunia yang mendapatkan kesempatan untuk tinggal menetap di Negara Paman
Sam itu.
Kenapa aku memilih jalur green card,
karena aku pikir tidak perlu banyak dana yang harus aku keluarkan untuk
mengurus visa/ izin tetap tinggal. Hanya perlu registrasi dengan gratis dan
menunggu selama 7 bulan untuk mendapat kabar/pengumuman apakah akan mendapat
kesempatan itu atau tidak.
Dari awal bulan Oktober dan
pemberitahuan pada tahun berikutnya, tepatnya bulan Mei.
*
Setelah mengurus semua persyaratan, termasuk visa yang memang langsung diurus olehku sendiri, dengan pulang pergi Kedubes AS di Jakarta. Sekitar 6 bulan, tepat pada bulan November, semua persyaratan sudah selesai.
Wawancara berkali-kali, dengan berbagai petugas, tes bahasa dan sedikit pengetahuan mengenai Amerika.
Aku juga mempersiapkan sebuah apartemen
yang sudah aku sewa di daerah Los Angeles sebelum keberangkatan. Dan yang
paling penting aku mempersiapkan mental, juga tidak lupa mencari info
sebanyak-banyaknya tentang lingkungan yang akan aku tempati.
Dengan di jemput oleh bus travel
khusus angkutan bandara, diantar oleh ibu dan adik perempuanku yang kini duduk
di bangku SMA. Aku teringat, saat itu dia baru masuk SMP kelas 2.
Aku selalu mengantarnya pergi ke sekolah sekalian aku berangkat kerja.
Aku juga diantar temanku, Resti
Pagi itu kami langsung menuju bandara
internasional terbesar di negaraku, yaitu bandara Soekarno Hatta.
Tidak lebih dari 3 jam kami sampai di bandara, terminal 1 tepatnya. Tidak perlu untuk check-in lagi, karena satu hari sebelum keberangkatan aku memang sengaja langsung mendatangi kantor tempat penjulan tiket pesawatnya agar bisa di print-out.
Tidak lebih dari 3 jam kami sampai di bandara, terminal 1 tepatnya. Tidak perlu untuk check-in lagi, karena satu hari sebelum keberangkatan aku memang sengaja langsung mendatangi kantor tempat penjulan tiket pesawatnya agar bisa di print-out.
Kerena jadwal
keberangkatan masih sekitar 2 jam lagi, kami
memutuskan untuk makan.
Sambil ngobrol ngaler-ngidul (Sunda mode on), apalagi aku akan meninggalkan negara tercinta ini lumayan cukup lama.
Aku juga harus meninggalkan ibu dan
adikku. Aku tidak terlalu khawatir tentang biaya untuk
kehidupan mereka, tapi masalah kesehatan ibu yang kadang-kadang drop karena darah tingginya.
Aku juga tidak henti-hentinya meminta
do’a restu pada ibu, juga berpesan pada adikku agar senantiasa menjaga ibu.
Dan tibalah saatnya aku berpisah
dengan mereka, rasanya sedih sekali saat itu.
Aku memeluk mereka dengan erat, . “Jaga diri baik-baik ya nak", oh so sad.
Aku memeluk mereka dengan erat, . “Jaga diri baik-baik ya nak", oh so sad.
Tidak lupa aku juga berpamitan kepada Resti yang sejak awal sudah menemaniku sampai sejauh ini.
*
Setelah sekian jam berada diatas awan,
sampailah aku di bandara yang begitu mewah.
Bandara yang terletak di kota Los
Angeles, California.
Sebelumnya aku transit di bandara Changi, Singapura.
Ada pengalaman yang lumayan menarik
ketika berada di pesawat saat transit di bandara Changi.
Ketika di pesawat aku duduk bersebelahan dengan seorang wanita yang aku perkirakan usianya sekitar 40 tahun.
Penampilannya cukup sederhana, aku pikir dia orangnya friendly, tapi terlihat terkesan sedikit berkelas dari caranya dia duduk dan menganggukkan kepala seraya senyum tipis kearah ku mengisyarakatkan bahwa kita akan duduk bersebelahan sampai akhir penerbangan.
Sedikit menegangkan juga akan duduk lama di atas awan.
Aku tidak pernah naik pesawat dengan jarak tempuh yang begitu jauh, paling lama juga hanya ke negara-negara Asia. Itupun kalau ada yang tabungan lebih bukan urusan bisnis apalagi untuk menetap lama di tempat tujuan.
Dengan polosnya diriku mencoba memperkenalkan diri. "Saya Ryan dari Indonesia". Dengan senyum ramah, dia menyambut sapaanku. "Saya Anne dari Virginia".
Kebetulan
sekali, dia adalah orang pribumi dari negara yang akan aku tinggali.
