PERINGATAN !
Sebelum membaca artikel ini, diharapkan agar pembaca sudah berusia 17 tahun, mempunyai kemampuan untuk menghargai dan menerima juga open minded.
Karena artikel ini berdasarkan pengalaman pribadi dan terdapat konflik secara mendalam dari konteks, paradigma, opini dan juga akan menyertakan orang-orang yang pernah ada di kehidupan pribadi sang penulis secara jujur yang bisa dikonfirmasi secara komprehensif.
- Nugraha is my name.
-------
Aku tidak pernah menyangka bahwa aku sudah sampai di tahap ini. Bukan tentang bagaimana keadaan hidupku, tapi ini tentang waktu yang sudah aku lewati dan banyaknya perubahan besar yang sudah aku lakukan untuk diriku, aku mampu bertahan ketika aku dibenci atas pilihan hidupku sendiri, aku mampu bangkit ketika aku tahu bahwa kenyataan hidupku saat itu benar-benar menyedihkan, aku mampu melewati saat-saat kritis dalam hidupku, dan aku selalu berusaha untuk tetap berpikir bahwa diriku akan selalu mampu dalam keadaan apapun.
Seketika aku kembali teringat saat kakak pertamaku bilang, lebih baik tidak mempunyai adik sepertiku, dia lebih memilih jika aku menghamili anak orang daripada mempunyai adik yang seorang g, itu tanggal 19 November 2017.
Itu sangat menyakitkan dan aku tidak akan pernah melupakannya.
Saat itu rasanya dunia menjadi gelap, aku tidak lagi kembali ke rumah dan benar-benar membencinya, membenci semua hal tentangnya. Semua kalimat dan umpatan juga doa yang tidak baik keluar dari mulutku untuknya kala itu.
-------
St Carolus adalah nama rumah sakit yang berada di daerah Jakarta Pusat. Waktu itu aku terlalu yakin bahwa aku akan baik-baik saja jika hasilnya memang tidak sesuai dengan ekspektasiku. Tapi pada kenyataannya sangat sulit untuk menerima semua itu. Padahal sebelumnya aku sudah merasa siap dan benar-benar meyakinkan diriku bahwa apapun hasilnya aku akan terima.
2015 menjadi tahun di mana aku merasa tidak ada lagi harapan untuk hidup.
-------
Ketika aku melarikan diri dari rumah untuk kesekian kalinya, aku bertemu dengan seorang perempuan yang sedang hamil, dan beberapa bulan lagi dia akan melahirkan anak pertamanya. Sedangkan pacarnya malah pergi dan tidak mau bertanggung jawab.
Itu 2010. Masa di mana aku melakukan banyak perubahan besar dalam hidupku, bahkan merubah cara pandangku terhadap dunia, terhadap perempuan, terhadap cinta dan juga terhadap diriku sendiri.
-------
Aku percaya selalu ada matahari yang terang di balik awan yang mendung, selalu ada bulan yang bercahaya di balik malam yang gelap.
Aku juga percaya, bahwa hidupku tidak berakhir hanya karena aku mengambil beberapa keputusan yang menurut orang lain tidak tepat, karena hidupku masih tetap berjalan sekalipun langkahku sejenak terhenti. Jalan masih panjang, hanya perlu memulai langkah pertama di jalan yang baru.
- Nugraha
-------
10 Oktober 2023.
Perjalanan yang entah akan membawaku kemana. Aku sedang dalam kereta.
Aku memilih kursi yang paling samping agar bisa duduk sambil melihat ke luar jendela.
Hansfree yang tidak pernah lepas dari telingaku karena aku lebih fokus untuk membaca jika sambil mendengarkan musik favoritku.
Tiba-tiba aku mendapat pesan WhatsApp anonim seperti biasanya.
Dia memintaku untuk meneruskan tulisan yang sudah lama menjadi file storage mengganggu draft lainnya.
Aku pun mulai mengetik pembuka dan dilanjutkan dengan:
Sumedang, 20 Juni 1992.
Saat itu hari Sabtu jam 2 siang, bertepatan dengan pernikahan tanteku, lahirlah aku yang kelahirannya sudah ditunggu oleh sang kakak yang usianya sudah menginjak 5 tahun pada saat itu. - Kurang lebih seperti itu yang pernah kakakku ceritakan.
