Official Blog of Nugi Nugraha || Member of Google Corp & Blogger - Since 2011 || Copyrights 2011 - 2024 by Personal Blog & Google

Selasa, 27 Agustus 2024

Namaku (Part 2)



Part 2 


***


Terkadang kita harus melakukan hal buruk untuk bertahan hidup, dan terkadang kita perlu bersikap kejam demi menyelesaikan masalah.


***


Aku hampir tidak percaya menyaksikan betapa ngerinya pemandangan yang aku lihat di kamar Nenek. 

Nenek sudah terbujur kaku dengan bersimbah darah di atas tempat tidurnya. 

Paman langsung menelpon polisi.


Tidak lama polisi pun tiba di rumah. 


Tapi sudah bisa dipastikan bahwa Nenek sudah benar-benar meninggal. 


Ada spekulasi kalau Nenek dibunuh oleh orang yang mencoba merampok rumah kami yang masuk melalui jendela. 

Terbukti dengan hilangnya beberapa perhiasan dan uang juga beberapa barang berharga lainnya milik Nenek.


*


Setelah kejadian itu pikiranku tidak pernah tenang.

Hampir setiap saat aku terus memikirkan kejadian pada malam di saat Nenek meninggal. Entah itu sedang di sekolah, di jalan, apalagi jika sedang berada di rumah.


Ibu kini mencoba membuka usaha menjahit yang letaknya tidak jauh dari rumah.

Sedangkan Paman yang selalu sibuk dengan banyak pekerjaannya. Berangkat pagi dan pulang pada sore bahkan larut malam, tanpa terlihat sedih atau memikirkan apalagi menyesali apa yang sudah dia lakukan.


Aku mengetahui sesuatu, tapi tidak berani membicarakannya kepada Ibu apalagi kepada orang lain.


Sekalipun aku berusaha untuk terus melupakan kejadian itu, karena semakin lama aku diam maka semakin tidak terkendali juga rasa ingin mengungkapkan fakta yang sebenarnya.


Tapi aku tetap berusaha tenang dan terlihat baik-baik saja. 


Ada hal yang menurutku sama pentingnya, yaitu sekolahku.


*


Tiba saatnya aku mengikuti ujian akhir sekolah.


*


Dua Minggu berlalu. 

Kini tiba saatnya mengetahui hasil kelulusan. 


Pagi ini hatiku terasa tidak karuan, jantung yang terus berdebar, tidak bernafsu untuk sarapan, dan pikiranku sedikit kalut. Tapi aku melihat pancaran wajah Ibu yang menggambarkan betapa bahagianya dia melihat aku yang akan segera lulus sekolah. 


Karena semua siswa harus didampingi oleh orang tua masing-masing, pagi ini aku pergi ke sekolah bersama Ibu dengan mengendarai motor kesayanganku pemberian dari Nenek saat ulang tahunku yang ke 17.


Diperjalanan menuju sekolah, aku sedikit mengobrol bersama Ibu. Dia bilang kalau aku boleh memilih tempat kuliah yang aku mau. Katanya dia ingin sekali kalau aku mempunyai pendidikan yang tinggi agar nantinya mempunyai jenjang karir yang bagus. 


Aku masih melihat wajah Ibu yang memancarkan kebahagiaan itu di kaca spion motor. Rasanya aku merasa bahagia ketika melihat Ibu terus tersenyum seperti itu, aku terus memandang wajahnya melalui spion. 


Dalam hati ingin rasanya aku menceritakan apa yang selama ini aku ketahui. 

Tapi aku segera menyimpan keinginan itu, karena untuk saat ini aku lebih mementingkan kebahagiaan Ibu, dan mungkin Paman juga tidak dengan sadar telah melakukan perbuatannya itu.

Tapi tidak menutup kemungkinan jika suatu hari aku akan mengungkap perbuatan yang sudah Paman lakukan.

Karena tidak sepantasnya Nenek diperlakukan seperti itu oleh anaknya sendiri.


Saking lamanya aku melamun, aku tidak fokus lagi melihat jalan, sehingga aku tidak sadar kalau aku sudah beralih ke jalur sebelah kanan, dan di depan ada sebuah mobil yang melaju cukup kencang, dan tabrakan pun tidak terhindarkan. 


