PERINGATAN !
Sebelum membaca artikel ini, diharapkan agar pembaca sudah berusia 17 tahun, mempunyai kemampuan untuk menghargai dan menerima juga open minded.
Karena artikel ini berdasarkan pengalaman pribadi dan terdapat konflik secara mendalam dari konteks, paradigma, opini dan juga akan menyertakan orang-orang yang pernah ada di kehidupan pribadi sang penulis secara jujur yang bisa dikonfirmasi secara komprehensif.
---
Nak, bagaimana jika nanti aku tidak mampu menyayangimu seperti yang kamu harapkan? Bagaimana jika cintaku hanya begini-begini saja? Meskipun kamu selalu berkata tidak apa-apa selama aku selalu berusaha. Tapi bagaimana jika usahaku pun tidak pernah cukup untukmu, Nak?
Aku bangga menjadi bagian dari hidupmu. Sebagai orang yang pernah mencurahkan segalanya untukmu, mungkin rasa sayangku begitu dalam, tapi selama ini aku belum mampu membuat dirimu bangga, meski sebenarnya sungguh aku sedang berusaha.
Nak, jika pada akhirnya aku tidak pernah bisa menjadi orang yang kamu bayangkan, bolehkah aku tetap menjadi Ayahmu? Selamanya? ðŸ˜
Pada akhirnya, semua akan kembali sunyi.
Suara akan berhenti menjadi gema, langkah akan berhenti menjadi jejak, dan waktu akan berlari memanggil namaku.
Raga akan melebur menjadi tanah, menjadi debu yang pernah mencinta, menjadi saksi bahwa aku pernah ada, walau hanya sekejap di mata mereka.
Tapi aku tidak pernah takut.
Karena bukan raga yang membuatku hidup, melainkan segala yang pernah aku rasakan, ada tawa, air mata, dan cinta yang tidak pernah benar-benar usai.
Suatu hari nanti, ketika bumi menutup tubuhku, semesta akan tetap menyimpan sisa cahaya dari setiap kebaikan dan rasa yang pernah aku berikan.
Maka aku akan membiarkan tubuhku hilang, membiarkan waktu memisah, sebab cinta tidak pernah dikubur. Cinta hanya berganti wujud, menjadi bintang yang diam-diam menunggu di langit yang sama, tempat aku dan mereka yang akan pulang tanpa nama, tanpa bentuk, tapi masih saling mengenal dalam rasa.
Aku tidaklah kuat, aku sedang memilih untuk memaklumi dan memaksa diriku agar terbiasa.
Mereka memanggilku kuat, padahal aku hanya tahu cara bertahan tanpa pilihan.
Aku tidak sedang tabah, aku hanya terlalu sering kecewa hingga tangis pun tanpa diiringi oleh air mata.
Kuat? Tidak.
Aku hanya sedang berpura-pura utuh, agar dunia berhenti bertanya kenapa aku nyaris runtuh.
Walaupun duniaku tidak jelas, disertai jejak perjalananku yang kotor. Tapi aku selalu berharap semoga hidupku bisa menjadi penolong bagi mereka yang menyadari betapa dalamnya rasa sayangku kepada mereka. Aku juga berharap, semoga tangan kecil ini mampu merangkul mereka yang sedang merasa tidak ada satu orang pun yang memahaminya.
Aku juga berpikir, mungkin memang benar jika fase terberat dalam hidup adalah menerima. Menerima segala ketetapan, menerima bahwa harapan tidak selalu sejalan dengan kenyataan, menerima bahwa tidak ada satu pun di dunia yang benar-benar milik manusia, sebab semua akan hilang jika sudah waktunya. Dan pada akhirnya, menerima adalah membiarkan diri berjalan sambil membawa sunyi yang tidak pernah benar-benar hilang ditelan malam.
Terkadang aku mencari diriku sendiri, seperti mencari rumah dengan alamat yang tidak pernah tercatat di peta. Setiap persimpangan terasa asing, setiap jalan hanya menuntunku pada pintu yang bukan milikku.
Nyatanya itu lucu sekali. Aku memang mempunyai tubuh, tapi tidak tahu ke mana aku harus pulang.
Mungkin selama ini diriku hanyalah alamat yang hilang.
Ditulis dengan tergesa, lalu dibiarkan kabur, dan tidak pernah benar-benar ditemukan.
Seberapa rapuhnya aku, seberapa besar masalah yang aku hadapi, serumit apa pun jalan yang aku tempuh, aku tidak pernah berpikir untuk mengakhirinya dengan percuma. Karena selalu ada alasan kenapa aku harus tetap hidup. Salah satunya adalah karena ketika aku masih diberi kesempatan untuk hidup di dunia, itu artinya dunia masih membutuhkanku. Mungkin jika dunia yang menjadi alasannya, rasanya masih terlalu besar untuk diriku yang sudah berdiri di ambang batas seperti ini. Jika bukan dunia, mungkin hal yang menjadi alasan kenapa aku masih diberi kesempatan untuk tetap hidup adalah karena ada orang-orang yang masih membutuhkanku di samping mereka.
Mungkin juga masih banyak hal lain di dunia ini jika aku mencoba untuk melihat dari sudut pandang yang berbeda, semua itu bisa membuat diriku sadar, bahwa ternyata karena ini aku masih diberi kesempatan untuk tetap hidup. Entah itu untuk pedagang yang aku beli dagangannya, atau kucing jalanan yang aku elus dan beri makan, atau untuk orang yang sedang kebingungan dengan alamat yang aku beri petunjuk. Mungkin juga tentang tanaman yang selalu aku siram setiap hari.
Atau mungkin karena ada satu nyawa yang masih membutuhkanku agar tetap ada meskipun tidak selalu di sampingnya.
Terkadang aku banyak menghabiskan waktu hanya untuk mencari satu ikhlas di antara berjuta-juta kemarahan, ketidakterimaan, dan ketidakmampuanku dalam menerima kenyataan pada setiap harinya. Aku pun belajar mencari alasan untuk bisa mengalahkan setiap keluh yang tidak dapat membuatku tumbuh, dan belajar untuk mengusahakan maaf pada setiap kejadian yang tidak pernah aku harapkan.
Terlepas dari siapa yang salah, tapi aku memutuskan berhenti sampai di sini. Entah siapa yang jahat atau pengecut, tapi yang jelas aku dan masa laluku adalah manusia yang sama-sama gagal memahami dalam hal apa pun.
Teruntuk diriku.
Tetaplah bersamaku, apa pun yang terjadi jangan pergi apalagi menjauh, karena aku tidak ingin kehilanganmu, aku tidak ingin kehilangan diri sendiri lagi.