Di rumah milik salah satu keluarga kami yang berada di gang Kenanga jalan Angkrek.
Saat Ibuku melahirkan, dia sedang dalam keadaan sakit, bahkan saat aku masih dalam kandungan. Aku masih mengingat cerita almarhum Kakek dari Ibuku pada tahun 2006 saat aku lari dari rumah Ayah kala itu.
Ketika Kakek menceritakannya dia sambil menangis dan memelukku. Dia juga menceritakan Ayahku yang sedang berada di kota Bogor dan mungkin sedang mengurus anak keduanya yang baru lahir juga, bahkan kelahirannya 19 hari lebih cepat dariku.
Ya, Ayahku mempunyai 2 orang istri pada saat itu.
Aku pernah berpikir, memangnya setidak menarik atau semengecewakan apa Ibuku, sampai Ayah harus menikah lagi dengan seorang perempuan yang baru dia kenal di sekitar sekolah tempat dia mengajar. Dan yang lebih tidak masuk akal lagi adalah ketika Ayah memalsukan "surat izin menikah lagi" yang bertanda tangan Kakek. Aku juga pernah mendengar cerita yang serupa dari kakak pertamaku.
Karena ibu yang terus menerus sakit, tepat saat usia satu setengah tahun aku dibawa dan diurus oleh kakak dari Ayahku.
Aku pindah dibawa oleh mereka.
Daerah Cianjur dan di sana semua keluarga dari Ayah berada.
Tidak ada memori yang aku ingat pada saat itu.
Aku mengingat kejadian saat aku di rumah sakit, saat itu kakak sepupuku/ anak dari kakak Ayahku yang menemaniku. Aku dikenalkan dengan seorang anak yang sama-sama pasien di RSHS kala itu. (Edited: POV A Erus - kakak sepupuku - "Pami teu lepat mah 11 bulan saur na mah, umur 17 bulan di bawa ku ci Mamah k Pasir Eurih, taun 95 op ka dua pas aa libur beres ebtanas")
Ya, aku hanya mengingat saat itu saja.
Aku juga ingat saat mengejar kakak sepupuku di jalan menanjak dengan sendal yang sangat licin. Aku pikir itu masa kecilku yang menyenangkan. Aku melihat tawa itu, tawa yang sesungguhnya bukan bentuk pengalihan dari cara agar menutupi luka seperti saat ini.
Saat aku di rumah kakak Ayahku, aku memanggilnya Ua, mungkin saat itu usiaku baru 3 tahun. Aku disuapi makan, mereka mengajakku bercanda. Oh iya, dulu belum ada listrik seperti sekarang ini, di ruang makan tepat di meja makan dengan diterangi lampu bersumbu dengan minyak tanah , wadahnya terbuat dari kaca.
Aku juga ingat saat aku di sunat, ya tidak ingat juga bagaimana sakitnya, hanya saja saat itu aku digendong Kakek dari Ayahku.
Masih ingat juga ada acara hajatan wayang golek untuk acara syukuranku setelah disunat.
Pada saat usiaku baru berusia 5 tahun, aku sudah masuk sekolah dasar.
Hal yang menarik dari sekolah kala itu adalah karena gurunya tidak lain dan tidak bukan adalah Ayahku sendiri.
Jika memang harus mengakui, itu menjadi salah satu kebanggaan tersendiri bagiku. Setiap hari disekolah serasa mempunyai kepercayaan diri yang tinggi. Tidak ada yang namanya bully mem-bully. Siapa yang berani? Aku anak guru di sini. Kala itu.
Aku tidak merasa pintar dalam pelajaran, hanya saja aku cepat mengerti, karena aku memang pemalas. Aku bukan tipe yang setiap hari harus menghapal. Apalagi aku tinggal bersama Ua yang notabenenya bukan orang yang mengutamakan belajar pendidikan formal. Mereka lebih mengutamakan aku untuk belajar tentang agama.
Tapi aku juga tidak bodoh, dari kelas 1 sampai kelas 6 selalu masuk 3 besar. Entah itu memang nyata atau hanya agar tidak terlalu jelek untuk gengsi Ayahku saja.
Kelas 1 SD aku sudah lancar membaca, menulis tidak pernah rapi bahkan sampai saat ini, berhitung cukup pintar, tapi matematika bukan pelajaran yang aku sukai tidak seperti Ayahku yang menomor satukan matematika.
