Official Blog of Nugi Nugraha || Member of Google Corp & Blogger - Since 2011 || Copyrights 2011 - 2025 by Personal Blog & Google

Selasa, 28 Oktober 2025

Nugraha is My Name (Part 51)



PERINGATAN !



Sebelum membaca artikel ini, diharapkan agar pembaca sudah berusia 17 tahun, mempunyai kemampuan untuk menghargai dan menerima juga open minded. 


Karena artikel ini berdasarkan pengalaman pribadi dan terdapat konflik secara mendalam dari konteks, paradigma, opini dan juga akan menyertakan orang-orang yang pernah ada di kehidupan pribadi sang penulis secara jujur yang bisa dikonfirmasi secara komprehensif. 


---


Nak, bagaimana jika nanti aku tidak mampu menyayangimu seperti yang kamu harapkan? Bagaimana jika cintaku hanya begini-begini saja? Meskipun kamu selalu berkata tidak apa-apa selama aku selalu berusaha. Tapi bagaimana jika usahaku pun tidak pernah cukup untukmu, Nak?

Aku bangga menjadi bagian dari hidupmu. Sebagai orang yang pernah mencurahkan segalanya untukmu, mungkin rasa sayangku begitu dalam, tapi selama ini aku belum mampu membuat dirimu bangga, meski sebenarnya sungguh aku sedang berusaha.

Nak, jika pada akhirnya aku tidak pernah bisa menjadi orang yang kamu bayangkan, bolehkah aku tetap menjadi Ayahmu? Selamanya? 😭


Pada akhirnya, semua akan kembali sunyi.

Suara akan berhenti menjadi gema, langkah akan berhenti menjadi jejak, dan waktu akan berlari memanggil namaku. 

Raga akan melebur menjadi tanah, menjadi debu yang pernah mencinta, menjadi saksi bahwa aku pernah ada, walau hanya sekejap di mata mereka.

Tapi aku tidak pernah takut. 

Karena bukan raga yang membuatku hidup, melainkan segala yang pernah aku rasakan, ada tawa, air mata, dan cinta yang tidak pernah benar-benar usai.

Suatu hari nanti, ketika bumi menutup tubuhku, semesta akan tetap menyimpan sisa cahaya dari setiap kebaikan dan rasa yang pernah aku berikan.

Maka aku akan membiarkan tubuhku hilang, membiarkan waktu memisah, sebab cinta tidak pernah dikubur. Cinta hanya berganti wujud, menjadi bintang yang diam-diam menunggu di langit yang sama, tempat aku dan mereka yang akan pulang tanpa nama, tanpa bentuk, tapi masih saling mengenal dalam rasa. 


Aku tidaklah kuat, aku sedang memilih untuk memaklumi dan memaksa diriku agar terbiasa. 

Mereka memanggilku kuat, padahal aku hanya tahu cara bertahan tanpa pilihan.

Aku tidak sedang tabah, aku hanya terlalu sering kecewa hingga tangis pun tanpa diiringi oleh air mata.

Kuat? Tidak.

Aku hanya sedang berpura-pura utuh, agar dunia berhenti bertanya kenapa aku nyaris runtuh.

Walaupun duniaku tidak jelas, disertai jejak perjalananku yang kotor. Tapi aku selalu berharap semoga hidupku bisa menjadi penolong bagi mereka yang menyadari betapa dalamnya rasa sayangku kepada mereka. Aku juga berharap, semoga tangan kecil ini mampu merangkul mereka yang sedang merasa tidak ada satu orang pun yang memahaminya.


Aku juga berpikir, mungkin memang benar jika fase terberat dalam hidup adalah menerima. Menerima segala ketetapan, menerima bahwa harapan tidak selalu sejalan dengan kenyataan, menerima bahwa tidak ada satu pun di dunia yang benar-benar milik manusia, sebab semua akan hilang jika sudah waktunya. Dan pada akhirnya, menerima adalah membiarkan diri berjalan sambil membawa sunyi yang tidak pernah benar-benar hilang ditelan malam.


Terkadang aku mencari diriku sendiri, seperti mencari rumah dengan alamat yang tidak pernah tercatat di peta. Setiap persimpangan terasa asing, setiap jalan hanya menuntunku pada pintu yang bukan milikku.

Nyatanya itu lucu sekali. Aku memang mempunyai tubuh, tapi tidak tahu ke mana aku harus pulang.

Mungkin selama ini diriku hanyalah alamat yang hilang.

Ditulis dengan tergesa, lalu dibiarkan kabur, dan tidak pernah benar-benar ditemukan.


Seberapa rapuhnya aku, seberapa besar masalah yang aku hadapi, serumit apa pun jalan yang aku tempuh, aku tidak pernah berpikir untuk mengakhirinya dengan percuma. Karena selalu ada alasan kenapa aku harus tetap hidup. Salah satunya adalah karena ketika aku masih diberi kesempatan untuk hidup di dunia, itu artinya dunia masih membutuhkanku. Mungkin jika dunia yang menjadi alasannya, rasanya masih terlalu besar untuk diriku yang sudah berdiri di ambang batas seperti ini. Jika bukan dunia, mungkin hal yang menjadi alasan kenapa aku masih diberi kesempatan untuk tetap hidup adalah karena ada orang-orang yang masih membutuhkanku di samping mereka. 

