Official Blog of Nugi Nugraha || Member of Google Corp & Blogger - Since 2011 || Copyrights 2011 - 2024 by Personal Blog & Google

Kamis, 11 Agustus 2022

Selepas Senja (Part 5)




Pada akhirnya aku sadar bahwa cinta sejati itu bukan tentang perasaan saling mencintai dan menyayangi antara satu sama lain, tapi bisa hanya satu arah tanpa perlu alasan apalagi mengharap balasan. 
Cahaya Senja yang merubah cara pandangku terhadap kehidupan dan membantuku untuk menjadi pribadi yang lebih baik. 

(POV: Penulis)

***

Selepas Sennja (5)

POV: Senja

Setelah kepergian mereka hidupku terasa hampa. Kesedihan yang semakin hari semakin mendalam, karena Ibu yang sudah pergi untuk selamanya. Kekecewaanku juga semakin menjadi, Ayah yang seharusnya menjaga kami malah sebaliknya dan meninggalkanku sendirian. 
Ini bukan kasalahan orang lain, tapi ini adalah kesalahanku. Aku terlahir ke dunia ini saja sudah menjadi sebuah kekeliruan.
Andai saja saat masih dalam kandungan aku sudah mampu berbicara, mungkin aku akan berkata kepada mereka agar tidak menunggu kelahiranku. Aku akan rela untuk tidak sampai menghirup udara di dunia ini. 
Bertahun-tahun mereka harus memperjuangkanku, bahkan sejak sebelum aku terlahir pun sudah banyak mengecewakan orang lain. Bukan hanya Ayah dan Ibu, tapi orang-orang yang tidak pernah aku kenal sekalipun. 

Aku memang sedih karena kepergian Ibu 
, aku juga kecewa kepada Ayah yang berbuat seperti itu, tapi aku lebih sedih dan kecewa kepada diriku sendiri karena semua ini memang terjadi karena kehadiranku. 

...

Tinggal di panti asuhan sedikit mengalihkan pandangan betapa buruknya diriku, mungkin di sini aku bisa bertemu dan saling mengenal orang-orang yang nasibnya kurang lebih sama sepertiku. Ada yang sejak lahir sudah tidak mempunyai orang tua, memiliki keluarga tapi tidak dipedulikan, karena keadaan ekonomi, termasuk anak-anak yang sama persis sepertiku. Mungkin lebih ke sepenanggungan, itulah yang membuat aku merasa sedikit nyaman saat berada di sini. 

Saat aku duduk dan sedikit berpikir tentang masa depanku, ada sepasang suami istri yang memperhatikanku. 

Ketika acara selesai, aku dipanggil ke kantor panti untuk dipertemukan dengan seseorang. 
Ketika memasuki ruangan, tenyata orang itu adalah yang memperhatikanku sejak acara tadi. Dia mengenalkan dirinya, namanya Dr Rahadi. Yang ikut bersama dia bukanlah istrinya, melainkan adik dari Dr Rahadi itu sendiri.

Kurang lebih 30 menit kami mengobrol. Lebih tepatnya aku yang diajak mengobrol karena tidak ada yang aku tanyakan kepadanya. 
Dia bercerita bahwa istri dan kedua anaknya meninggal dalam sebuah kecelakaan yang dia sebabkan. Itu satu setengah tahun yang lalu, tepat dengan keberadaanku di panti asuhan ini. 

Rasanya cukup asing jika harus mengobrol dengan orang yang tidak pernah aku kenal sebelumnya.
Seperti ada penghalang di antara kami. 

Kemudian dia pamit pulang dan berjanji akan mengunjungiku lagi Minggu depan. 

Aku ditanya perihal Dr Rahadi oleh petugas panti, tapi aku tidak menjawab sepatah kata pun. Karena di dalam pikiranku tidak ada yang membuatku terkesan, apalagi ada rasa ingin bertemu dengannya lagi.

...

Seminggu kemudian.