Saat SD aku tidak memiliki sahabat, semuanya hanya sejauh pertemanan pada umumnya saja.
Tapi teman bermain yang dekat ada beberapa, kebetulan tidak jauh dari rumahku kala itu. Namanya Sadin dan Tono.
Kami suka melakukan beberapa kegiatan anak-anak seperti biasanya, main layangan, menggembala kambing, merusak pematang sawah milik mang Undang untuk dinaiki dan seolah-olah terbawa longsor "geuleuyeung" gubrak, dan masih banyak lagi.
Tapi itu hanya sampai aku kelas 6 SD saja. Kebetulan mereka tidak satu kelas denganku.
Aku mau cerita tentang keadaan di rumah Ua tempatku tinggal.
Mereka adalah orang yang menyayangiku, aku sangat merasakan hal itu. Tapi mungkin caranya saja yang terlalu keras menurutku kala itu. Bukan kekerasan tapi keras dalam artian "tegas".
Galak? Mungkin lumayan, tapi aku melihatnya lebih ke mengajarkan disiplin.
Bagus, tapi mereka lupa bahwa tidak semua anak butuh dan harus dengan cara yang sama, karena setiap anak memiliki kepribadian yang berbeda.
Bukan hanya mereka tapi seluruh anggota keluargaku semuanya sama. Memiliki argumen tanpa mau tahu pendapat dan keinginan anak-anaknya.
Kelas 1 SMP.
Aku sangat menyukai pelajaran bahasa Indonesia. Aku sangat suka membaca dan menulis, meskipun kemampuan menulis tanganku masih kurang bahkan memang jelek sampai sekarang ini.
Pada saat itu guru bahasa Indonesiaku adalah Pak Iyus dari Cibuluh.
Cara menerangkannya cukup mudah untuk dipahami, makanya aku sangat menyukai pelajaran bahasa Indonesia.
Apalagi jika sudah ada PR mengarang dan membuat cerita juga menulis puisi, sudah bisa dipastikan aku mendapat nilai paling bagus.
Selain bahasa Indonesia, aku juga menyukai pelajaran bahasa Inggris. Saat itu gurunya adalah Pak Ana dari Cikupa.
My name is. Your name is. His/ him name is.
I, you, we, they, she, he, it, Budi, Ani....
What is this? What is that?
Itu pelajaran awal yang masih aku ingat sampai saat ini.
Oh iya, dulu SMP-nya masih menyatu dengan SD. Jadi kami masuk kelas setelah tengah hari.
Saat di SMP, aku mempunyai banyak teman dan beberapa sahabat.
Lagi dan lagi, entah ini karena aku anak seorang guru atau bukan. Ayahku juga mengajar matematika di SMP tempatku.
Jadi masih ada kebanggaan tersendiri bagiku.
Ada Awan Hermawan yang mengajariku voli dari sama sekali tidak bisa sampai aku benar-benar mahir.
Edi si tosser andalan.
Dan masih banyak lagi teman-teman lainnya.
Ada Asep Setiawan, Rohiwan, Arman, yang lainnya aku belum ingat lagi.
Kalau teman perempuannya ada (lupa lagi), mungkin langsung ke sahabatku saja.
Namanya Euis Supartika, rumah kami berdekatan.
Hampir setiap hari kami berangkat sekolah bersama. Dulu belum ada motor, jadi kami berjalan melewati persawahan, beberapa jembatan kecil, mengobrol barsama di sepanjang perjalanan.
Dia sangat baik. Dia memanggilku Dede, aku memanggilnya Teh Euis.
Kami pernah beberapa kali bertengkar. Masih ingat satu kejadian di mana aku pernah mengotori baju putihnya dengan lumpur sawah yang dengan sengaja aku cipratkan ke bajunya.
Dia menangis kala itu. Tapi tidak butuh waktu lama untuk kami kembali berbaikan. Aku juga sudah meminta maaf, dan mungkin karena itu hanya baju yang akan kembali bersih setelah dicuci.
Darinya aku belajar meminta maaf dan memaafkan hal-hal kecil entah itu memang ataupun benar-benar tidak disengaja.