Mungkin juga masih banyak hal lain di dunia ini jika aku mencoba untuk melihat dari sudut pandang yang berbeda, semua itu bisa membuat diriku sadar, bahwa ternyata karena ini aku masih diberi kesempatan untuk tetap hidup. Entah itu untuk pedagang yang aku beli dagangannya, atau kucing jalanan yang aku elus dan beri makan, atau untuk orang yang sedang kebingungan dengan alamat yang aku beri petunjuk. Mungkin juga tentang tanaman yang selalu aku siram setiap hari. 

Atau mungkin karena ada satu nyawa yang masih membutuhkanku agar tetap ada meskipun tidak selalu di sampingnya. 


Terkadang aku banyak menghabiskan waktu hanya untuk mencari satu ikhlas di antara berjuta-juta kemarahan, ketidakterimaan, dan ketidakmampuanku dalam menerima kenyataan pada setiap harinya. Aku pun belajar mencari alasan untuk bisa mengalahkan setiap keluh yang tidak dapat membuatku tumbuh, dan belajar untuk mengusahakan maaf pada setiap kejadian yang tidak pernah aku harapkan.


Terlepas dari siapa yang salah, tapi aku memutuskan berhenti sampai di sini. Entah siapa yang jahat atau pengecut, tapi yang jelas aku dan masa laluku adalah manusia yang sama-sama gagal memahami dalam hal apa pun. 


Teruntuk diriku.

Tetaplah bersamaku, apa pun yang terjadi jangan pergi apalagi menjauh, karena aku tidak ingin kehilanganmu, aku tidak ingin kehilangan diri sendiri lagi. 


Sabtu, 25 Oktober 2025

Kavling (Part 4)



Hidup bukan hanya soal melewati hari demi hari dalam pola yang sama. Setiap pagi memberi kita kesempatan baru untuk menulis cerita yang berbeda. Halaman-halaman waktu tidak meminta kesempurnaan, tapi kehadiran kita yang utuh dengan kesadaran, niat baik, dan keberanian untuk hidup dengan makna. - "Writer"

**

Hari-hari Angga hanya diisi dengan menonton film, membaca, menulis di beberapa artikel unknown, sesekali dia juga menulis di blog pribadinya.

Semenjak perpisahan Angga bersama anaknya, tidak ada komunikasi lagi di antara keduanya. Mantan istrinya juga tidak pernah memberi akses kepada Azriel untuk saling memberi kabar bersama Angga, ayahnya. Kini mereka benar-benar terpisah yang entah sampai kapan semua itu akan berakhir. Meskipun ada diksi yang berkata bahwa sebuah perpisahan adalah pertemuan yang akan ditemui di kemudian hari, tapi bagi Angga sebuah perpisahan yang dia jalani bersama anaknya adalah sebuah paksaan dengan makna bahwa mengikhlaskan adalah pilihan yang dibuatnya secara sadar tanpa harus menyalahkan keadaan. 

Karena bagi Angga, puncak tertinggi dari mengikhlaskan seseorang adalah ketika dia sudah tidak lagi mempermasalahkan apa yang menjadi penyebabnya. Angga mulai memaksa dirinya untuk menjadi terbiasa dengan keadaannya, mulai menerima rasa sakitnya, dan tidak ada lagi rasa kecewa dengan harapan dan kerinduan dalam dirinya. 

Dalam proses mengikhlaskan semuanya, Angga belajar untuk melepaskan semua angan, semua keinginan, dan semua luka yang masih tersisa. Angga belajar untuk menerima apa yang terjadi dan tidak lagi mempermasalahkan semuanya.

Karena bagi Angga, dengan semua itu dia mulai merasa berjalan di tengah tangga untuk mencapai puncak tertinggi dari mengikhlaskan. Dia akan merasa bebas dari rasa sakit dan kecewa. Dia akan merasa bahwa dirinya telah melepaskan beban yang berat untuk melanjutkan hidup dengan lebih tenang dan damai. 

Meskipun demikian, Angga masih terus berusaha untuk membiasakan dirinya agar tetap terlihat baik-baik saja di depan semua tetangganya. 

Apalagi sekarang dia sudah hampir satu tahun tinggal di rumah kavling itu. Angga selalu memperhatikan kehidupan orang-orang yang ada di sana. Salah satunya adalah penghuni rumah di nomor 11D. 


Namanya Pak Rusli yang umurnya sudah hampir 50 tahun. 

Dia bekerja sebagai chef di salah satu cafe terbaik yang ada di pusat kabupaten. Orangnya memang ramah, tapi sangat tertutup dengan kehidupan pribadinya. Kabar yang Angga dapat dari para tetangga yang lain, katanya Pak Rusli berstatus duda. Sudah memiliki cucu dari kedua anaknya. Tapi bukan Angga jika keingintahuannya dan kecurigaannya tidak pernah terjawab dengan berbagai fakta hanya agar rasa penasarannya menjadi sebuah cerita tanpa menyisakan kesalahpahaman semata. 

Angga memang tidak terlalu dekat dengan Pak Rusli, tapi Angga mempunyai teman yang bisa dia manfaatkan untuk mengorek banyak informasi dengan bukti bukan hanya alakadarnya.

Sudah hampir satu tahun Angga dekat dengan Fajar anak dari rumah keluarga nomor 13D. Keduanya cukup akrab dan sering menghabiskan waktu bersama. Bermain game, mengobrol, dan sesekali pergi keluar untuk sekadar ngopi saja seperti anak muda pada umumnya. Angga memang tidak seumuran dengan Fajar, tapi Angga bisa dengan mudah untuk menyesuaikan diri dengan berbagai macam kalangan usia yang ada di kavling itu, termasuk dengan Fajar. 

