Official Blog of Nugi Nugraha || Member of Google Corp & Blogger - Since 2011 || Copyrights 2011 - 2024 by Personal Blog & Google

Selasa, 27 Agustus 2024

Cerita dari Negeri Amerika (Part 12)



Setelah hampir 6 tahun tidak menginjakkan kaki di negara asalku, Indonesia, kali ini aku berkesempatan untuk pulang ke tanah air,  karena ada beberapa urusan pekerjaan yang harus aku selesaikan. 

Meskipun aku sudah memiliki paspor Amerika, tapi hatiku masih tetap berada di negara kesatuan ini. 


*


Surat tugas dan beberapa dokumen pendukung untuk kelengkapan perjalananku selama di Indonesia sudah lengkap. 

Tepat pada pertengahan bulan Mei 2017 aku melakukan perjalanan ke Jakarta. 

Ini adalah penerbangan terjauhku untuk ketiga kalinya setelah ke negara Arab Saudi dan Irak. Hanya saja kali ini aku benar-benar berangkat sendiri. Karena biasanya aku bersama beberapa orang tim.

Tugasku tidak lain dan tidak bukan yaitu menjadi penyelidik rahasia. Tentu saja pekerjaanku aku lakukan secara diam-diam. 

Dokumen-dokumen yang aku bawa juga semuanya sangat penting.


Setelah kurang lebih 22 jam aku berada di atas awan, sampailah aku di bandara Soekarno-Hatta. Sebelumnya aku transit di Dubai. 

Tidak lupa aku juga mengabari ibu perihal kedatanganku ke Indonesia. 


Dari bandara aku menuju ke sebuah hotel yang berada di daerah Jakarta Timur. 

Semuanya sudah diurus oleh bagian administrasi di Langley. Tentu saja aku sudah tidak asing dengan hal-hal seperti ini. Karena aku juga pada awal bekerja sebagai administrasi pun tugasnya mengurus hal-hal seperti ini. 


Begitu sampai di kamar hotel, aku tidak langsung istirahat, setelah mandi dan mengganti pakaian, aku pun langsung bersiap-siap untuk bertemu dengan beberapa orang yang memang pekerjaannya hampir sama denganku, yaitu sebagai agen intelejen lokal yang menyelidiki berbagai jenis kejahatan dengan unsur terorisme. 


Kami bertemu di sebuah restoran yang menyajikan makanan khas daerah Padang. Kebetulan aku juga sangat rindu masakan yang menjadi makanan terlezat di dunia itu. 

Mereka adalah Rodi, Amin dan Taufik. 

Tidak lupa aku juga memperkenalkan diri.  Kemudian aku pun langsung memulai ke inti pembahasan dan tujuanku datang ke Jakarta, yaitu menyelidiki sebuah organisasi terkenal dari Irak dan Suriah. Karena pada saat itu organsiasi mereka tercium oleh agen pusat Langley dengan screening kode yang biasa kelompok itu pergunakan. Tentu saja tempat kantorku bekerja sangat ahli dalam hal seperti itu. 


Dari beberapa dokumen yang aku bawa, ada sebuah rencana besar yang akan terjadi pada suatu malam perayaan menjelang bulan ramadhan. 

Di dokumen juga tertulis jelas ciri-ciri calon pelaku dan lokasi yang akan dijadikan tempat kejadian. 


Setelah membahas dan membuat beberapa rencana bersama mereka juga beberapa anggota yang kebetulan pada saat itu sedang berhalangan hadir, aku pun pamit untuk kembali ke hotel untuk beristirahat dan akan melanjutkan pembahasan di keesokan harinya. 


Setelah sampai di hotel, aku begitu terkejut karena bertemu dengan orang-orang yang selama ini hanya bisa berkabar melalui telepon saja. Mereka adalah ibu dan adikku, Nina. 

Aku langsung memeluk erat mereka. 

Aku sangat merindukan mereka. 

Mereka juga sangat senang begitu mendengar kabar bahwa aku akan berada di Jakarta beberapa hari. 

Makanya setelah aku mengabari bahwa aku akan berangkat ke sini, mereka langsung bertanya akan menginap di mana. 

Keadaan ibu cukup baik, meksipun kadang ada beberapa keluhan kesehatannya, tapi sejauh ini semuanya masih dalam tahap wajar. Adikku juga sekarang sudah bekerja di sebuah perusahaan asuransi ternama di kota Bandung. 

Banyak kata yang ingin aku sampaikan ketika berada jauh, tapi setelah bertemu dengan mereka, terutama ibu, semuanya lupa begitu saja. Banyak hal yang setelah aku pikirkan kembali, lebih baik aku simpan semuanya sendiri. Aku tidak ingin mereka mengkhawatirkan keadaanku. Aku hanya ingin terlihat baik-baik saja di depan mereka. 


***


Keesokan harinya untuk pertama kalinya setelah hampir 6 tahun tidak pernah lagi makan bersama, kami pun bisa kembali duduk bertiga untuk sarapan. 

Rasanya bahagia melebihi apapun yang pernah aku lalui selama ini. 

Melihat ibu dengan senyuman bahagia seraya melihat ke arahku pada setiap suapannya, mengisyaratkan bahwa momen seperti ini yang selalu dia rindukan. Adikku juga terlihat begitu senang karena akhirnya bisa bertemu lagi denganku kakak satu-satunya. 

Ada sedikit rasa berdosa dalam hatiku, karena di hari tua ibu, aku malah harus tinggal begitu jauh dengannya. Dan secara tidak langsung aku juga memberi beban kepada adikku untuk menjaga ibu sendirian. Padahal di usia dia saat ini seharusnya dia sedang asyik-asyiknya menikmati hidup bersama teman-temannya. 

Tapi mau bagaimana lagi, karena semua ini sudah terjadi. 


Setelah selesai sarapan, aku berpamitan kepada ibu dan adikku untuk pergi sebentar karena ada beberapa urusan. 

Aku pun bergegas menuju sebuah kantor markas besar kepolisian di daerah Sudirman. 


Aku kembali bertemu dengan Rodi, Amin dan Taufik. Selain mereka, aku juga bertemu dengan beberapa petinggi kepolisian. 