Ketika aku bermain bersama teman-teman di halaman panti, datang sebuah mobil mewah yang dikendarai oleh orang yang menemuiku Minggu lalu. Ya, dia adalah Dr Rahadi. 
Dia menghampiriku dan memberikan beberapa bungkus makanan untuk aku dan teman-teman yang lain. Ada juga tas belanja yang isinya pakaian bagus dan terlihat mahal. 
Untuk apa ini semua? 
Agar aku terkesan dan mau ikut tinggal bersamanya? 
Rasanya itu akan percuma. Karena aku sama sekali tidak tertarik dengan apa yang dia lakukan. Itu akan sia-sia. Karena bukan itu yang aku inginkan. 

Setelah menanyakan kabar dan sedikit berbincang, dia pun masuk ke kantor panti untuk bertemu petugas. 
Tapi tidak berlangsung lama, beberapa menit kemudian dia segera bergegas dan memasuki mobilnya kembali. Sebelum mobilnya berlalu dia membuka jendela dan melambaikan tangan ke arahku. 

Bukan barang-barang atau hadiah mahal yang aku inginkan, datanglah lagi jika kamu menemukan apa yang aku butuhkan.


Selepas Senja (Part 4)



Senja adalah waktu terindah yang aku syukuri. Kehadirannya membuat luka, pedih dan rasa sakit dalam jiwaku memudar. 
Tidak ada kata yang bisa dipaksa, langkah kaki seakan terarah tanpa sengaja, penglihatanku menjadi jelas tanpa berbayang, bersama senja hidupku terasa lebih berarti. 

(POV: Penulis)

***

Selepas Senja (4)

POV: Rangga

Setelah kelahiran Senja, kami tinggal di sebuah rumah kontrakan yang sangat jauh dari keluarga kami. Bukan ingin menjauhkan atau mengasingkan diri, tapi menjaga agar keluarga kami tidak perlu lagi menanggung malu karena perbuatan yang sudah kami lakukan.
Memulai kehidupan baru bersama keluarga kecilku, Anggun sudah menjadi istriku, Senja adalah hal istimewa yang merubah kehidupan kami berdua. 
Anggun belajar merawat Senja dengan baik, aku lebih fokus mencari pekerjaan untuk menghidupi keluarga kecil kami. 
Tidak ada lagi uang jajan harian, tidak ada lagi motor bagus, tidak ada lagi tempat tidur yang nyaman, pakaian juga seadanya. 
Untuk modal awal aku menjual motor kesayangakku. 
Setelah beberapa Minggu mencari pekerjaan, aku mendapat kesempatan untuk bekerja di sebuah toko bangunan. 
Pada awalnya sangat membuat tubuhku tidak karuan, mungkin memang pertama kali, tapi lama kelamaan menjadi terbiasa. 
Lelah karena bekerja seharian, tapi saat pulang ke rumah bertemu dengan Anggun dan terutama Senja semua itu hilang. 

Keluarga kami jauh dari yang namanya berkecukupan, wajar saja karena aku hanya bekerja di toko bangunan, tanpa adanya bantuan dari keluarga kami, kami hidup dengan apa yang mssih kami miliki, tapi kami merasa bahagia. Kami belajar bersyukur atas apa yang sudah kami miliki. Apalagi kehadiran Senja membuat hari-hari kami semakin bertambah bahagia. 

Masih ingat saat Senja belajar berbicara dan pertama kalinya memanggilku "Ayah". Tidak bisa digambarkan betapa bahagianya saat itu. 

Saat memasuki usia sepuluh bulan, Senja sudah bisa berjalan, pintar bicara, tawa tanpa alasan menjadikan rumah kami semakin dipenuhi keceriaan.
Satu tahun berlalu.
Kami merayakan ulang tahunnya hanya dengan kue kecil yang dihiasi gambar Angry Bird kesukaan Senja, lilin merah dengan angka 1. Kami mengundang anak-anak kecil di sekitar rumah. Cukup meriah kala itu. Meskipun tidak mewah tapi bisa membuat Senja senang. 