Pada suatu ketika, Fajar mengajak Angga untuk ngopi di sebuah cafe yang katanya lumayan bagus. Jaraknya hanya sekitar 10 menit saja dengan mengendarai sepeda motor. Dan tibalah mereka di sebuah cafe yang menurut orang-orang adalah salah satu cafe terbaik yang ada di kabupaten itu. 

Fajar sudah sering mengunjungi tempat itu bersama teman-temannya. Bahkan beberapa kali dia juga hanya pergi seorang diri. Angga tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. Lagi pula orang tua Fajar tidak mempedulikan anaknya mau main dan pergi ke mana pun juga dengan siapa anaknya bergaul. 

Setelah memesan kopi, keduanya mulai bermain game seperti biasanya. Sesekali mereka juga menyalakan rokok yang dihisap untuk memenuhi kenikmatan sambil meminum kopi Americano pesanan mereka. Dan setelah sekian lama bermain game, Angga melihat sosok yang tidak asing di dekat pantry yang tidak jauh dari tempat mereka duduk. Orang itu adalah Pak Rusli yang tinggal di kavling juga. Kemudian Angga pun bertanya kepada Fajar tentang Pak Rusli yang ternyata bekerja di cafe yang sedang mereka kunjungi saat itu. 


Fajar pun mulai menceritakan tentang awal perkenalannya dengan Pak Rusli. 

Saat kepindahan keluarga Fajar ke kavling itu, Pak Rusli sudah lebih dulu tinggal di sana. Katanya, dia adalah salah satu penghuni pertama yang ada di blok D. Pada saat itu Fajar masih kelas 2 SMP. Kedua orang tuanya juga masih sibuk dengan kepindahan mereka. Sedangkan Fajar yang belum mempunyai teman di sana terkadang suka bingung mau main dengan siapa. Apalagi dia juga tidak begitu akrab dengan saudara tirinya, Bima. Orang tua Fajar yang cukup sibuk, selain karena memang mereka mengelola usaha jual beli emas, kedua orang tuanya juga jarang ada di rumah yang membuat Fajar dan Bima sangat bebas untuk pergi dan pulang sesuka hati mereka.

Pada suatu hari, dia mulai disapa oleh Pak Rusli yang kebetulan hari itu adalah hari Minggu. Fajar yang pada saat itu memang masih belum mengerti, dia sangat antusias berkenalan dengan tetangga barunya itu. Diajaklah dia ke rumah Pak Rusli untuk menonton TV dan memakan cemilan. Rumah mereka yang bersebelahan membuat keduanya tidak sulit untuk sekadar saling sapa dan menjadikan semua itu kesempatan bagi Fajar untuk mengisi hari-harinya yang tanpa pengawasan kedua orang tuanya. 

Pada suatu ketika, Fajar dipanggil oleh Pak Rusli untuk datang ke rumahnya, dan itu sudah menjadi kebiasaan. Fajar tidak menaruh curiga apa pun terhadap Pak Rusli yang notabennya adalah tetangga yang menurutnya cukup baik. Apalagi Pak Rusli juga umurnya tidak beda jauh dengan kedua orang tua Fajar. Tapi saat itu menjadi kali terakhir bagi Fajar untuk menginjakkan kaki di rumah Pak Rusli. Bukan hanya menginjakkan kaki untuk terakhir kalinya, tapi hari itu adalah hari terakhir di mana mereka bertegur sapa. Karena ada kejadian yang membuat Fajar ketakutan setengah mati dibuatnya. 

Kejadiannya begitu cepat. 

Pada saat itu dia sedang menonton TV di sofa ruang tengah Pak Rusli seperti biasanya. Tapi tiba-tiba Pak Rusli tetangga baik yang menurut Fajar adalah sosok kebapakan itu melakukan hal senonoh kepada dirinya. Dia dirangkul dan dicium hingga Fajar pun berontak dan berteriak. Tapi seketika Pak Rusli meminta maaf dan mengaku bahwa dia mulai merasa nyaman dengan Fajar yang kala itu usia di antara keduanya terpaut jauh. Fajar yang pada saat itu ketakutan pun ditenangkan oleh Pak Rusli dan berjanji untuk tidak akan pernah mengulangi perbuatannya. Pak Rusli juga meminta agar Fajar tidak pernah membicarakan kejadian itu kepada siapa pun. Dan semuanya berlalu begitu saja. 

Tapi setelah kejadian itu, hubungan di antara tetangga itu menjadi renggang dan bahkan jauh seperti tidak pernah saling mengenal lagi. 

Tapi Pak Rusli tidak berhenti di situ. 

Setelah gagal dengan Fajar, dia mulai mendekati Bima. 

Entah apa yang terjadi, hingga sekarang pun Bima dan Pak Rusli masih tetap dekat dan berkali-kali Bima menginap di rumah Pak Rusli jika kedua orang tuanya sedang keluar kota. Dan Fajar tidak mempedulikan kedekatan keduanya. Lagi pula dia sangat tidak peduli dengan saudara tirinya itu. 


Setelah mendengar cerita itu, Angga hanya terdiam dan seperti tidak percaya kalau Fajar pernah mengalami hal demikian. Apalagi hingga sekarang Bima juga masih dekat dengan Pak Rusli. 

Karena yang menjadi masalah adalah Angga juga mempunyai anak yang umurnya tidak beda jauh dengan Fajar dan Bima. 

..

Keingintahuan Angga pun berlanjut. 

