...
Selepas Sanja (2)
POV: Senja
Aku tidak terlalu mengerti apa yang mereka rasakan pada saat itu, aku hanya mendengar dari orang-orang di sekitarku saja.
Sekarang aku sudah berumur 12 tahun. Setahun lagi aku akan mengganti seragam putih merah ini dengan warna putih dan biru dongker.
Rasanya baru kemarin orang tuaku mengajarkanku untuk berdiri dan memapahku di sudut tembok ruang tamu.
Mengantarku untuk pertama kalinya pergi ke sekolah.
Melihat Ayah yang setiap pagi pergi bekerja dan pulang hingga larut malam, Ibu juga membantu perekonomian keluarga kami dengan berjualan di depan rumah.
Kami tidak berada dalam posisi menjadi keluarga yang berkecukupan, tapi mereka mengajarkanku agar tetap bersyukur dengan apa yang sudah kami dapat. Masih banyak orang di luar sana yang hidupnya lebih serba kekurangan dibanding kami.
Jadi, apapun yang kami miliki saat ini harus tetap kami syukuri.
Selama aku hidup 12 tahun, belum pernah sekalipun bertemu dengan Kakek dan Nenek dari Ayah maupun Ibu, begitu pun keluarga yang lainnya.
Aku pernah beberapa kali bertanya kepada mereka, tapi jawaban mereka tetap saja sama, bahwa Kakek dan Nenek sudah meninggal dan mereka tidak memiliki anggota keluarga yang lain.
...
Suatu pagi ketika aku bersiap untuk pergi ke sekolah, terdengar suara keributan dari kamar Ayah dan Ibu. Tapi itu sudah biasa bagiku. Tanpa berpikir panjang, aku pun pergi ke sekolah seperti biasanya.
Jarak dari rumah ke sekolahku tidak terlalu jauh, dengan sekali naik angkot sekitar 5 menit saja sudah sampai.
Tapi ketika aku baru memasuki ruang kelas, ada yang memanggil namaku. Itu bukan suara teman-temanku, bukan pula suara guruku. Ketika aku menoleh ke belakang, ternyata itu adalah salah satu tetangga rumahku.
Dia mengajakku untuk kembali pulang ke rumah.
Dengan badan gemetar dan hati yang tidak keruan, aku mengikutinya dengan memakai sepeda motor, beberapa saat kemudian aku sampai di rumah.
Selain banyak orang yang berkerumun, ada juga beberapa polisi yang berdatangan.
Ibuku dinyatakan meninggal.
Banyak luka di sekujur tubuhnya, kepalanya banyak mengeluarkan darah.
Aku tidak bisa bergerak apalagi mendekat untuk memeluk Ibu yang terakhir kalinya. Aku tidak sanggup.
Sedangkan Ayah entah pergi ke mana. Tidak ada yang bisa menemukannya.
Kenapa?
Kenapa semua ini harus terjadi kepada diriku?
Apa salahku?
Aku hanya anak yang belum mengerti apapun tapi malah harus dihadapkan dengan kenyataan bahwa ini memang terjadi dengan kehidupanku.
Aku merasa ini terlalu cepat untuk aku alami. Aku merasa belum cukup siap untuk menjalani kehidupan yang seperti ini.
...
Setelah kepergian Ibu dan tanpa kabar dari Ayah yang entah berada di mana saat ini, aku terpaksa harus tinggal di sebuah panti asuhan.
Karena aku tidak tahu keberadaan keluarga dari Ayah ataupun Ibu.
Setahun berlalu, aku pun masuk SMP.
Kehidupan di panti asuhan cukup baik dan lumayan menyenangkan, mungkin karena kami di sini anak-anak yang mempunyai nasib yang hampir sama.
Beberapa bulan berjalan.
Setiap enam bulan, di panti asuhan tempatku tinggal selalu ada calon orang tua yang akan mengadopsi para anak asuh.
Ini kali ketiga bagiku.
Seperti biasa para calon orang tua memasuki ruang serbaguna yang sudah dipenuhi oleh kami anak-anak panti yang menunggu untuk dibawa oleh salah satu dari mereka agar kehidupan kami kedepannya lebih baik. Tapi itu tidak bagi diriku.
Rasanya akan sangat asing jika hal itu harus terjadi. Aku merasa lebih nyaman tinggal di sini.
Tapi ada salah satu pasangan yang menatapku dengan pandangan yang berbeda dari para calon orang tua lainnya.
Apa yang salah dengan diriku?
Ataukah?
Next.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar kamu disini!👇✌️😁