Official Blog of Nugi Nugraha || Member of Google Corp & Blogger - Since 2011 || Copyrights 2011 - 2024 by Personal Blog & Google

Minggu, 12 Mei 2024

Nugraha is My Name (Part 30)




PERINGATAN !



Sebelum membaca artikel ini, diharapkan agar pembaca sudah berusia 17 tahun, mempunyai kemampuan untuk menghargai dan menerima juga open minded. 

Karena artikel ini berdasarkan pengalaman pribadi dan terdapat konflik secara mendalam dari konteks, paradigma, opini dan juga akan menyertakan orang-orang yang pernah ada di kehidupan pribadi sang penulis secara jujur yang bisa dikonfirmasi secara komprehensif. 

 

-------


"Tidak ada seorang pun yang boleh dihukum karena apa yang ada dipikirkannya."


---



Aku bukan tipe orang yang bisa beraktifitas di pagi hari. Tapi bukan berarti tidak pernah bisa melakukan kegiatan yang dikerjakan oleh orang lain pada umumnya, hanya saja aku terlalu menyukai suasana tenang ketika bangun tidur. Sebenarnya hanya kebiasaan kecil tapi akhirnya terus menerus aku lakukan sampai sekarang. 

Ada momen ketika pagi yang seharusnya otakku masih dalam keadaan tenang tanpa sebuah pemikiran dan perasaan juga tindakan-tindakan berat lainnya, aku mendengar sebuah obrolan tentang bagaimana kita bisa tidak terlihat oleh orang lain. Sebenarnya pendek, tapi aku menjabarkannya dengan seluas mungkin. 


Tentang apa yang ingin kita perlihatkan kepada mereka sebagai pemerhati dan pengkritik juga sedikit mengambil alih pekerjaan Tuhan yaitu menghakimi. 

Obrolannya pendek tapi inilah aku dengan keahlianku yang dengan cara berpikirku otomatis mengolah kata itu menjadi rangkaian kalimat bahkan berbagai paragraf.


Mungkin kalimatnya akan sedikit rancu, karena ucapan yang aku dengar hanya, "naon rokok kitu, nya ge aing miskin teu hayang rokok kitu patut...."

Bapaknya si H.


Semisal kita hanya menyukai rokok merek Esse dan varian lainnya, ketika ditawari rokok merek lain yang harga dan kualitasnya tidak sekelas seperti Djarum Coklat dan beberapa merek sekelasnya kita bisa menolaknya. Meskipun rokok kesukaan kita sedang habis. Karena kita punya standar dan level tersendiri untuk sesuatu yang kita sukai atau bahkan sudah menjadi bagian yang tidak boleh kita ganti hanya karena keadaan kita sedang tidak mampu untuk memilikinya. 

Lebih baik tidak merokok. 


Mungkin bisa didebat, tapi ini bukan tentang rokok. 


Intinya adalah jangan pernah terlihat seperti keadaan kita yang sebenarnya.

Marah atau sedih, bahagia atau susah, miskin atau kaya, dan apapun itu terlihatlah lain dari pada kenyataannya. Istilahnya adalah ada standar atau tidak sembarangan untuk sesuatu yang kita perlihatkan. 


Lalu aku kembali berpikir tentang pribadiku yang apa-apa selalu ditulis dan diungkapkan dengan kata-kata.


Kesedihan, kebahagiaan, keresahan, kemarahan, kekecewaan juga perasaan-perasaan yang mungkin bisa saja orang lain akan menyimpannya dengan rapat. 

Sedangkan aku? 

Tidak ada satu bagian pun yang aku tutupi dari diriku. Aku memang memakai baju, tapi orang lain bisa dengan jelas melihat bagian demi bagian yang ada dalam diriku bahkan sampai isi hatiku. 

Apalagi jika sudah ditanya, "kenapa?".


Orang-orang melihatku bertingkah, berbicara dan tertawa seperti biasa. Tidak ada yang kurang, hidupku memang nyaman dan istimewa. Tapi jika seseorang berkenan untuk mendengarkan dengan seksama, dia akan tahu bahwa ada suara isak tangis jiwaku yang sebenarnya tidak pernah berhenti. Jika seseorang memperhatikan dengan benar-benar jeli, dia akan melihat bagaimana kesenduan dan kegelisahan hati ini yang terus timbul semakin besar. Meskipun dengan berbagai cara aku sembunyikan di dalam batin akan tetap terlihat dan timbul tanpa perlu sebuah cahaya hanya dengan pancaran wajah dan tatapan mata.