Dia selalu memperhatikan gerak-gerik Pak Rusli. Berangkat kerja dan pulang jam berapa. Angga juga sudah tahu hari apa saja Pak Rusli libur bekerja. Bahkan beberapa kali Angga juga melihat Bima keluar masuk rumah Pak Rusli. Bukan hanya Bima, Pak Rusli juga sering membawa orang berbeda hampir setiap hari. 

Tapi semua itu tidak menjadi masalah pribadi untuk Angga. Karena semua orang mempunyai pilihan dan konsekuensi atas pilihannya itu. 

Dan Angga juga masih tertarik dengan kehidupan para penghuni lain di kavling itu. 


Jiwa keingintahuan Angga pun semakin menjadi setelah dia mengenal banyak orang di sana. 

Salah satunya adalah penghuni yang tinggal di rumah nomor 9D.


To be continued. 

Sabtu, 18 Oktober 2025

Kavling (Part 3)



Rumah nomor 13D.


Ketika Angga baru pindah ke kavling, Pak Sidik dan Bu Sidik adalah orang yang pertama Angga kenal. Di hampir setiap perumahan entah memang sudah menjadi sebuah kebiasaan atau karena ada hal lain, karena hampir semua para istri yang tinggal di komplek perumahan sudah terbiasa dipanggil dengan nama suaminya. Begitupun Bu Sidik ini. Kedua anaknya bersekolah di sebuah SMA Negeri yang tidak jauh dari kavling tempat mereka tinggal. Keduanya anak laki-laki dan sekarang kelas 2. Angga menjadi penasaran, kenapa kedua anaknya bersekolah di tempat yang sama dan tingkatannya juga sama-sama di kelas 2. Kalau anak kembar mungkin wajar. Tapi kedua anaknya tidak ada kemiripan sama sekali. 

Bukan Angga namanya jika rasa penasarannya tidak pernah terjawab. 

Dia mulai mencari tahu dengan melakukan pendekatan kepada salah satu anak mereka yang bernama Fajar. Karena hanya Fajar-lah yang terlihat lebih mudah untuk diajak mengobrol dibanding Bima yang terlihat lebih tertutup. 

Pak Sidik dan istrinya mempunyai usaha jual beli emas di sebuah pasar. Terlihat dari penampilan Bu Sidik yang selalu memakai perhiasan yang hampir memenuhi setiap jarinya. Terlihat pula kesan glamor jika ada yang melihatnya. Oleh karenanya masih bisa dikatakan wajar karena memang usaha mereka adalah jual beli emas. Pak Sidik dan Bu Sidik, keduanya terlihat seperti pasangan yang tidak bisa terpisahkan. Angga melihatnya seperti sepasang kekasih yang baru bertemu. Ke mana-mana berdua, membersihkan rumah berdua, melakukan kegiatan di luar rumah juga berdua, dan banyak hal yang sebenarnya bisa dilakukan oleh salah satunya saja tapi mereka melakukannya berdua. 

Pandangan Angga tentang Pak Sidik dan Bu Sidik itu tidak begitu jauh dari perkiraannya selama ini. Karena ternyata Fajar menceritakan bahwa kedua orang tuanya memang baru menikah. Bahkan usia pernikahannya pun belum genap satu tahun. 


Jadi, begini....


Pada suatu ketika, ada seorang pria yang sedang membutuhkan uang untuk membawa istrinya ke rumah sakit. Karena sakitnya yang benar-benar serius, pria itu sampai harus menjual rumah dan barang-barang termasuk beberapa perhiasan hanya agar bisa mengobati sang istri. Ketika semuanya hampir terjual habis, tapi takdir berkata lain. Karena akhirnya sang istri harus meninggal karena penyakit yang dideritanya. Dan setelah kepergian istrinya, si suami hanya tinggal berdua di sebuah kontrakan bersama anaknya yang bernama Bima. 

Bima yang pada awalnya periang dan mudah untuk bergaul, tapi setelah kehilangan Ibunya dia menjadi anak yang selalu murung dan pendiam. Tidak ada lagi keceriaan dalam hari-harinya. Ayahnya Bima, Pak Sidik yang pada saat itu sudah merasa bahwa masa berkabungnya sudah cukup lama pun mulai mencari Ibu pengganti untuk anaknya, Bima. 

Pak Sidik mempunyai kebiasaan buruk, yaitu suka bermain judi. Begitu dia teringat ada sisa perhiasan sepeninggalan mendiang istrinya, dia langsung menjualnya ke sebuah pasar. Dan dia menjualnya ke tempat yang sama pada saat sebelum membawa istrinya ke rumah sakit. 

Entah memang sudah menjadi takdir karena semesta yang membawa jiwa-jiwa yang kesepian untuk dipertemukan, kedua orang yang pada awalnya hanya sebatas pembeli dan penjual pun kini saling menaruh asmara yang terjalin di antara mereka. Apalagi seorang wanita yang mempunyai usaha jual beli emas yang sekarang lebih akrab dipanggil Bu Sidik pun pada saat itu sudah hidup menyendiri bertahun-tahun karena suaminya meninggal. Karena adanya masa lalu yang sama, yaitu ditinggalkan pasangannya masing-masing, keduanya memantapkan diri dan hati untuk menjadikan hubungan keduanya di atas janji suci, yaitu sebuah pernikahan. 

Setelah keduanya melakukan pernikahan, mereka membeli rumah di sebuah perumahan kecil yang disebut kavling. Bima anak dari Pak Sidik, dan Fajar anak dari Bu Sidik pun pindah ke sekolah yang sama agar tidak jauh dari rumah mereka. Apalagi Bima dan Fajar usianya juga sama. Pak Sidik dan istrinya mempunyai harapan agar anak-anak mereka juga cepat akrab dan akur seperti saudara pada umumnya. Tapi pada kenyataannya tidak sesuai harapan. 