Masih ingat juga saat kami mengantarnya berangkat ke sekolah untuk pertama kali. 
Wajah polosnya yang berteriak tidak ingin jauh dari kami. Kami berdua melambaikan tangan dari luar gerbang sekolah mengisyaratkan bahwa, "Kamu bisa, Nak! Kamu bisa lebih baik dari kami, masa depanmu akan bahagia". 

Senja tumbuh menjadi anak yang baik dan pintar, dia sangat mengerti dengan keadaan keluarga kami. Tidak pernah rewel jika ada sesuatu yang dia inginkan. Sabar saat meminta apa yang dia mau. 

Enam tahun berlalu. 
Rasanya waktu terlalu cepat beranjak. 
Usia pernikahan kami sudah 12 tahun. 12 tahun pula kami sudah bersama. Melewati banyak kesedihan dan kebahagiaan.
Aku lupa bahwa kebahagiaan itu akan kembali memudar bahkan akan tergantikan oleh sesuatu yang tidak pernah diduga sebelumnya. Aku lupa kalau aku pernah mengalami hal seperti itu.

Suatu pagi aku mendapati pesan mesra antara Anggun dengan seorang pria. Dan yang lebih buruknya, pria itu adalah teman kami sewaktu sekolah dulu. Ini bukan pertama kalinya Anggun seperti itu. Tapi aku mencoba memaafkan dan memakluminya berkali-kali.
Mungkin setelah hidup bersamaku kehidupan Anggun terbatas, terutama pergaulannya. Harus mengurus Senja setiap hari, membantu perekonomian keluarga, apalagi penghasilanku yang tidak seberapa. 
Tapi apapun keadaannya, dia sudah berselingkuh dan mengkhianati keluarga kami. 
Semuanya menjadi membesar saat hal-hal yang tidak pernah terungkap dan tersampaikan menambah pertengkaran kami. 
Apalagi dia berkata bahwa aku sudah membawanya ke kehidupan yang menyedihkan ini. 
Saat itu aku hilang kontrol.
Anggun bersimbah darah dan tidak lagi bernapas. 
Aku panik dan...

Dan sekarang aku berada di sebuah kota yang sangat jauh dari tempat tinggalku. Meninggalkan Senja dan semua kehidupanku sebelumnya. 
Aku berlari dari apa yang harus aku pertanggung jawabkan. 

Aku tahu Senja tidak akan pernah memaafkanku, aku menghilangkan nyawa Ibunya dan membiarkannya hidup sendirian di usianta yang masih muda. 

Maafkan Ayah, Senja.

Next.


Rabu, 10 Agustus 2022

Selepas Senja (Part 3)



Mungkin dia bukan yang seharusnya aku temukan, tapi dia adalah orang yang seharusnya tidak pernah aku lupakan. 
Karena secara tidak langsung dia menyelamatkan hidupku. 

(POV Penulis)

...

Selepas Senja (3)

POV: Rahadi

Mungkin banyak orang yang sejak lahir sudah jelas dengan masa depannya, tidak perlu lagi memikirkan tentang ekonomi atau masalah keluarga lainnya.
Aku tidak pernah bertemu dengan orang yang sekecewa itu dalam hidupnya. Aku juga tidak pernah bertemu dengan orang yang bertahun-tahun menyalahkan dirinya terus menerus. Tapi dia bukan orang dewasa, dia hanyalah seorang anak. 

Hidupku dipenuhi dengan banyak penyesalan dan rasa bersalah, tapi setelah aku bertemu dengan anak itu aku merasa bahwa aku harus menghapus semua itu dari diriku, dari hidupku.
Agar dia tahu dan melihat bahwa hidup ini bukan hanya tentang kekecewaan, karena masih banyak tentang kebahagiaan.

...