Aku juga mempunyai sahabat yang bernama Asep Mulyana. Kami memanggilnya Arud.
Selain bisa bermain voli, dia juga pintar bermain sepak bola.
Kami selalu bermain bersama. Berangkat mengaji bersama ke daerah Datar Lelemah kalau tidak salah. Saat itu guru ngaji kami namanya Pak Sahidin.
Si Arud ini sahabat yang menurutku paling baik di antara yang lainnya. Kami tidak pernah bertengkar.
Kabarnya sekarang dia ada di Sumatera atau Kalimantan, aku lupa.
Cinta pertamaku?
Saat aku kelas 2 SMP, untuk pertama kalinya aku jatuh cinta.
Setelah dipikir sekarang, mungkin aku akan menyebutnya jatuh hati saja.
Oh Tuhan.
Rasanya itu tidak nyaman tapi mendebarkan terasa senang.
Namanya Herlina. Perempuan berambut panjang dengan kulit sawo matang. Aku masih mengingat wajah itu, wajah yang mengajarkanku bahwa banyak hal yang bisa aku kagumi, aku sukai tapi bukan untuk aku miliki.
Oh iya, kita tidak pernah pacaran, tentu saja.
Tidak ada keberanian ataupun cara untuk mengatakan perasaanku. Cinta dalam diam?
Hal-hal indah itu ternyata harus segera berakhir, kerena banyak konflik di dalam rumah yang tidak seindah di sekolah.
Aku mulai paham setelah dewasa ini, mental bisa menjadi rusak hanya karena melihat yang seharusnya tidak pantas untuk di lihat, mendengar banyak kata dan kalimat-kalimat dengan nada yang tinggi, melihat wajah marah dari mereka, kekerasan yang ringan seperti menjewer telinga, mungkin memang akan ada anak yang pas jika cara mendidiknya seperti itu, tapi mungkin saat itu terjadi kepadaku yang kebetulan kurang cocok untuk metode seperti itu.
Aku tidak menyalahkan mereka, karena mungkin mereka juga tidak terlalu paham dan tahu bagaimana yang sebenarnya anak inginkan.
Pada saat itu bukan hanya aku yang tinggal bersama Ua, tapi ada sepupuku anak dari tanteku. Dia seorang perempuan 5 tahun lebih muda dariku. Kepribadiannya berbanding terbalik denganku, dia anak yang baik, penurut dan tidak pernah membuat kesalahan-kesalahan yang lumrah yang biasa aku lakukan.
Ketika aku kelas 2 SMP semester 2, untuk pertama kalinya aku pergi dari rumah.
Pertama kali naik kendaraan umum sendirian. Tujuan utamaku adalah rumah kakak sepupuku yang ada di Banjaran, anak dari Ua-ku.
Dan beberapa Minggu kemudian dengan resmi aku pindah ke Banjaran dan tinggal bersama mereka. Karena aku ingin pindah sekolah.
Itu hal menyenangkan dalam hidupku, tapi hanya awalnya saja.
Setelahnya lebih parah dari apa yang pernah aku rasakan sebelumnya.
Mungkin karena saat itu mereka baru memulai rumah tangga dan apalagi baru mempunyai anak juga. Mereka belum pengalaman mengurus anak apalagi yang umurnya seusiaku.
Percaya atau tidak, itu momen yang paling menyedihkan selama satu setengah tahun.
Di rumah sudah pasti tidak ada rasa nyaman, di sekolah pun demikian, aku mengalami yang namanya bully, bisa dibayangkan betapa menyedihkannya momen itu.
Kalau aku mendengar kata Pasir Pariuk dan Al-Falah rasanya seperti tidak ada kalimat yang bisa menjabarkan betapa bencinya aku.
Kalau ada kata melebihi benci, mungkin bisa aku gunakan kata itu. Karena semua ingatan buruk itu pasti langsung muncul di kepalaku. Menyedihkan, menyakitkan, menakutkan, salah satu trauma yang paling mendalam.
Dan ada satu kejadian lagi yang tidak bisa aku lupakan sampai saat ini. Aku pernah dilecehkan secara seksual oleh seseorang yang ada di lingkungan Pasir Pariuk. Sampai sekarang orangnya masih ada.
Bertahun-tahun aku tidak pernah mau ke tempat itu lagi kecuali jika memang terpaksa.