Bima yang melihat karakter Ibu tirinya sangat jauh berbeda dengan Ibu kandungnya. Karena Bu Sidik sangat keras dan perlakuannya berbanding terbalik dengan perlakuannya kepada Fajar. Bima semakin terlihat lebih pemurung dan menjadi anak yang pendiam setelah kepindahannya ke rumah baru itu. 

Bukan hanya Bima, Fajar-pun tidak seceria itu jika berada di rumah. Bu Sidik yang biasanya hanya memperhatikan Fajar, kini perhatiannya menjadi terpecah dan terbagi untuk suami baru dan anak tirinya. Fajar merasa bahwa dirinya tidak lagi begitu diperhatikan seperti biasanya. Fajar yang pada awalnya adalah anak yang baik dan penurut, kini dia mempunyai cara sendiri agar ruang yang tidak terisi itu menjadi terpenuhi dengan cara-caranya tersendiri. Dia mulai bergaul dengan teman-temannya untuk pergi bermain dan baru pulang tengah malam, bahkan tidak jarang juga baru pulang keesokan harinya. Fajar juga sudah jarang masuk sekolah. Pikirannya manjadi kalut karena kehilangan sosok Ibu yang raganya ada tapi hati dan pikiran juga kasih sayangnya sudah entah berada di mana. 

Fajar mulai kenal dengan penghuni baru kavling yang berada tepat di depan rumahnya, yaitu Angga. 

Fajar merasa bahwa Angga adalah orang yang cocok untuk berbagi perasaan yang pada awalnya hanya bisa dia simpan seorang diri. Fajar juga merasa bahwa Angga bisa menjadi teman yang baik tanpa melihat jarak umur di antara keduanya. Apalagi Fajar juga yakin dengan saling bertukar cerita bersama Angga akan menjadikan rasa kecewa terhadap keadaan hidupnya akan sedikit memudar. Tapi Fajar tidak tahu bahwa Angga tidaklah seperti yang dia kira. Karena Angga adalah sosok baru yang tidak mudah untuk ditebak. Karena faktanya, Angga tidaklah benar-benar menceritakan tentang pribadinya yang pedih dan menyakitkan kepada siapa pun, termasuk Fajar. 

Dari kedekatan di antara Angga dan Fajar, Angga-lah yang diuntungkan. Karena dia bisa mengetahui bagaimana cerita kehidupan masa lalu di rumah nomor 13D yang mungkin tidak akan pernah diketahui oleh penghuni kavling lainnya.


Terakhir kali Fajar bercerita.

Pak Sidik masih melakukan kebiasaan buruknya, yaitu berjudi. Hingga pada akhirnya usaha jual beli emas Bu Sidik pun bangkrut. Dan kini sepasang suami istri yang baru menikah itu mulai merintis usaha baru lagi. 

Lalu, setelah Bu Sidik mengetahui kebiasaan buruk suaminya, akankah mereka berpisah atau tetap melanjutkan hubungan pernikahannya? 


"Ketika semuanya sudah terjadi, hanya ada dua hal yang bisa kita pilih, yaitu pergi atau memaklumi.

Kalau pergi akan terasa sakit pada awalnya. Tapi ketika memilih untuk memaklumi, semua itu akan berubah menjadi lebih baik atau malah menjadi air mata yang tidak berhenti mengalir karena kekecewaan yang akan terus terjadi."


**

Otak Angga mungkin memang berantakan, tapi dia masih bisa mengorganisirkan di setiap bagian pikirannya. 


Angga pun mulai mencari tahu tentang kehidupan para penghuni lainnya yang ada di kavling itu. 


To be continued. 

Sabtu, 11 Oktober 2025

Kavling (Part 2)



Banyak hal yang tidak pernah bisa diungkapkan. Beberapa orang mungkin bisa membagi ceritanya bersama orang yang mereka sayangi, sebagian orang juga mungkin bisa membagi cerita-ceritanya dengan Sang Maha Pencipta, dan tidak sedikit juga ada orang yang hanya mampu menulisnya dengan mengetik di layar komputer dan smartphone-nya karena tidak lagi menyimpan rasa percaya kepada semua hal yang ada di dunia ini selain kepada dirinya sendiri, dan orang itu adalah Angga. Angga si penghuni baru di kavling pinggiran kota. 


Setelah kepindahannya di kavling itu, hidup Angga mulai berubah. 

Babak baru hidupnya pun dimulai. 

Dia mulai mengenal beberapa orang di Blok D yang dia tempati saat ini. Dalam satu blok terdiri dari 14 rumah yang berderet saling berhadapan khas perumahan murah pada umumnya. Tidak ada yang berbeda dari segi bangunannya, hanya saja yang menjadi jauh lebih menarik bagi Angga sekarang adalah karakter dan latar belakang dari para penghuninya yang membuat dia sedikit penasaran. 

Angga menempati rumah di ujung jalan yang berdampingan dengan persawahan juga berhadapan langsung dengan rumah yang bernomor 14D. Bersebalahan dengan 3 rumah yang hanya diisi oleh pengontrak saja. Kabarnya si pemilik rumah juga mempunyai beberapa rumah di blok lain yang memang khusus untuk disewakan. 

Sedangkan rumah nomor 13D yang berada tepat di sebrangnya dihuni oleh sepasang suami istri beserta kedua orang anaknya yang masih sekolah. 