Setelah kembali membahas beberapa rencana, akhirnya Rodi, Amin dan Taufik akan menyamar sebagai anggota kepolisian yang mengamankan acara pawai obor yang akan dilaksanakan besok malam setelah isya. 

Tapi aku cukup ragu dengan rencana mereka yang malah terlihat sebagai petugas. Karena pada dasarnya mereka adalah agen yang dengan ketentuan juga peraturan sederhananya adalah jangan sampai terlihat.

Aku mengusulkan agar mereka jangan sampai memakai seragam atau perlengkapan yang mudah untuk dikenali. 

Tapi sayangnya masukanku tidak mereka terima. 


***


Tepat pukul 9 malam di tengah kerumunan orang yang sedang melakukan pawai obor,  terdengar suara ledakan yang tidak begitu jauh dari terminal busway Kampung Melayu. 

Seketika semuanya menjadi kacau.


Namaku (Part 3)



Part 3 

***

Hujan tidak berguna lagi untuk pohon yang sudah mati.

Aku bukan lagi manusia tanpa harapan, aku tidak bisa terus berada dalam ruang yang sesak dan penuh dengan amarah, aku harus melepaskan diri dari semua ini.

***

2014 akhir.

Kini hanya kami berdua yang tinggal di rumah.

Keseharianku hanya tidur, makan dan sesekali pergi mengunjungi makam Nenek dan Ibu.
Sedangkan Paman berkegiatan seperti biasanya. 
Pergi ke kantor dan pulang hingga lurut malam. 
Sesekali dia baru pulang ketika pagi hari.

Aku tidak peduli.

***

Malam itu aku memutuskan untuk menjalankan sebuah rencana.

Tepat pada hari Sabtu pukul 9 malam, seperti biasa dia akan menghabiskan waktunya di luar rumah dan akan pulang pada keesokan harinya. Terdengar suara mobil Paman menyala mengisyaratkan bahwa dia sudah siap untuk berangkat.
Kemudian aku mengikutinya dengan sepeda motor. 

Setelah berkendara sekitar 30 menit, akhirnya dia sampai di sebuah diskotik. Ya, memang di tempat seperti ini kebanyakan orang datang untuk bersenang-senang, menutupi rasa sakit hati, dan tidak sedikit pula yang berlari dari banyaknya masalah hidup. Tapi tidak denganku, justru aku akan menyelesaikan semua masalah di tempat ini. 

Terlihat dia keluar dari mobilnya dan langsung masuk ke tempat itu. Aku yang dari tadi hanya mengawasinya dari motor, kemudian segera mengikutinya masuk, tapi tetap menjaga jarak agar tidak diketahui oleh Paman.

Di dalam ternyata sangat penuh sekali dengan orang, aku sempat kehilangan pandangan darinya. Mungkin karena kebetulan sekarang adalah malam Minggu.

**
Jadi ingat saat ulang tahun temanku 2 tahun yang lalu. 

Ketika kami mencoba menerobos masuk tapi ditahan oleh petugas keamanan karena kami memang belum cukup umur saat itu, tapi temanku melakukan cara andalannya dengan memberi uang rokok kepada mereka, alhasil kami pun bisa masuk ke dalam.

**

Terlihat Paman duduk di bar bersama beberapa orang, mungkin teman-temannya. Aku terus memperhatikannya dari jarak jauh yang sesekali terhalangi oleh lalu lalang orang, tapi tetap pandanganku tidak teralihkan darinya. 

Semakin malam semakin sesak dipenuhi oleh banyak orang yang datang ke tempat itu, aku masih sabar menunggu saat yang tepat.

Beberapa saat kemudian dia terlihat beranjak dari tempat duduknya dan menuju ke toilet. Aku pun mengikutinya.

Tapi keadaan toilet cukup penuh dan sangat terang, kalau aku masuk pasti dia akan menyadari kehadiranku di sana. 
Aku pun menunggunya di pintu keluar toilet. Begitu dia keluar aku langsung menusuk perutnya beberapa kali dengan pisau yang sedari tadi sudah aku simpan di kaki bagian bawah. Darah pun terlihat mengalir dari perutnya, meskipun tidak terlalu jelas karena redupnya lampu di tempat itu, tapi cukup terasa di tanganku.

Tidak lama ada beberapa orang berteriak karena melihat kejadian yang baru saja terjadi.

Aku pun segera pergi dan keluar mengikuti orang-orang yang mulai berhamburan meninggalkan tempat itu. 

Aku segera kembali ke rumah untuk mengambil beberapa barang pribadiku dan beberapa barang berharga yang ada di sana.

Aku langsung menuju sebuah hotel untuk bersembunyi dan menenangkan diri.

Jantungku tidak berhenti berdebar kencang. Rasanya seperti mau copot. 

Aku juga tidak berani untuk menyalakan TV apalagi keluar kamar.

Dua hari kemudian aku memutuskan untuk pergi ke luar kota.

***

Semua orang melakukan kesalahan, entah itu pernah atau bahkan setiap saat, tidak mungkin ada orang yang belum pernah. 
Tapi tidak semua orang mempunyai keberanian untuk mengakuinya.

Aku bukan orang yang berada di tengah-tengah kebenaran dan selalu berprilaku salah, tapi jika memang aku memilih untuk ada di jalan yang tidak baik, maka sudah pasti dan bisa dipastikan bahwa aku sudah memikirkan dan memutuskan untuk melakukan hal itu sebelumnya. 

Aku tidak akan malu apalagi takut untuk mengakui jika aku salah, tidak akan ragu untuk meminta maaf, aku juga tidak akan sulit untuk memaafkan. 

Tapi memang ada kalanya tidak semua orang berhak atas permintaan maafku ataupun menerima maaf atas kesalahan yang mereka lakukan. 
Karena ada beberapa hal yang sebenarnya tidak bisa diterima jika memang sudah melebihi batas apalagi menyangkut dengan pilihan yang aku jalani. 

***

2015.

Aku merasakan sesuatu yang tidak pernah aku alami sebelumnya. 
Ada rasa ingin cepat bertemu ketika aku jauh darinya.