Ada sedikit kepercayaan bahwa akan ada orang-orang yang cukup peka untuk menyadari semua itu dalam diriku, tapi aku juga telah belajar bahwa yang peka belum tentu peduli, hingga pada akhirnya aku memilih untuk tahu diri.


Aku pernah merasa bahwa hidupku sudah selesai. Aku sudah mengerti dan memahami, tidak ada yang bisa aku ekspektasikan lagi di dunia ini. Aku mengerti bahwa memang ada sebagian orang yang dilahirkan untuk hidup dalam cita-cita, impian, dan cerita cinta dambaan mereka. Tapi aku bukan bagian dari orang-orang itu. Aku dilahirkan hanya untuk bermimpi, mendamba tapi tidak untuk mengalaminya secara nyata. Aku pernah ada di tahap untuk garis hidupku memiliki yang aku angankan saja adalah terlalu berlebihan. 

Dan jalan takdirku tidak memiliki yang aku impikan adalah sebuah berkecukupan.

Mungkin aku terlalu merendah dan tanpa ambisi, tapi pada kenyataannya separuh jiwaku sudah rapuh perlahan hilang tanpa tersisa. 

Butuh waktu yang tidak sebentar untuk membangkitkan semangat yang sudah sekian lama terkubur kaku entah di mana. 


Tentang cinta?

Bukan tahap suka atau peduli dan sayang dengan percuma, tapi ini tentang cinta. 


Hari Selasa tanggal 11 Mei 2010.


Seketika dalam lamunan aku teringat pada saat pernah diguyur hujan. Aku sempat takut meriang dan demam. Aku mencoba berteduh di sebuah rumah yang kebetulan pada saat itu sedang dalam berantakan tapi kosong tak berpenghuni. Mencoba untuk berlindung, tapi hujan kala itu semakin deras dan sesekali disertai petir. Sehingga tetap saja membuat badanku terkena air hujan yang semakin lama semakin tidak bisa aku hindari.

Dan ini bukan tentang rumah kosong.

Aku pernah mencintai orang yang sejatinya cinta sedalam-dalamnya tanpa melihat sisi lain darinya. Terlalu gelap untuk melihat bagian darinya yang semestinya aku perhatikan sedari awal dengan segala risiko dan kemungkinannya.

Hingga pada akhirnya aku harus merasakan bagaimana sakitnya terbuang oleh sang pemilik rumah itu sendiri. 

Sejak saat itu aku tidak pernah merasakan bagaimana rasanya mencintai dengan tulus lagi. Dan mungkin tidak akan pernah bisa untuk aku berani mendekatinya dengan tidak ataupun secara sadar. Aku lebih memilih untuk sendiri seumur hidupku daripada harus merasakan sakitnya dikhianati cinta, janji dan rasa yang timbul karenanya lagi.


Aku memang masih memiliki cinta, tapi bukan untuk sebuah hubungan apalagi untuk aku berikan kepada seseorang yang besar kemungkinannya akan mengecewakan atau bahkan meninggalkan. Hidupku tidak ingin melibatkan orang lain hanya karena masalah tuntutan atau yang katanya tertulis dalam kitab. Mungkin secara syarat yang lainnya aku bisa, tapi lahir dan batinku hanya aku yang tahu. 

Aku tidak akan pernah menyentuh yang namanya pernikahan lagi. 


Lebih baik aku mencurahkan cintaku untuk orang-orang yang ketika aku memberikannya kepada mereka, dalam diriku tidak ada perasaan apa-apa selain bahagia karena melakukannya. 

Bagiku, cinta itu bisa dengan peduli dan memperlakukan orang dengan baik. Ketika aku mampu memberi solusi, sedikit rezeki, mendengarkan, atau mungkin beberapa perlakuan baik lainnya. Tidak harus selalu ada dan memberi, setidaknya dengan mundur menjauh dan membiarkan dia bersama pilihan dan keinginannya saja itu sudah sebuah bukti cinta bagiku untuknya dan untuk orang-orang yang ingin langkah hidupnya tidak ada diriku lagi. 

Banyak hal yang bisa aku lakukan dengan cinta yang aku miliki. 


Apakah aku sudah setenang itu?

Aku tidak setenang itu, aku hanya belajar mengendalikan segala perasaanku.


Apakah aku sudah sesabar itu?

Aku tidak sesabar itu, aku hanya belajar tidak memelihara benci dan dendam yang bisa menghancurkanku.


Apakah aku sudah sekuat itu?

Aku tidak sekuat itu, aku hanya belajar menerima semua yang menjadi takdirku.


Apakah aku sudah seikhlas itu?

Aku tidak seikhlas itu, aku hanya menerima sesuatu yang tidak dapat aku ubah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar kamu disini!👇✌️😁