Kemudian ada rumah nomor 11D yang dihuni oleh seorang pria paruh baya yang hanya ada di malam hari saja dan sesekali terlihat di siang hari, itu pun jika tanggal merah. 

Ada rumah dengan nomor 9D yang dihuni oleh sepasang suami istri dengan satu orang anak yang masih kecil. 

Sedangkan rumah nomor 12D, 10D dan 8D diisi oleh penyewa saja. Karena memang itu adalah rumah kontrakan. Oleh karenanya orang-orang yang menempati rumah itu selalu berganti tidak ada yang menetap. 

Ada juga rumah nomor 6D yang selalu kosong. 

Rumah nomor 4D yang diisi oleh sepasang suami istri. Istrinya berjualan online, sedangkan suaminya menjadi driver bus antarkota. 

Bersebelahan dengan 2 rumah yang selalu kosong.

Berlanjut ke rumah nomor 3D yang dihuni oleh sepasang suami istri dengan satu orang anak. Istrinya pekerja kantoran, sedangkan suaminya terakhir ada kabar hanya mengurus rumah saja. 

Rumah nomor 5D yang dihuni oleh seorang wanita pensiunan yang usianya sudah tidak muda lagi. Dia tinggal seorang diri. 

Dan rumah nomor 7D dihuni oleh sepasang suami istri dengan satu orang anaknya.


**


Angga bukanlah orang yang pandai bergaul pada awalnya. Tapi setelah kepindahannya ke rumah kavling itu dia menjadi seseorang yang berbeda. 

Dia mulai kenal dengan orang-orang di sana. Tentu saja dia tidak pernah menceritakan banyak fakta tentang dirinya. Karena baginya, banyak hal yang hanya dirinya saja yang perlu tahu dan merasakannya. Dia tidak ingin ada orang lain yang mengetahui bagaimana masa lalunya. Dari keseluruhan cerita dan perjalanan hidupnya, Angga hanya membagi banyak kepalsuan yang bahkan semua itu sudah dia rancang dengan halus. Hingga tidak ada seorang pun akan sadar dengan kebohongan yang Angga lakukan. 

Pertama, Angga mengaku berkerja sebagai admin di sebuah online shop. Padahal pekerjaan utamanya adalah sebagai penulis lepas dan blogger. 

Kedua, dia mengaku belum pernah menikah. Padahal pada kenyataannya dia baru saja menjauh dari bayang-bayang anaknya dan juga masa lalunya. 

Ketiga, dia juga mengaku sudah tidak mempunyai orang tua dan bahkan tidak memiliki saudara kandung. Begitupun dengan saudara-saudara yang lainnya pun Angga tidak dekat. Dia mengaku hanya hidup sebatang kara. 

Baginya, kepindahannya ke rumah kavling itu benar-benar untuk memulai hidup yang baru. 

Meskipun sejauh ini dia merasa berhasil membuat para tetangganya percaya, tapi semua itu tidak menghapus rasa sakit karena terpaksa melepaskan dan jauh dari anaknya sendiri. 

Tapi dia tetap mempunyai keyakinan bahwa dia akan merasa lebih baik di tempat tinggal barunya sekarang. Karena bagi Angga, melepas itu seperti menguliti rasa sakit itu sendiri. Pada awalnya memang terasa perih dan bahkan meronta, namun seiring berjalannya waktu, melepas adalah proses bertumbuh untuk membentuk hati beserta perasaan agar lebih kokoh lagi.

Angga juga masih bertukar kabar dengan anaknya, Azriel. 

Dia juga menyampaikan pesan kepada anaknya agar selalu bersikap baik kepada Ibu dan Ayah sambungnya. Mereka memang jauh secara jarak, tapi itu tidak mengartikan bahwa mereka akan terpisah secara perasaan. 


"Aku tidak pergi atau menjauh, aku masih di sini untukmu. Hanya saja aku sengaja mundur untuk beberapa langkah untuk memberi banyak ruang melangkah. Aku juga tidak berhenti peduli, aku masih memperhatikanmu dari jauh. Hanya saja aku sadar ada yang lebih bisa membuat senyummu semakin indah di sana. 

Nanti bila kamu terluka, carilah aku.

Saat ini nikmati bahagiamu bersama mereka.

Aku tidak apa-apa, aku baik-baik saja.

Yang penting kamu selalu tahu, bahwa kamu adalah cinta yang tidak akan pernah tergantikan". 


**


Kini, kehidupan baru Angga pun segera dimulai. 

Dimulai di sebuah tempat yang disebut kavling. 


To be continued. 

Sabtu, 04 Oktober 2025

Kavling (Part 1)


Seorang pria yang bernama Angga Pratama Nugraha berusia 30-an bekerja sebagai housekeeping manager di sebuah hotel yang mempunyai hobi menulis untuk mendapatkan penghasilan tambahan. 
Tapi pada suatu ketika dengan tiba-tiba saja dia memutuskan untuk pindah ke pinggiran kota dan membeli rumah di sebuah perumahan kecil yang disebut kavling hanya agar mendapatkan ketenangan yang jauh dari hiruk-pikuk ramainya kota juga masa lalunya. Tapi pada kenyataannya keadaan di kavling itu tidak seperti yang dia bayangkan. Banyak hal baru yang dia ketahui setelah tinggal di kavling itu. Terutama dari orang-orang yang sama-sama tinggal di kavling tersebut dengan latar belakang yang berbeda seperti dirinya. Bahkan dia mengetahui banyak rahasia yang malah dengan sengaja dia tuangkan untuk menjadi bahan tulisannya. 
Pada kenyataannya dia bukan satu-satunya orang yang berniat untuk memulai hidup baru di tempat itu. 