Pada suatu sore aku kembali bertemu dengan Diana.
Untuk pertama kalinya aku berniat akan mengatakan sebuah kejujuran kepadanya.

Setelah selesai aku bercerita.
Diana pun hanya terdiam dan seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja aku ceritakan. 

Aku pun merasa khawatir karena telah memberitahu orang lain tentang apa yang sudah aku perbuat, apalagi melihat reaksi Diana yang sejak tadi hanya membisu.

Tapi itu tidak berlangsung lama, karena beberapa saat kemudian dia bercerita tentang kejadian pada masa lalunya yang membuatku sedikit kaget.

Diana bercerita.

Dia mempunyai sepupu yang seumuran dengannya, ketika itu mereka kelas 1 SMP.

Mereka sering mengerjakan tugas bersama dan terkadang Diana mengajak sepupunya untuk menginap dirumahnya atau Diana yang menginap dirumah sepupunya. 

Pada suatu malam, Diana menginap di rumah sepupunya, lebih tepatnya adalah rumah dari tantenya, adik dari Ayah Diana. 

Pada suatu malam, ketika mereka sedang mengerjakan tugas, tiba-tiba listrik padam dan tantenya menyalakan beberapa lilin.
Setelah menunggu cukup lama ternyata listrik tidak juga menyala, akhirnya semua orang memutuskan untuk pergi tidur karena sudah larut malam. 

Tapi Diana tidak langsung tidur, dia masih mengerjakan tugasnya, sedangkan sepupunya sudah terlebih dahulu tidur. 

Dengan bantuan penerangan lilin yang seadanya, Diana berusaha menyelesaikan tugasnya itu. Hingga akhirnya dia tertidur di ruang tamu. 

Tiba-tiba terasa ada hawa panas, ternyata api sudah melahap sebagian ruangan dan menjalar ke berbagai ruangan lainnya.
Tapi dia tidak sempat membangunkan semua orang yang ada di rumah itu, karena api semakin membesar, dia pun langsung berlari ke luar rumah. 

Dia selamat, tapi tidak dengan sepupu dan tante juga anggota keluarga yang lain yang ada di rumah itu.
Mereka semua meninggal dalam kebakaran itu.

Ketika menceritakan itu terlihat air mata Diana mengalir di pipinya. Terlihat juga rasa penyesalan di wajahnya. Sejenak memurung, tapi aku berusaha meyakinkan dia bahwa itu sebuah kecelakaan, berbeda dengan yang sudah aku perbuat yang jelas-jelas sengaja aku dilakukan.

Kami pun lanjut bercerita tentang masa kecil masing-masing dan beberapa hobi dan musik favorit yang kami sukai.

Demi mengalihkan topik serius yang sedari tadi kita bahas.

Apakah kami sama-sama seorang pembunuh?

***

Caraku memandang dunia hingga sejauh ini sudah jauh berbeda berubah, kebenaran bagiku adalah apa yang aku nilai benar dan tidak ada kesalahan yang mutlak tanpa alasan ataupun sebuah pemikiran. Sesalah apapun perbuatan orang masih bisa diperbaiki melalui banyak cara dan berbagai upaya. 

Tentang orang yang katanya paling mengerti kita, kita hanya harus melihat perlakuannya bukan mendengarkan perkataannya. Dan semua tergantung dari sisi mana kita melihatnya.

***

Namanya Rangga, tahun ini umurnya 9 tahun. 
Ya, aku sudah mempunyai anak hasil buah cinta antara aku dan Diana. Saat ini dia tinggal bersama kakakku. 
Sedangkan yang mengetahui hal ini hanya beberapa orang saja. 

*

2015.

9 tahun yang lalu.

Hubunganku dengan Diana cukup dekat, bahkan lebih dari dekat. 

Saat itu usiaku baru 19 tahun, sedangkan Diana sudah berumur 23 tahun. 

Aku yang sedang dalam pelarian, tidak mempunyai pekerjaan, aku memang memiliki uang, tapi tujuanku belum jelas akan ke mana dan harus bagaimana. 

Ditakdirkan untuk bertemu dengan Diana yang bisa dipastikan tidak ada bagian yang perlu dikhawatirkan lagi dari dirinya.
Kehidupan yang sudah baik, masa depan yang sudah pasti akan cerah, sedangkan aku yang kebalikannya. 
Tapi cinta tidak memandang itu semua. 

Kami pun menikah.
Meskipun tanpa restu dari orang tua Diana, kami tetap melakukan pernikahan itu. Karena saat itu Diana sudah mengandung buah cinta kami.

*

Jadi teringat saat kakak melangsungkan acara pernikahan. 
Karena tidak ada wali dari anggota keluarga Ayah, jadi yang berhak untuk menjadi wali nikah kakak adalah aku. 
Saat itu umurku baru 17 tahun. 
Aku diberi tanggung jawab yang cukup besar, yaitu mempercayakan nasib kakakku kepada seorang laki-laki yang tidak pernah aku kenal. 
Menyaksikan betapa bahagianya keluargaku untuk terakhir kalinya. 

Karena setelah acara pernikahan itu kehidupanku kembali berubah, bahkan menjadi tapak ketidakseimbangan dalam hidupku. 

Kehilangan kakak meskipun masih bisa ditemui, tapi yang namanya orang sudah berumah tangga tidak akan sama seperti dia masih sendiri. Akan mempunyai prioritas hidup yang lebih berbeda. Kemudian aku kehilangan Nenek dan disusul dengan kepergian Ibu karena kecerobohanku sendiri. 

*

Kehidupanku setelah pernikahan itu berubah drastis, tanpa terkecuali Diana.

Kami tidak tinggal bersama dengan keluarga Diana, karena kami lebih memilih untuk mengontrak rumah yang tidak terlalu jauh dari tempat Diana bekerja. 

Keseharianku mulai sibuk dengan pekerjaan baruku. Aku belajar bertanggung jawab dimulai dari menikahinya dan dilanjutkan harus memenuhi kebutuhan keluarga kami, termasuk mempersiapkan untuk biaya persalinan nanti.
Sedangkan Diana masih tetap bekerja di tempat sebelumnya. 