Bahasa Inggrisku sangat fasih, terbukti aku selalu mendapat nilai tertinggi disaat sekolah, bahkan sempat dipuji oleh pewawancara di kedutaan.
Setelah memperkenalkan diri, barulah aku
berani bertanya tentang lebih jauh. Tanpa ragu, dia pun menjawab apa yang aku
tanyakan. Ternyata dia adalah seorang akuntan dari sebuah lembaga ternama di
Amerika. Dan kebetulan juga dia baru selesai menghadiri acara dari Singapura.
Aku pun menjelaskan apa tujuan ku ke Negeri Paman Sam itu.
*
Tibalah saatnya makan malam diatas
pesawat. Tapi aku hanya memilih makanan ringan saja. Karena hanya melihat dari
nama menunya saja aku sudah tau, tidak akan cocok dengan lidahku.
Setelah selesai makan, aku mencoba menonton film yang bergenre action drama yang ada di monitor depan kursiku.
Setelah selesai makan, aku mencoba menonton film yang bergenre action drama yang ada di monitor depan kursiku.
Mrs Anne aku memanggilnya. Dia juga ikut
menonton film yang ada di layar monitorku. Meskipun dengan gambar yang
sesekali pecah karena perjalanan saat itu sedikit terganggu, sudah biasa kata
pilot yang berbicara dari pengeras suara.
Dia langsung berkomentar, "itu filmnya dengan sutradara terbaik oscar tahun lalu", dia juga menyebutkan para pemainnya.
Dia bilang jangan terlalu sering menonton film seperti itu karena bisa mempengaruhi cara berpikir. Tapi aku tidak memperhatikan apa yang dia katakan lagi, karena filmnya semakin asyik untuk di tonton. Sudah mau ending.
Sepanjang perjalanan dia selalu
memperhatikanku. Entah apa yang menarik dari aku.
Terakhir dia berpesan, kalau hidup dimana pun apalagi di negara seperti Amerika, harus selalu siap dalam setiap kondisi, terutama mental. Karena bukan hanya akan bertemu dengan orang-orang yang baru tapi akan hidup di lingkungan yang berbeda, termasuk berbagai suku, budaya dan gaya hidup yang beragam, juga agama dan kepercayaan yang beragam juga. Apalagi pribumi biasanya tidak terlalu terbuka bagi para pendatang, bukan berarti tidak menerima pendatang, hanya saja tidak semua penduduk asli bersedia untuk cepat bersosialisasi dengan pendatang. Yang namanya hidup di negara orang harus pandai-pandai menjaga diri, terutama dari pergaulan juga lingkungan.
Terakhir dia berpesan, kalau hidup dimana pun apalagi di negara seperti Amerika, harus selalu siap dalam setiap kondisi, terutama mental. Karena bukan hanya akan bertemu dengan orang-orang yang baru tapi akan hidup di lingkungan yang berbeda, termasuk berbagai suku, budaya dan gaya hidup yang beragam, juga agama dan kepercayaan yang beragam juga. Apalagi pribumi biasanya tidak terlalu terbuka bagi para pendatang, bukan berarti tidak menerima pendatang, hanya saja tidak semua penduduk asli bersedia untuk cepat bersosialisasi dengan pendatang. Yang namanya hidup di negara orang harus pandai-pandai menjaga diri, terutama dari pergaulan juga lingkungan.
*
Karena pesawat sudah landing, semua penumpang di pesawat sangat ramai dan sedikit berisik. Tidak sedikit yang sangat sibuk dengan barang bawaannya.
Begitupun aku. Meskipun hanya ransel
dan tas jinjing yang berisi laptop, kebetulan beberapa barang bawaan
lainnya ada di bagasi, tapi tetap saja aku tidak mau kalah kelihatan sibuk dari
penumpang lainnya.
Sebelum keluar pesawat, Mrs Anne
memberi sebuah kartu nama. Katanya jika suatu aku membutuhkan bantuan, aku bisa
menghubunginya kapan saja. Tapi yang membuatku terharu adalah ketika dia
memelukku dan berkata, "Maybe he's like you now. This's for you."
Selain kartu nama, dia juga memberikan sebuah amplop.
"Ini apa?" Aku bertanya dengan ragu. "Terima saja, itu sedikit untuk uang saku kamu, karena dulu saya juga pernah seperti kamu."
"Ini apa?" Aku bertanya dengan ragu. "Terima saja, itu sedikit untuk uang saku kamu, karena dulu saya juga pernah seperti kamu."
Aku hanya mampu mengucapkan terimakasih. Selain pepatah yang sepanjang perjalanan tadi aku dapatkan, aku juga mendapat sesuatu yang membuat aku penasaran. Berapa ya uang nya? 😁
Part 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar kamu disini!👇✌️😁