**
Part 1

Paska perceraian yang membuatnya cukup terluka dan bahkan trauma, Angga Pratama Nugraha kini hanya menghabiskan hari-harinya dengan bekerja dan menulis yang dia jadikan penghasilan tambahan atas saran dari Psikiaternya. Angga memiliki anak laki-laki yang sudah kelas 1 SMA. Umur dia dengan anaknya hanya terpaut 16 tahun. Kenakalan remaja yang membuatnya harus memikul beban sendirian atas pilihan yang salah di masa lalunya. Masa mudanya dihabiskan untuk berusaha memenuhi kebutuhan dia beserta anaknya tanpa bantuan dari orang-orang terdekatnya. Banyak ketakutan yang ada di dalam diri Angga, salah satunya adalah dia takut jika anaknya berada di jalan yang pernah dia alami di masa lalu. Oleh karena itu dia selalu berusaha untuk mendidik anaknya dengan sebaik mungkin. 


Angga, dengan kehidupan yang tampak baik-baik saja. Dia tidak banyak membicarakan tentang pribadinya kepada siapa pun. Kehidupannya cukup tertutup hanya agar tetap menjaga hal-hal yang tidak diinginkan. Karena baginya, selama masalah masih bisa diselesaikan seorang diri, orang lain tidak perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalam sana. 

Angga hanya tinggal berdua bersama anaknya di sebuah kontrakan sederhana. Dari sejak perceraian ketika anaknya baru berusia 3 tahun, Angga memilih hidup sendiri hanya agar lebih fokus untuk mengurus anaknya seorang diri. Bukannya dia tidak membutuhkan orang lain, tapi baginya jika harus memulai sebuah hubungan yang baru lagi selalu ada perasaan takut jika kejadian di masa lalunya terulang kembali. Berpisah karena sebuah pengkhianatan yang begitu menyakitkan bukan hal mudah untuk bisa dia terima, bahkan sang waktu pun tidak mampu untuk mengubur semua ingatan buruk di masa lalunya. Makanya dia lebih memilih untuk hidup sendirian tanpa kehadiran orang yang baru lagi, cukup dia dan anaknya saja. Bagi Angga, prioritas utamanya bukan lagi dirinya, melainkan anaknya. Ketika anaknya bahagia maka dia akan merasa jauh lebih bahagia. 

Angga begitu menyayangi anaknya. Azriel Putra Nugraha nama yang Angga berikan kepada buah hatinya. Seperti pelangi yang hadir setelah hujan melanda. Seperti embun yang menyejukkan pagi diiringi hangatnya mentari. Seperti halnya lantunan firman yang membawa kedamaian untuk jiwa-jiwa yang gelisah tanpa jalan yang terarah. Azriel, bagi Angga adalah keindahan dan kesempurnaan di atas segala hal yang pernah terjadi di dalam hidupnya. 


Tapi pelangi tidak selalu hadir di kala hujan sudah berakhir. Embun dan hangatnya mentari pun tidak selalu hadir di kala pagi yang kadang sengaja berkabut. Bahkan untuk sebagian orang, terkadang seindah apa pun firman menggema hanya menjadi sebuah alunan yang berlalu tanpa irama. 

Seperti ketika datangnya kabar bahwa mantan istri Angga akan membawa Azriel untuk tinggal bersama keluarga barunya di luar kota. 

Kini Angga ada di persimpangan kebingungan antara harus egois dengan menahan agar Azriel tetap tinggal bersamanya atau membiarkan dirinya jauh dari anak tercintanya yang tidak pernah terpisahkan selama 13 tahun. 

Angga dihadapkan dengan kenyataan bahwa dia akan terpisah jauh dengan belahan jiwa dan cinta sejatinya, yaitu anaknya. 


**

Setelah perpisahan Angga dengan anaknya, kini dia hanya tinggal sendiri dan menghabiskan waktu dengan bekerja dan melarikan kesedihannya dengan berbagai macam minuman dan obat-obatan. 

Baginya, kini patah hati terbesar bukan lagi karena sebuah pengkhianatan, tapi karena terpaksa harus terpisah jauh dari orang yang sangat dia sayangi dan dia cintai. 

Tidak ada lagi semangat untuk menjalani kehidupannya. Hingga pada akhirnya dia memutuskan untuk pergi dari kota itu dan berencana untuk pindah ke tempat yang baru untuk memulai hidup tanpa bayang-bayang anaknya. 

Angga mulai resign dari pekerjaannya sebagai housekeeping manager. Dia mulai mencari rumah yang bisa dibeli dengan uang yang ada di tabungannya. 

Hingga pada akhirnya dia menemukan satu perumahan kecil yang disebut kavling di sebuah daerah yang cukup jauh dari kota yang sedang dia tempati saat ini. 


**

Kepindahan Angga ke sebuah perumahan yang disebut kavling itu niatnya adalah agar lebih merasa tenang dan nyaman juga untuk memulai hidup yang baru. Apalagi dia juga menyimpan kesedihan yang begitu dalam karena harus terpisah dari anaknya. 

Tapi yang namanya sebuah perumahan ternyata penduduknya sangat beragam dengan berbagai macam masa lalu masing-masing dan latar belakang para penghuninya. Sudah jelas bahwa Angga bukanlah satu-satunya orang yang berniat untuk memulai hidup yang baru di tempat itu. 