Dia perempuan yang selalu menghargaiku.
Perlakuannya masih sama seperti pertama kali kita bertemu. 
Meskipun penghasilannya yang lebih besar dari pada aku, tapi dia tetap melaksanakan kewajibannya sebagai seorang istri dengan baik.

Aku sangat menyayanginya. 
Dia seperti rumah bagiku.
Seperti tetesan hujan di tengah gurun. 
Perlakuannya yang begitu lembut.

Mungkin karena umurnya yang 4 tahun lebih tua dariku, terlihat dari kedewasaan yang selalu dia tunjukkan. 

Kehidupan kami yang sederhana tidak menjadi cobaan untuk pernikahan kami. Gajiku yang tidak seberapa, tempat tinggal yang seadanya, makan makanan yang tidak mewah. 
Kehidupan remajaku yang tidak lagi digunakan untuk main-main seperti kebanyakan orang seusiaku, aku belajar menjadi dewasa demi keadaan. 
Hubungan kami selalu baik-baik saja.

Sampai pada suatu sore ketika aku sedang bekerja seperti biasanya, tiba-tiba ponselku berdering. 
Diana menelepon kalau perutnya terasa sakit pertanda akan segera melahirkan. 

Di sebuah klinik yang tidak jauh dari kontrakan kami, Diana berjibun dengan nyawanya berusaha kuat untuk bertahan demi buah hati yang selama ini sudah kami nanti. 

Setelah beberapa lama Diana berjuang, terdengar suara bayi. 
Tangisannya memecah keheningan hidupku.
Wajahnya seperti mentari, menyinari kehidupanku yang terkadang tenggelam dengan banyaknya kenangan. 
Kulihat wajah mungil nan indah yang membuat kehidupanku menjadi luar biasa bahagia. 

Kugendong dia dengan pasti. 
Kehadirannya menambah pernikahanku bersama Diana semakin lengkap menjadi sebuah keluarga. 

Anak laki-laki yang kami beri nama Rangga. Diambil dari bahasa Jawa yang berarti kesatria.

Semoga pada suatu hari di masa hidupnya dia menjadi kesatria bagi orang-orang disekitarnya, terlebih untuk dirinya pribadi. 

Kehidupan keluarga kami menjadi lebih lengkap dan sangat bahagia.
Aku semakin giat bekerja demi keluargaku yang sangat aku sayangi.
Diana juga tidak perlu membutuhkan waktu yang lama untuk menyesuaikan diri menjadi seorang Ibu. 
Dia merawat Rangga dengan cukup baik. 
Rangga tumbuh dengan baik dan sehat. 

Hari-hariku diwarnai tangis dan tawa anak tercinta kami. 

Satu tahun pun berjalan. 

***

2016.

Rangga akan merayakan hari ulang tahunnya yang pertama.
Kami sudah merencanakan pesta kecil untuknya. 
Kami mengundang beberapa anak kecil yang ada di sekitar kontrakan. 

Meskipun dia belum mengerti, tapi kami akan mengabadikan momennya untuk kenangan suatu hari nanti. 

Pestanya tidak meriah, hanya dengan kue murah yang berukuran kecil dengan lilin merah berbentuk angka satu. 
Kami bahagia dengan seadaanya, seperlunya dan sewajarnya. 

Tapi semua itu tidak berlangsung lama. 

***

Di depan rumah kontrakan kami ada beberapa polisi yang sudah siap menjemputku. 

Next.


Namaku (Part 2)



Part 2 


***


Terkadang kita harus melakukan hal buruk untuk bertahan hidup, dan terkadang kita perlu bersikap kejam demi menyelesaikan masalah.


***


Aku hampir tidak percaya menyaksikan betapa ngerinya pemandangan yang aku lihat di kamar Nenek. 

Nenek sudah terbujur kaku dengan bersimbah darah di atas tempat tidurnya. 

Paman langsung menelpon polisi.


Tidak lama polisi pun tiba di rumah. 


Tapi sudah bisa dipastikan bahwa Nenek sudah benar-benar meninggal. 


Ada spekulasi kalau Nenek dibunuh oleh orang yang mencoba merampok rumah kami yang masuk melalui jendela. 

Terbukti dengan hilangnya beberapa perhiasan dan uang juga beberapa barang berharga lainnya milik Nenek.


*


Setelah kejadian itu pikiranku tidak pernah tenang.

Hampir setiap saat aku terus memikirkan kejadian pada malam di saat Nenek meninggal. Entah itu sedang di sekolah, di jalan, apalagi jika sedang berada di rumah.


Ibu kini mencoba membuka usaha menjahit yang letaknya tidak jauh dari rumah.

Sedangkan Paman yang selalu sibuk dengan banyak pekerjaannya. Berangkat pagi dan pulang pada sore bahkan larut malam, tanpa terlihat sedih atau memikirkan apalagi menyesali apa yang sudah dia lakukan.


Aku mengetahui sesuatu, tapi tidak berani membicarakannya kepada Ibu apalagi kepada orang lain.


Sekalipun aku berusaha untuk terus melupakan kejadian itu, karena semakin lama aku diam maka semakin tidak terkendali juga rasa ingin mengungkapkan fakta yang sebenarnya.


Tapi aku tetap berusaha tenang dan terlihat baik-baik saja. 


Ada hal yang menurutku sama pentingnya, yaitu sekolahku.


*


Tiba saatnya aku mengikuti ujian akhir sekolah.


*


Dua Minggu berlalu. 

Kini tiba saatnya mengetahui hasil kelulusan. 


Pagi ini hatiku terasa tidak karuan, jantung yang terus berdebar, tidak bernafsu untuk sarapan, dan pikiranku sedikit kalut. Tapi aku melihat pancaran wajah Ibu yang menggambarkan betapa bahagianya dia melihat aku yang akan segera lulus sekolah. 


Karena semua siswa harus didampingi oleh orang tua masing-masing, pagi ini aku pergi ke sekolah bersama Ibu dengan mengendarai motor kesayanganku pemberian dari Nenek saat ulang tahunku yang ke 17.