Rahadi Sucipto
Namaku sangat tersohor dikalangan para Dokter. Spesialis nefrologi adalah keahlianku. 
Latar belakang keluargaku sangat lekat dengan dunia pendidikan. Tidak akan heran jika aku dan semua orang disekitarku juga demikian. 

...

Setelah lulus kuliah kedokteran dan mulai membuka praktik juga menjadi Dokter spesialis di sebuah rumah sakit, tiba saatnya aku menikahi perempuan yang sudah lama aku cintai. 
Pernikahan kami begitu bahagia. Lima tahun berjalan dipenuhi dengan berbagai anugerah yang terus tanpa henti. Kami mempunyai 2 anak yang sudah berumur 4 dan 2 tahun. Keduanya laki-laki. 
Aku sangat menyayangi mereka, seperti tidak ada lagi yang patut aku sayangi di dunia ini selain keluargaku. 
Tidak pernah ada pertengkaran yang berarti, anak-anak kami sehat dan sudah terlihat pintar sejak dini. Mungkin keluargaku adalah anugerah terindah yang pernah ada. 
Tapi semua itu tidak berlangsung lama. 

...

Suatu ketika saat hari raya tiba, kami sekeluarga mau mengunjungi sanak saudara di sebuah kota yang hanya berjarak 3 jam saja.
Pagi itu seperti tidak ada firasat buruk apapun, semua perlengkapan dan persiapan sudah selesai.
Dengan menggunakan mobil, kami sekeluarga mulai bergegas berangkat, takut keburu macet kami pikir. 
Beberapa menit berlalu kami memasuki jalan tol yang cukup lengang. 
Kami mengobrol dan bercanda seperti biasa, sesekali si bungsu bernyanyi "Naik Naik Ke Puncak Gunung", kebetulan keluarga kami rumahnya dikawasan pegunungan.
Akan sangat menyenangkan meninggalkan hiruk pikuk perkotaan meksipun hanya sesaat. 
Di tengah perjalanan, si kecil merengek ingin ke toilet. Dengan sabar istriku menenangkannya dan berkata sebentar lagi Ayah akan menepi ke rest area. 
Aku pun mulai menginjak gas dan menaikkan kecepatnn. 
Tapi aku tidak tahu lagi apa yang terjadi.
Sampai......

...

Saat aku terbangun ternyata sudah berada di rumah sakit dengan selang infus di tangan kiri juga perban di kepala dan kaki. Beberapa bagian tubuhku juga sangat terasa sakit. 
Pikiran terburukku adalah yang tidak ingin aku dengar, tapi semakin aku menghindari pikiran itu semakin terasa nyata saat ada petugas yang menyampaikan bahwa seluruh anggota keluargaku meninggal di tempat. 
Ya, istri dan kedua anakku meninggal karena kecelakaan yang aku sebabkan. 
Seketika aku kembali tak sadarkan diri 

...

Setelah satu tahun aku dipenjara atas kelalaian yang aku lakukan hingga menyebabkan keluargaku meninggal, kini aku mulai menata hidupku kembali. Meskipun tidak mudah, tapi hidupku harus tetap berjalan tanpa mereka yang selama ini sudah menjadi penyemangat dalam hidupku, dalam hari-hariku. 

Selain rasa penyesalan yang aku temui, aku juga menyimpan rasa bersalah yang sangat mendalam. Andai saja waktu itu aku tidak menaikkan kecepatan mobil, mungkin anak bungsuku hanya akan menangis atau hanya mengotori mobil saja. 

...

Aku memutuskan untuk pindah rumah dan meninggalkan semua kenangan. Kini aku tinggal di sebuah kota yang tidak terlalu jauh dari rumah anggota keluargaku yang lainnya.