Apakah hidup Angga akan menjadi lebih baik? 


To be continued. 

Rabu, 01 Oktober 2025

Jatuh Hati (Fase 11)



Setelah move-on dan berusaha untuk benar-benar melepaskan, kini aku kembali dipertemukan oleh semesta dengan orang yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Ya, aku semudah itu untuk jatuh hati dan berpindah dari hati yang satu ke hati yang lainnya. Memang niatnya untuk menjaga konsistensi itu sangat penting, tapi bukan aku namanya jika semua niat itu tidak runtuh hanya karena sebuah perasaan. Karena yang paling sulit dalam hidupku untuk saat ini hanya satu, yaitu tetap konsisten. 


Kali ini aku dihadapkan dengan banyak hal yang membuatku menjadi cukup bingung. Bukan bingung karena ada sesuatu yang dipikirkan, tapi karena aku benar-benar tidak tahu harus memikirkan apa lagi. Pikiranku terlalu lurus tanpa beban, tanpa persoalan dan rasanya begitu hampa. Dan itu kalimat bingungku yang sesungguhnya. Pada kenyataannya aku selalu khawatir dengan perasaanku yang takut menjauhkanku dari mereka, dari dia dan dari orang-orang yang menganggapku begitu terlihat lurus tanpa perasaan. 

Tuhan, aku ini hanya manusia biasa yang mudah sekali untuk jatuh hati. Kenapa? 

Seberapa banyak luka yang tidak terlihat oleh mereka? Aku hanya pandai menyembunyikan semuanya dari orang-orang yang ada di sekitarku. 

Seberapa rapuhnya hatiku ketika harus berusaha untuk terlihat baik-baik saja tanpa sebuah perasaan. 

Aku terlalu pandai berbohong, bukan membohongi orang lain, tapi membohongi perasaanku sendiri. Berlagak seperti kosong, padahal yang ada dalam hatiku begitu penuh dan membuatku tidak nyaman ketika harus tetap menyimpan bahkan menyembunyikan. 


Dulu aku mengira lebih mudah untuk marah ketimbang bersedih. Tapi ketika aku sudah sedewasa ini aku menjadi lupa bahwa itu dua emosi yang berbeda.

Mau marah kepada siapa, bersedih pun hanya memeluk diriku sendiri. Bercerita hanya sebatas template yang selalu aku akhiri dengan "kapan-kapan aku cerita lagi, ya". 

Karena aku banyak menyimpan traumaku seorang diri. 


Untuk yang kali ini mungkin bisa saja aku tetap melanjutkan perjalanan jatuh hatiku tanpa harus orang yang bersangkutan pun tahu. Tapi rasanya seperti menyiksa diri sendiri dari dalam. Mungkin akan lebih lega saat ada sebuah tamparan yang nyata di pipiku. Tapi aku takut kehilangan dia dalam artian ketika dia mengetahui perasaanku dan dia malah menjauh karena tidak pernah menyangka bahwa aku menyimpan semua perasaan itu kepadanya. 

Menjauh dari seseorang demi berhenti menyakiti diri sendiri adalah tingkat tertinggi dari rasa sakit. 

Di lain sisi ingin selalu dekat dengannya tapi takut menyimpan rasa yang semakin dalam, dan di lain sisi takut kehilangan tapi tidak pernah sanggup untuk benar-benar kehilangan. 

Semua rasa semakin lengkap karena adanya sebuah perasaan, yaitu jatuh hati. 

Tapi, tapi aku akan tetap menulis ceritaku sendiri, meskipun dengan tangan yang masih menggenggam perih.


Aku sedang berpikir tentang bagaimana caranya aku mengendalikan dari semua rasa yang ada. 

Mencari cara dan langkah yang terbaik untuk ke depannya. 

Tapi ketika aku pikirkan lagi, sebenarnya tidak ada yang lebih baik apalagi lebih tahu dibanding sang Maha Penentu. Dan mungkin aku akan lebih memilih untuk tetap menyadari akan pentingnya apa itu diam dan menjauh juga berpura-pura tidak pernah mengerti dengan apa yang tengah terjadi hanya agar semuanya tetap baik-baik saja seperti seharusnya. Meskipun pada kenyataannya tidaklah baik-baik saja. Lagi pula aku lebih tenang dan bahagia ketika dianggap bodoh sebagai seorang pengecut di antara  yang lainnya. Karena aku memposisikan diriku di mana seharusnya berada bukan memaksakan apalagi mengharapkan banyak hal hingga mengorbankan segalanya. Apalagi hanya karena sebuah rasa. 


Soal rasa, hati tak pernah berdusta. 

Meski lisan berkata tidak, hati akan tetap mengakuinya walau lidah tidak pernah berbahasa, hati akan tetap mengutarakannya. Sebab, perkara hati, yang tahu hanya aku dan Tuhan-ku saja.

Aku harus tetap bahagia dengan diriku sendiri, bersama orang lain hanyalah bonus.


Tulisan ini dibuat kurang dari 30 menit. 

Dari sini menunjukkan betapa tidak konsistennya aku yang bisa berubah dengan begitu cepat. 

Tadi aku berniat akan menjauh dan mulai menjaga jarak dengannya. Dan kamu tahu? Belum 5 menit aku mencoba untuk meneleponnya lagi. 


Oh, Tuhan! 


What happened with my fucking heart? 


Jatuh hati memang tidak setingkat dan serumit jatuh cinta. Tapi aku benar-benar terombang-ambing dikala jatuh hati ini melanda. 


Damned it!