Aku tidak ingat apa-apa lagi, semuanya menjadi gelap.


***


2024.


Sore ini aku akan jalan-jalan menyusuri pantai, kebetulan cuacanya cukup bagus, cocok sekali untuk menikmati angin di sore hari sambil menunggu sunset. 


Setelah lumayan lelah berjalan, aku memutuskan untuk masuk ke sebuah bar yang telah jauh dari bibir pantai. Aku memesan bir dan menyalakan rokok yang selalu aku bawa di saku celana. Kurang lebih sama seperti kebiasaanku 10 tahun yang lalu. 


Hampir setiap hari bersantai di bar dan pergi ke diskotik ketika malam hari. 


Itu saat pertama kali aku keluar dari rumah.


Tidak terasa sudah hampir 2 jam aku duduk di sini, hari pun mulai gelap, lampu-lampu di sepanjang jalan sudah mulai menyala. Aku segera menuju kasir untuk membayar dan segera berjalan keluar dari bar.


Ketika melihat lampu yang terang di sepanjang jalan, seketika aku teringat kejadian dulu. 


***


2014.


Aku terbangun di sebuah ruangan dengan selang infus di tangan juga selang oksigen di hidungku. Ketika aku melihat keadaan sekitar, ternyata ada banyak orang termasuk ada kakakku dan juga Paman. Tapi aku tidak melihat Ibu. 


Terlihat mata kakak yang sebam seperti habis menangis berjam-jam bahkan berhari-hari. Aku tahu pasti dia bukan menangisi apa yang terjadi kepadaku, tapi ada hal lain yang membuatnya lebih bersedih. 


Ketika aku bertanya dimana Ibu, kakak hanya terdiam dan malah dijawab dengan keluarnya air mata yang mengisyaratkan bahwa sesuatu sudah terjadi kepada Ibu. 


Disitulah aku merasa bahwa hidupku tidak lagi ada artinya, aku perlu dihukum atas apa yang sudah aku perbuat, ini semua salahku yang menyebabkan Ibu meninggal. 


Aku tidak sadarkan diri cukup lama. 


Aku tidak berkesempatan untuk melihat wajah Ibu untuk terakhir kalinya selain di kaca spion, itu pun seminggu yang lalu. 


Setiap hari aku hanya bisa terdiam dan tidak mampu lagi berkata apapun apalagi untuk menangis. Setiap saat aku hanya memandang langit-langit kamar rumah sakit. Sesekali aku memejamkan mata yang membawaku ke kejadian itu, rasanya seperti  tertidur dengan mimpi buruk yang tidak pernah berakhir.


*


Sebulan kemudian aku keluar dari rumah sakit. 


Aku langsung mengunjungi makam Ibu, tapi aku masih tetap tidak merasakan kesedihan apalagi menangis, kecuali aku merasakan marah yang luar biasa.


*** 


2024.


Sebelum pulang ke rumah, aku sengaja kembali melewati pantai yang tadi sore aku lalui. Masih tetap dengan rokok di tangan yang sesekali aku hisap. Malam ini cukup dingin, aku selalu lupa membawa jaket atau baju berlengan panjang, memang kebiasaan burukku dari dulu. 


Deburan ombak terdengar begitu jelas, mungkin karena semakin malam air laut menjadi pasang. Terbukti kakiku basah karena ombak yang sampai ke tepi pantai. 


Aku begitu menyukai pantai. 


Jadi teringat ketika masih kecil. 


Kami sekeluarga berlibur ke sebuah pantai yang tidak terlalu jauh dari rumah. Mungkin saat itu usiaku 5 tahun. Begitu senangnya ketika ombak akan datang, aku akan melompat agar tubuh kecilku tidak terbawa arus, membuat benteng dan rumah-rumahan dari pasir bersama kakakku. Ayah yang duduk santai di bawah payung sambil meminum air kelapa, Ibu yang menunjuk-nunjuk ke arah gulungan ombak yang akan datang mengisyaratkan, "awas ada ombak jangan terlalu jauh mainnya", sambil mengayun-ayunkan tangannya menyuruh kami agar segera ke pinggir dan berhenti bermain karena matahari di siang itu begitu terik. 