-------
2022.
Sampai aku mulai berpikir dan melihat sisi lain dari kedua tempat itu.
Aku mengenal seseorang di sana, bernama Hd. Dia yang merubah cara pandangku terhadap semua ingatan buruk itu.
Nanti akan aku ceritakan secara detail.
--------
Setelah aku lulus sekolah SMP di Banjaran dan meninggalkan rumah kakak sepupuku, itu menjadi salah satu momen terbaik yang aku rasakan. Masih ingat saat itu pagi-pagi, aku menggendong tas sekolah dengan isi baju-baju dan menenteng kantong kresek yang berisi banyak buku, aku berjalan ke luar rumah itu yang seperti tidak pernah merasakan kebebasan di hari sebelumnya, seperti baru pertama kali menghirup udara rasanya sangat segar, seperti tidak ada beban lagi.
Mungkin bisa digambarkan betapa dalamnya hal-hal yang membuat aku sakit di lingkungan itu terutama berada di tengah-tengah mereka. Memang, aku yang datang tanpa diundang, mereka tidak pernah memintaku untuk tinggal, tapi apakah pantas hal-hal seperti itu mereka lakukan?
2006.
Tiba saatnya aku masuk SMA.
Pada saat itulah untuk pertama kalinya aku berperan sebagai diriku sendiri.
Aku sekolah di daerah Cisewu, Garut.
Mengontrak bersama anak-anak sekolah yang lainnya, dan sebebas itu.
Yang biasanya selalu diawasi oleh banyak mata dengan segala bentuk bentakan keras dan kadang nyaring bahkan sesekali tidak bersuara tapi dengan mimik muka yang sangat menakutkan.
Tapi ketika aku mulai masuk SMA semua larangan itu tidak ada, tidak ada lagi mata yang menjadi rem untukku melakukan apapun yang aku mau, aku bebas.
Pertama kali merokok, minum minuman beralkohol, melakukan seks untuk pertama kalinya juga.
Jarang masuk sekolah, bangun selalu siang, pokoknya kehidupanku menjadi melenceng dari apa yang seharusnya tidak boleh aku lakukan. Selain memang karena pergaulan, mungkin karena aku yang selalu memiliki rasa penasaran yang tinggi terhadap banyak hal yang sebelumnya tidak pernah aku lakukan.
Aku juga berkali-kali pergi ke kota Bandung, Sumedang, Jakarta dan beberapa kali ke pantai Pangandaran.
Setahun berlalu.
Apa yang aku dapat?
Banyak pengalaman tentunya. Tapi selebihnya tidak ada. Masa sekolahku selama satu tahun pencuma.
Sama sekali tidak ada yang aku dapat.
Begitupun Ayahku yang sudah mengeluarkan biaya.
Hingga pada akhirnya Ayahku mendirikan sekolah SMA yang jaraknya masih bisa dijangkau dari rumah. Dan untuk pertama kalinya aku benar-benar tinggal bersama Ayahku mulai saat itu.
Tapi lagi-lagi aku tidak lagi fokus dengan sekolah, karena sekolah sudah bukan menjadi tempat yang menyenangkan dan aman untukku. Tidak ada rasa ingin sekolah sama sekali.
Berkali-kali aku pergi ke Bandung dan mencari kerja.
Sampai kelas 3 SMA tiba saatnya ujian Nasional.
Aku tidak peduli. Aku lebih memilih untuk tetap di Bandung.
Ada sesuatu yang lebih penting dibandingkan sekolah.
Tepat di awal tahun 2010, yang seharusnya mempersiapkan diri untuk ujian, aku malah memilih untuk pergi lagi ke Bandung.
Aku bertemu dengan seorang perempuan yang sedang hamil, dan beberapa bulan lagi dia akan melahirkan anak pertamanya. Sedangkan pacarnya malah pergi dan tidak mau bertanggung jawab.
Itu menjadi masa di mana aku melakukan banyak perubahan besar dalam hidupku, bahkan merubah cara pandangku terhadap dunia, terhadap perempuan, terhadap cinta dan juga terhadap diriku sendiri.
Pada usiaku 18 tahun aku menikah. Aku menikahi seorang perempuan atas dasar peduli bukan sayang apalagi cinta.
-------
To be continued.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar kamu disini!👇✌️😁