Diperjalanan menuju sekolah, aku sedikit mengobrol bersama Ibu. Dia bilang kalau aku boleh memilih tempat kuliah yang aku mau. Katanya dia ingin sekali kalau aku mempunyai pendidikan yang tinggi agar nantinya mempunyai jenjang karir yang bagus. 


Aku masih melihat wajah Ibu yang memancarkan kebahagiaan itu di kaca spion motor. Rasanya aku merasa bahagia ketika melihat Ibu terus tersenyum seperti itu, aku terus memandang wajahnya melalui spion. 


Dalam hati ingin rasanya aku menceritakan apa yang selama ini aku ketahui. 

Tapi aku segera menyimpan keinginan itu, karena untuk saat ini aku lebih mementingkan kebahagiaan Ibu, dan mungkin Paman juga tidak dengan sadar telah melakukan perbuatannya itu.

Tapi tidak menutup kemungkinan jika suatu hari aku akan mengungkap perbuatan yang sudah Paman lakukan.

Karena tidak sepantasnya Nenek diperlakukan seperti itu oleh anaknya sendiri.


Saking lamanya aku melamun, aku tidak fokus lagi melihat jalan, sehingga aku tidak sadar kalau aku sudah beralih ke jalur sebelah kanan, dan di depan ada sebuah mobil yang melaju cukup kencang, dan tabrakan pun tidak terhindarkan. 


Aku tidak ingat apa-apa lagi, semuanya menjadi gelap.


***


2024.


Sore ini aku akan jalan-jalan menyusuri pantai, kebetulan cuacanya cukup bagus, cocok sekali untuk menikmati angin di sore hari sambil menunggu sunset. 


Setelah lumayan lelah berjalan, aku memutuskan untuk masuk ke sebuah bar yang telah jauh dari bibir pantai. Aku memesan bir dan menyalakan rokok yang selalu aku bawa di saku celana. Kurang lebih sama seperti kebiasaanku 10 tahun yang lalu. 


Hampir setiap hari bersantai di bar dan pergi ke diskotik ketika malam hari. 


Itu saat pertama kali aku keluar dari rumah.


Tidak terasa sudah hampir 2 jam aku duduk di sini, hari pun mulai gelap, lampu-lampu di sepanjang jalan sudah mulai menyala. Aku segera menuju kasir untuk membayar dan segera berjalan keluar dari bar.


Ketika melihat lampu yang terang di sepanjang jalan, seketika aku teringat kejadian dulu. 


***


2014.


Aku terbangun di sebuah ruangan dengan selang infus di tangan juga selang oksigen di hidungku. Ketika aku melihat keadaan sekitar, ternyata ada banyak orang termasuk ada kakakku dan juga Paman. Tapi aku tidak melihat Ibu. 


Terlihat mata kakak yang sebam seperti habis menangis berjam-jam bahkan berhari-hari. Aku tahu pasti dia bukan menangisi apa yang terjadi kepadaku, tapi ada hal lain yang membuatnya lebih bersedih. 


Ketika aku bertanya dimana Ibu, kakak hanya terdiam dan malah dijawab dengan keluarnya air mata yang mengisyaratkan bahwa sesuatu sudah terjadi kepada Ibu. 


Disitulah aku merasa bahwa hidupku tidak lagi ada artinya, aku perlu dihukum atas apa yang sudah aku perbuat, ini semua salahku yang menyebabkan Ibu meninggal. 


Aku tidak sadarkan diri cukup lama. 


Aku tidak berkesempatan untuk melihat wajah Ibu untuk terakhir kalinya selain di kaca spion, itu pun seminggu yang lalu. 


Setiap hari aku hanya bisa terdiam dan tidak mampu lagi berkata apapun apalagi untuk menangis. Setiap saat aku hanya memandang langit-langit kamar rumah sakit. Sesekali aku memejamkan mata yang membawaku ke kejadian itu, rasanya seperti  tertidur dengan mimpi buruk yang tidak pernah berakhir.


*


Sebulan kemudian aku keluar dari rumah sakit. 


Aku langsung mengunjungi makam Ibu, tapi aku masih tetap tidak merasakan kesedihan apalagi menangis, kecuali aku merasakan marah yang luar biasa.


*** 


2024.


Sebelum pulang ke rumah, aku sengaja kembali melewati pantai yang tadi sore aku lalui. Masih tetap dengan rokok di tangan yang sesekali aku hisap. Malam ini cukup dingin, aku selalu lupa membawa jaket atau baju berlengan panjang, memang kebiasaan burukku dari dulu. 


Deburan ombak terdengar begitu jelas, mungkin karena semakin malam air laut menjadi pasang. Terbukti kakiku basah karena ombak yang sampai ke tepi pantai. 


Aku begitu menyukai pantai. 


Jadi teringat ketika masih kecil. 


Kami sekeluarga berlibur ke sebuah pantai yang tidak terlalu jauh dari rumah. Mungkin saat itu usiaku 5 tahun. Begitu senangnya ketika ombak akan datang, aku akan melompat agar tubuh kecilku tidak terbawa arus, membuat benteng dan rumah-rumahan dari pasir bersama kakakku. Ayah yang duduk santai di bawah payung sambil meminum air kelapa, Ibu yang menunjuk-nunjuk ke arah gulungan ombak yang akan datang mengisyaratkan, "awas ada ombak jangan terlalu jauh mainnya", sambil mengayun-ayunkan tangannya menyuruh kami agar segera ke pinggir dan berhenti bermain karena matahari di siang itu begitu terik. 


Terasa ada yang mengalir di pipiku, padahal aku tidak merasa sedih atau apapun, dokter menyebutnya dengan istilah hypophrenia. Padahal dulu aku tidak bisa menangis atau bahkan bisa mengeluarkan air mata, itu dulu sebelum aku mengikuti hipnoterapi agar aku bisa kembali menangis seperti orang pada umumnya.


Sedalam itukah rasa sedihku? 


*


2015.


Saat itu baru seminggu tinggal di ibukota, tidak ada teman apalagi keluarga sama sekali. Aku tinggal di sebuah hotel  yang tidak jauh dari jantung kota, dengan berbekal uang yang lumayan banyak dari Pamanku, hampir setiap hari aku mengunjungi sebuah cafe yang sama, tentu saja untuk melupakan sedikit demi sedikit beban yang aku rasakan. 