Terasa ada yang mengalir di pipiku, padahal aku tidak merasa sedih atau apapun, dokter menyebutnya dengan istilah hypophrenia. Padahal dulu aku tidak bisa menangis atau bahkan bisa mengeluarkan air mata, itu dulu sebelum aku mengikuti hipnoterapi agar aku bisa kembali menangis seperti orang pada umumnya.


Sedalam itukah rasa sedihku? 


*


2015.


Saat itu baru seminggu tinggal di ibukota, tidak ada teman apalagi keluarga sama sekali. Aku tinggal di sebuah hotel  yang tidak jauh dari jantung kota, dengan berbekal uang yang lumayan banyak dari Pamanku, hampir setiap hari aku mengunjungi sebuah cafe yang sama, tentu saja untuk melupakan sedikit demi sedikit beban yang aku rasakan. 


Pada suatu ketika, ada yang menyapaku dan langsung bertanya, apakah aku duduk sendirian atau sedang menunggu seseorang. Dia juga bertanya siapa namaku dan berasal dari mana.


Namaku saat itu adalah Ale, kata yang diambil dari bahasa Prancis, "Aller" yang berarti pergi. Aku bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran. 


Tentu saja itu adalah sebuah kebohongan. 


Sedangkan nama dia adalah Diana, diambil dari bahasa latin yang berarti surgawi.

Nama yang begitu indah. 


Seorang perempuan yang baru lulus dari universitas ternama dan sudah pasti memiliki kesempatan untuk berkerja di sebuah perusahaan besar bukan lagi menjadi impian. Terbukti dia sudah bekerja di sebuah perusahaan ternama yang bergerak di bidang transportasi sebagai administrasi konsultan.


Kebetulan tempat tinggalnya tidak terlalu jauh dari sini, makanya cukup sering juga dia mampir ke cafe yang sama aku kunjungi.


*


Selama aku hidup hingga saat ini, aku belajar untuk survive alone atau bertahan hidup sendirian.

Bisa saja ada orang lain yang menghampiri atau bersamaku pada saat ini dan menganggap betapa pentingnya aku bagi dia, dia menyukaiku, menyayangiku, tapi dikemudian hari bisa saja aku ini bukan lagi siapa-siapa baginya, dan bahkan mungkin dia tidak mau lagi untuk mengenal seperti apa diriku saat ini. 

Makanya sangat penting sekali untuk survive alone, because in the end of the day it's only me and myself. 


*


Pada keesokan harinya kami selalu bertemu di tempat yang sama dan pada waktu yang sama pula. 


Pertemuan kami di hari-hari selanjutnya tidak lagi kaku seperti sebelumnya, kami mulai bercerita tentang keluarga masing-masing. Ternyata dia anak kedua dari 2 bersaudara, dia mempunyai kakak seorang polisi. Bahkan banyak anggota keluarganya yang mempunyai latar belakang yang sama. 


Di tengah banyaknya obrolan yang kami lakukan, yang paling jujur dari semua ucapanku hanya tentang kesukaanku mengenai pantai dan makanan favoritku, yaitu nasi goreng masakan Ibu. Selebihnya adalah bualan semata. 


Ditengah obrolan, dia menceritakan tentang kakaknya yang pernah bersekolah di tempat khusus yang berada di Jawa Barat, namanya sekolah intelijen. 


Aku pun mulai tertarik hingga penasaran dengan apa yang diceritakannya kali ini. 


***


Hampir setiap hari aku menghabiskan waktu hanya dengan duduk termenung karena belum bisa melupakan apa yang sudah terjadi dalam hidupku.


Pada hari itu aku terbangun ketika matahari sudah tegak tepat di atas bumi. Karena semalaman aku tidak bisa tertidur.


Sudah mau sebulan aku berpindah-pindah hotel bukan kamar kost yang pernah aku ceritakan kepada Diana. 


Ketika membuka ponsel, ternyata ada pesan masuk yang tidak lain adalah dari Diana. Karena dia orang pertama dan satu-satunya yang mengetahui nomor ponselku semenjak aku tinggal di sini. Dia menanyakan apa kegiatanku sore nanti, aku jawab saja mau ke tempat yang sama seperti kemarin. 