Pada suatu ketika, ada yang menyapaku dan langsung bertanya, apakah aku duduk sendirian atau sedang menunggu seseorang. Dia juga bertanya siapa namaku dan berasal dari mana.


Namaku saat itu adalah Ale, kata yang diambil dari bahasa Prancis, "Aller" yang berarti pergi. Aku bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran. 


Tentu saja itu adalah sebuah kebohongan. 


Sedangkan nama dia adalah Diana, diambil dari bahasa latin yang berarti surgawi.

Nama yang begitu indah. 


Seorang perempuan yang baru lulus dari universitas ternama dan sudah pasti memiliki kesempatan untuk berkerja di sebuah perusahaan besar bukan lagi menjadi impian. Terbukti dia sudah bekerja di sebuah perusahaan ternama yang bergerak di bidang transportasi sebagai administrasi konsultan.


Kebetulan tempat tinggalnya tidak terlalu jauh dari sini, makanya cukup sering juga dia mampir ke cafe yang sama aku kunjungi.


*


Selama aku hidup hingga saat ini, aku belajar untuk survive alone atau bertahan hidup sendirian.

Bisa saja ada orang lain yang menghampiri atau bersamaku pada saat ini dan menganggap betapa pentingnya aku bagi dia, dia menyukaiku, menyayangiku, tapi dikemudian hari bisa saja aku ini bukan lagi siapa-siapa baginya, dan bahkan mungkin dia tidak mau lagi untuk mengenal seperti apa diriku saat ini. 

Makanya sangat penting sekali untuk survive alone, because in the end of the day it's only me and myself. 


*


Pada keesokan harinya kami selalu bertemu di tempat yang sama dan pada waktu yang sama pula. 


Pertemuan kami di hari-hari selanjutnya tidak lagi kaku seperti sebelumnya, kami mulai bercerita tentang keluarga masing-masing. Ternyata dia anak kedua dari 2 bersaudara, dia mempunyai kakak seorang polisi. Bahkan banyak anggota keluarganya yang mempunyai latar belakang yang sama. 


Di tengah banyaknya obrolan yang kami lakukan, yang paling jujur dari semua ucapanku hanya tentang kesukaanku mengenai pantai dan makanan favoritku, yaitu nasi goreng masakan Ibu. Selebihnya adalah bualan semata. 


Ditengah obrolan, dia menceritakan tentang kakaknya yang pernah bersekolah di tempat khusus yang berada di Jawa Barat, namanya sekolah intelijen. 


Aku pun mulai tertarik hingga penasaran dengan apa yang diceritakannya kali ini. 


***


Hampir setiap hari aku menghabiskan waktu hanya dengan duduk termenung karena belum bisa melupakan apa yang sudah terjadi dalam hidupku.


Pada hari itu aku terbangun ketika matahari sudah tegak tepat di atas bumi. Karena semalaman aku tidak bisa tertidur.


Sudah mau sebulan aku berpindah-pindah hotel bukan kamar kost yang pernah aku ceritakan kepada Diana. 


Ketika membuka ponsel, ternyata ada pesan masuk yang tidak lain adalah dari Diana. Karena dia orang pertama dan satu-satunya yang mengetahui nomor ponselku semenjak aku tinggal di sini. Dia menanyakan apa kegiatanku sore nanti, aku jawab saja mau ke tempat yang sama seperti kemarin. 


Pada sore harinya, kami pun bertemu lagi di tempat yang sama. 


Aku mempunyai tujuan untuk bertanya lebih lanjut tentang sebuah sekolah intelijen yang pernah dia ceritakan sebelumnya.


***


2014.


Semenjak kejadian itu aku hanya diam di dalam kamar dan sesekali duduk di halaman depan rumah. Selain kejadian itu, yang membuat diriku terpuruk adalah di saat mendapat kabar bahwa aku tidak lulus sekolah, hasil ujianku gagal. 


Tiga bulan berlalu.


Tubuhku sudah benar-benar pulih, cara berpikirku sudah sedikit lebih baik. Aku harus bisa memperbaiki keadaan, meskipun tidak sama seperti sedia kala, karena yang sudah terjadi tidak akan bisa diubah, waktu tidak akan pernah kembali, maka aku harus bisa dan lebih siap untuk menghadapi banyak kemungkinan yang akan terjadi di kemudian hari. 


Bukankah hidup akan terus berjalan?


Aku mulai berpikir, apa yang salah dari semua ini, dan aku mulai mencari cara bagaimana aku bisa memperbaiki semua itu, terutama langkah apa yang akan aku ambil selanjutnya. Karena aku tidak mau terus begini, hanya duduk terdiam dan merasa tidak berguna.


Ini semua berawal semenjak kepergian Ayah, Nenek yang meninggal tidak wajar, hingga Ibu yang menjadi korban kecelakaan karena keteledoranku. 


Aku mencoba untuk menerima kenyataan itu, tidak ada pilihan selain aku harus menerima semua itu, terbukti aku sudah bisa hidup dengan tanpa kesedihan atas kepergian mereka. 


Aku belajar dan selalu berusaha untuk tidak takut kehilangan siapapun yang hadir di dalam hidupku, entah itu teman, sahabat, keluarga, dan atau orang yang sangat aku sayangi. 

Karena aku akan lebih takut ketika aku harus kehilangan diriku, hanya karena aku terus menerus memikirkan hal yang sudah terjadi.

Jika aku kehilangan diriku maka aku akan kehilangan hidupku dan jati diriku juga segala yang ada di dalamnya termasuk masa depanku.


Aku harus melakukan sesuatu.


Pada suatu malam, aku meyakinkan diri bahwa aku harus meminta pertanggung-jawaban dari Paman, dia adalah orang yang harus disalahkan atas semua yang sudah menimpa hidupku selama ini. 


Dia meminta maaf dengan sungguh-sungguh, dia juga berjanji akan menyerahkan diri ke polisi.


Terlihat ada air mata yang mengalir di pipinya. Tapi aku tetap tidak bisa menerima kata maafnya yang dengan mudahnya dia ucapkan. Bahkan dia bersujud di bawah kakiku agar aku bisa memaafkan dirinya. Aku memang memaafkannya, apalagi dia adalah Pamanku sendiri. Tapi taku mempunyai sedikit rencana yang sudah aku pikirkan matang-matang selama ini.


Aku memberikan secarik kertas yang berisi nomor rekening pribadiku yang baru dibuat beberapa hari yang lalu. Di kertas itu juga tertulis sejumlah uang yang harus dia berikan. 


Belakangan baru diketahui alasan kenapa dia melakukan hal keji itu kepada Nenek.


Hanya karena Nenek menolak menandatangani surat wasiat yang berisi bahwa semua harta yang dimiliki oleh Nenek harus diberikan kepada Paman.


Pada suatu malam, Paman baru pulang kerja dan dia memberikan slip transfer, di situ tertulis nominal yang melebihi jumlah yang aku minta. Dia juga meminta agar aku tidak mengadukan kejadian itu kepada siapa pun apala

gi kepada polisi. 


Benar saja dia akan mengingkari janjinya.


Pantas saja dia memberikan uang yang lebih banyak.

Dia tidak benar-benar tulus meminta maaf.


***


Nyawa harus dibayar dengan nyawa.


Next.


Selain Dirinya (Part 1)



Cindy sudah menyelesaikan tugasnya sebagai seorang Ibu, ketika anak laki-lakinya yang kedua membaca ijab kabul bersama wali dari anak perempuan yang akan menjadi menantu Cindy nantinya. 

Masih dengan semua rencana indahnya Cindy, kedepannya dia akan menghabiskan masa tuanya dengan tenang meskipun hanya bergantung pada usaha salon kecil-kecilan yang dia bangun di samping rumah yang sudah dia miliki sejak masih bekerja di ibu kota dulu.


Tapi tampaknya Cindy harus menunda rencana indahnya kali ini tentang menjalani masa tuanya dengan indah itu, karena dia tengah mengandung anak dari laki-laki yang dijuluki Pak Sekdes.

Karena beberapa waktu sebelumnya Cindy sudah meyakinkan diri bahwa anak yang dikandungnya memang anak dari hasil hubungannya dengan Pak Sekdes bukan dengan Pak Aparat yang hampir setiap Jumat sore mengajaknya ke villa. 

Ataukah anak dari laki-laki yang lain? 


Selain Dirinya, aku bertemu dengan banyak orang juga berbagai kisah di dalamnya. Cinta, uang, rasa sakit, kesenangan dan kebahagiaan.


***

Part 1 


Ketika manusia mengetahui hal yang dapat menghancurkan mentalnya, tidak sedikit dari mereka yang malah menyerah dan berhenti untuk menjalani hidupnya. Tapi tidak berarti bagi orang yang sudah terbiasa bertemu dengan badai kehidupan, entah bersama seseorang ataupun sendirian. Karena faktanya dia sudah membiasakan diri dengan hal-hal yang sejatinya akan membuat semua manusia pasti bertemu dengan gelombang yang akan menerpa. Sehingga tidak ada celah dan kesempatan untuk menghindar apalagi berlari selain tetap berdiri hingga saat di mana badai itu selesai dengan masanya.

Karena tugas manusia itu bukan menyelesaikan apalagi menghindar, melainkan hanya bertahan dan kembali berjalan.


***


Setelah menunggu cukup lama di lobi, akhirnya ada seorang pria berkemeja putih dibalut dengan jas hitam sambil menjinjing tas laptop menghampiri Cindy. 

Dia adalah Andika. Pria yang Cindy kenal tempo hari di karaoke tempatnya bekerja.

Andika hanya seorang pria yang sedang berusaha untuk mengikuti apa yang biasa dilakukan oleh teman-teman kantor sebayanya jika sedang ada kegiatan ke luar kota seperti saat ini. Dia bukanlah pria kesepian apalagi pendiam, apalagi dia juga sudah menjalani 5 tahun berumah tangga. Andika benar-benar sedang menikmati hasil kerja kerasnya untuk mencoba hal-hal yang belum pernah dia lakukan sebelumnya. Salah satunya adalah membeli jasa seperti yang Cindy jual. 


Bagi Andika ini adalah hal baru, tapi tidak bagi Cindy. 

Keluar masuk hotel bagi Cindy bukanlah sesuatu yang asing. Bertemu dengan orang-orang seperti Andika juga bukan pertama kalinya. Tidak terhitung berapa banyak pria yang Cindy temui dalam situasi juga kondisi yang keadaannya hampir sama seperti Andika saat ini. Tentu saja Cindy sudah paham harus memperlakukan pria yang mulai mengajaknya masuk ke kamar tipe deluxe yang berada di lantai 5 hotel itu. Terpampang jelas nama Andika Prayoga di ID card ber-lanyard merek lokal dengan logo sebuah bank ternama. 


Keesokan paginya hanya Andika yang terlihat berada di lantai 2 untuk sarapan. Sedangkan Cindy masih membaringkan tubuhnya di atas kasur berukuran kings size yang entah sudah dipakai berapa ratus orang seperti dia dan Andika semalam.

Cindy terbangun karena iPhone 13 pemberian salah satu kepala dinas PU beberapa bulan lalu itu berdering. Aplikasi WhatsApp-nya dibuka dan ditekan calling back.

Tertulis nama Anakku 1. 

Azka adalah anak pertama Cindy hasil dari sebuah hubungan singkat dengan pria keturunan Tionghoa 19 tahun lalu. Berpisah karena keluarga dari laki-laki pertama yang dia temui itu sudah jelas tidak mengakui keberadaan Cindy dan Azka. Hingga akhirnya Cindy harus berjuang sendiri untuk membesarkan anak laki-laki pertamanya.


19 tahun yang lalu Cindy pernah bekerja sebagai pembantu rumah tangga bersama saudaranya. 

Saat itu dia baru berusia 16 tahun. Kehidupan di kampung bukanlah hal yang menarik bagi seorang gadis yang putus sekolah karena kedua orang tua Cindy sudah meninggal pada saat dia masih belia. Cindy dituntut untuk membantu kehidupan ketiga adiknya yang pada saat itu masih harus meneruskan sekolah. 