Pada sore harinya, kami pun bertemu lagi di tempat yang sama. 


Aku mempunyai tujuan untuk bertanya lebih lanjut tentang sebuah sekolah intelijen yang pernah dia ceritakan sebelumnya.


***


2014.


Semenjak kejadian itu aku hanya diam di dalam kamar dan sesekali duduk di halaman depan rumah. Selain kejadian itu, yang membuat diriku terpuruk adalah di saat mendapat kabar bahwa aku tidak lulus sekolah, hasil ujianku gagal. 


Tiga bulan berlalu.


Tubuhku sudah benar-benar pulih, cara berpikirku sudah sedikit lebih baik. Aku harus bisa memperbaiki keadaan, meskipun tidak sama seperti sedia kala, karena yang sudah terjadi tidak akan bisa diubah, waktu tidak akan pernah kembali, maka aku harus bisa dan lebih siap untuk menghadapi banyak kemungkinan yang akan terjadi di kemudian hari. 


Bukankah hidup akan terus berjalan?


Aku mulai berpikir, apa yang salah dari semua ini, dan aku mulai mencari cara bagaimana aku bisa memperbaiki semua itu, terutama langkah apa yang akan aku ambil selanjutnya. Karena aku tidak mau terus begini, hanya duduk terdiam dan merasa tidak berguna.


Ini semua berawal semenjak kepergian Ayah, Nenek yang meninggal tidak wajar, hingga Ibu yang menjadi korban kecelakaan karena keteledoranku. 


Aku mencoba untuk menerima kenyataan itu, tidak ada pilihan selain aku harus menerima semua itu, terbukti aku sudah bisa hidup dengan tanpa kesedihan atas kepergian mereka. 


Aku belajar dan selalu berusaha untuk tidak takut kehilangan siapapun yang hadir di dalam hidupku, entah itu teman, sahabat, keluarga, dan atau orang yang sangat aku sayangi. 

Karena aku akan lebih takut ketika aku harus kehilangan diriku, hanya karena aku terus menerus memikirkan hal yang sudah terjadi.

Jika aku kehilangan diriku maka aku akan kehilangan hidupku dan jati diriku juga segala yang ada di dalamnya termasuk masa depanku.


Aku harus melakukan sesuatu.


Pada suatu malam, aku meyakinkan diri bahwa aku harus meminta pertanggung-jawaban dari Paman, dia adalah orang yang harus disalahkan atas semua yang sudah menimpa hidupku selama ini. 


Dia meminta maaf dengan sungguh-sungguh, dia juga berjanji akan menyerahkan diri ke polisi.


Terlihat ada air mata yang mengalir di pipinya. Tapi aku tetap tidak bisa menerima kata maafnya yang dengan mudahnya dia ucapkan. Bahkan dia bersujud di bawah kakiku agar aku bisa memaafkan dirinya. Aku memang memaafkannya, apalagi dia adalah Pamanku sendiri. Tapi taku mempunyai sedikit rencana yang sudah aku pikirkan matang-matang selama ini.


Aku memberikan secarik kertas yang berisi nomor rekening pribadiku yang baru dibuat beberapa hari yang lalu. Di kertas itu juga tertulis sejumlah uang yang harus dia berikan. 


Belakangan baru diketahui alasan kenapa dia melakukan hal keji itu kepada Nenek.


Hanya karena Nenek menolak menandatangani surat wasiat yang berisi bahwa semua harta yang dimiliki oleh Nenek harus diberikan kepada Paman.


Pada suatu malam, Paman baru pulang kerja dan dia memberikan slip transfer, di situ tertulis nominal yang melebihi jumlah yang aku minta. Dia juga meminta agar aku tidak mengadukan kejadian itu kepada siapa pun apala

gi kepada polisi. 


Benar saja dia akan mengingkari janjinya.


Pantas saja dia memberikan uang yang lebih banyak.

Dia tidak benar-benar tulus meminta maaf.


***


Nyawa harus dibayar dengan nyawa.


Next.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar kamu disini!👇✌️😁