Berawal karena mempunyai keinginan untuk membantu perekonomian keluarga, dibawa bekerja oleh saudaranya yang sebelumnya memang sudah bekerja di rumah mewah itu, tapi malah bertemu dengan anak majikan yang seumuran dengannya. Tentu saja pada saat seusia mereka bukanlah cinta yang dirasakan. Sekalipun sumpah cinta janji terucap, tapi pada kenyataannya hanya hasrat yang malah menghancurkan segalanya untuk Cindy seorang. Karena bagi si anak majikan itu bakanlah suatu kehancuran melainkan sebatas pengalaman buruk dan tidak akan berdampak apapun bagi kehidupan ke depannya. Sedangkan Cindy hanya bisa menangis dan di dera menyesal tiada arti. 

Meskipun mendapat uang pesangon sekaligus uang tutup mulut juga untuk sekadar biaya persalinan, semua itu hanya berbentuk sementara bukan selamanya. 


Cindy pun menekan 6 angka PIN m-banking di ponselnya lalu mengirim bukti transfer kepada Azka. 

Ibu dan anak itu sedang sama-sama berjuang untuk menjalani kehidupannya agar mempunyai masa depan yang lebih baik. 

Cindy dengan segala usahanya melakukan apa saja mencari biaya untuk Azka kuliah. Sedangkan Azka sedang berjuang dengan tekun belajar agar nantinya mendapat hasil yang bagus, berharap akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dibanding Cindy, Ibu yang selalu menyayanginya, Ibu yang berjuang hingga tidak peduli dengan norma yang ada. 

Karena bagi Cindy, anak adalah segalanya. 


Sekitar pukul 9 Cindy sudah selesai mandi kemudian terdengar suara pintu dibuka dari luar. 

Andika menghampiri Cindy yang sedang sibuk menata jilbabnya. Tentu saja Cindy sudah ahli dalam berkamuflase, penampilannya bisa menipu siapa saja yang melihatnya. 

Seperti belum kenyang dengan sarapan pagi, Andika masih kelaparan ketika melihat Cindy dengan penampilan barunya. Dirangkulnya Cindy seraya berkata kalau nanti akan ditambah lagi untuk uang over time-nya. 

Cindy pun tersenyum sambil mengangguk.


***


Di antara banyak aturan yang sudah Tuhan tulis dalam berbagai banyak kitab-Nya, selain harus berdoa dan bersabar, Dia tidak menulis bagaimana caranya bertahan menghadapi cobaan yang sebenarnya Dia pula yang memberikan cobaan itu.


***


Kepulangan Cindy dengan perut membesar tentu saja menjadi buah bibir para tetangga di kampungnya. Apalagi usianya belum genap 17 tahun kala itu. Selain mempermalukan keluarga, dia juga tidak mempunyai harapan untuk melanjutkan hidupnya lagi. Dia merasa bahwa nasibnya sudah berakhir. Mental Cindy benar-benar hancur. 


Selain merasakan perutnya yang semakin hari semakin membesar, hari-hari Cindy hanya diisi dengan penyesalan yang semakin hari semakin mendalam. 

Kesehariannya seakan tidak pernah bertemu dengan indahnya mentari lagi. Dia hanya merasakan bagaimana gelapnya dunia tanpa adanya waktu yang berputar. Mimpi-mimpinya yang baru dia tulis sudah terhapus begitu saja tanpa ada harapan akan terwujud lagi. Jangankan untuk mempunyai mimpi lagi, mempunyai harapan untuk melanjutkan hidup saja sudah tidak ada baginya. 

Seandainya waktu bisa diulang, dia tidak akan pernah menyentuh rasa penasaran apalagi termakan janji dari seorang remaja yang baru dia kenal beberapa Minggu itu. 

Tapi apa daya bagi Cindy, semua itu sudah terjadi. 


Memasuki usia kehamilannya yang ke 5 bulan, Cindy dibawa oleh Neneknya ke klinik yang cukup jauh dari rumahnya. Karena dia menghindari gunjingan tetangga yang semakin hari semakin tidak bisa dikendalikan bagaimana mulut mereka memojokkan dan menjatuhkan. Seakan-akan mereka adalah orang-orang tersuci yang tidak pernah melakukan kesalahan seumur hidupnya. 

Di klinik itu kebetulan ada USG yang sedikit lebih baik. 

Ketika pemeriksaan berlangsung, air mata Cindy tidak berhenti mengalir. Selain masih diselimuti kabut penyesalan, dia juga tidak bisa melupakan pria yang meskipun tidak sadar akan janjinya, tapi Cindy sangat sadar dengan perasaannya pada saat menyerahkan harga dirinya. 

Ketika Dokter membacakan hasil pemeriksaan kehamilan Cindy, seketika wajah murung Cindy berubah seolah ada cahaya yang kembali menyinari dunianya. 

Calon anaknya berjenis kelamin laki-laki dan dalam keadaan yang sehat. 

Apalagi saat Cindy melihat wajah mungil yang ada di kertas Termal Ultrasound hasil USG berwarna hitam itu. 

Harapan untuknya kembali bertahan hidup dan mulai menuliskan beberapa mimpi yang sempat tertinggal kini tercipta kembali. Itu semua karena dia bisa menerima kenyataan bahwa ada nyawa lain yang tidak berdosa yang harus dia perjuangkan. 


Meskipun dia berjuang sendiri tanpa pria yang pernah membuatnya sempat terpuruk, dengan memaafkan dirinya sendiri dan menerima keadaan terburuk dalam hidupnya, Cindy bisa kembali bangkit dan lebih siap untuk berjalan lagi.


***


Ketika Cindy baru memejamkan matanya sebentar, tiba-tiba Ayah Kalbar menelpon. Ketika Cindy menjawab panggilan itu, ternyata dia diminta untuk datang ke sebuah hotel terbaik yang tidak jauh dari gedung dengan lambang sate di atasnya. 


Cindy harus berjuang demi mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. 


***


Next.