Tapi tetap saja setiap hari rasa sesal dan rasa bersalah itu ada hingga terus menerus menghantuiku. Membuat semuanya tidak fokus lagi, hidupku sedikit berantakan. Minuman keras adalah pelarianku. 
Hingga akhirnya ada adikku yang dengan sabarnya mengingatkan bahwa hidup ini bukan hanya tentang penyesalan. 
Disela-sela kesibukkanku, dia mengajakku untuk mengunjungi panti asuhan yang dikelola oleh sahabatnya. Di sana, katanya aku bisa bertemu dengan anak-anak dengan latar dan permasalah yang berbeda pula. 
Mungkin bisa mengalihkan apa yang sudah terjadi dalam kehidupanku belakangan ini. 

Pagi itu aku tidak bekerja seperti biasanya. Aku bersama adikku berangkat ke sebuah panti asuhan yang tidak terlalu jauh dari rumah. 
Bertemu dengan banyak pasangan yang sepertinya sangat antusias seperti akan menghadiri sebuah pesta yang meriah. Aku tidak terlalu paham karena ini pertama kalinya aku ke sini. Dan lebih buruknya lagi aku tidak tahu acara apa yang sedang berlangsung. 

Ketika aku memasuki ruangan itu, aku melihat banyak mata yang berbinar memancarkan cahaya harapan. 
Tapi dari sekian banyak anak yang terlihat ceria, terlihat seorang anak yang tertunduk dan seolah tidak mempedulikan apa yang terjadi di sekitarnya. Aku dan adikku mulai memperhatikannya. Terlihat apa yang terpendam di dalam sana. Meskipun tersimpan rapat tanpa ucap, tapi aku bisa melihat dari raut wajah yang mulai memperhatikan kami yang sedari tadi tanpa berkedip. 
Kami saling bertatap.

Nama anak itu adalah Senja Sadewa. 

Next.


Selepas Senja (Part 2)



Hidup bukan hanya tentang membenci keadaan dan kenyataan, hidup harus disertai dengan banyak bersyukur dan berterima kasih dengan adanya takdir, sekalipun tidak pernah kita inginkan, tapi yang terjadi dalam kehidupan kita saat ini adalah yang terbaik untuk diri kita. (POV penulis)

...

Selepas Sanja (2)

POV: Senja

Aku tidak terlalu mengerti apa yang mereka rasakan pada saat itu, aku hanya mendengar dari orang-orang di sekitarku saja. 
Sekarang aku sudah berumur 12 tahun. Setahun lagi aku akan mengganti seragam putih merah ini dengan warna putih dan biru dongker. 
Rasanya baru kemarin orang tuaku mengajarkanku untuk berdiri dan memapahku di sudut tembok ruang tamu. 
Mengantarku untuk pertama kalinya pergi ke sekolah. 
Melihat Ayah yang setiap pagi pergi bekerja dan pulang hingga larut malam, Ibu juga membantu perekonomian keluarga kami dengan berjualan di depan rumah. 
Kami tidak berada dalam posisi menjadi keluarga yang berkecukupan, tapi mereka mengajarkanku agar tetap bersyukur dengan apa yang sudah kami dapat. Masih banyak orang di luar sana yang hidupnya lebih serba kekurangan dibanding kami. 
Jadi, apapun yang kami miliki saat ini harus tetap kami syukuri.

Selama aku hidup 12 tahun, belum pernah sekalipun bertemu dengan Kakek dan Nenek dari Ayah maupun Ibu, begitu pun keluarga yang lainnya.
Aku pernah beberapa kali bertanya kepada mereka, tapi jawaban mereka tetap saja sama, bahwa Kakek dan Nenek sudah meninggal dan mereka tidak memiliki anggota keluarga yang lain. 

...

Suatu pagi ketika aku bersiap untuk pergi ke sekolah, terdengar suara keributan dari kamar Ayah dan Ibu. Tapi itu sudah biasa bagiku. Tanpa berpikir panjang, aku pun pergi ke sekolah seperti biasanya.
Jarak dari rumah ke sekolahku tidak terlalu jauh, dengan sekali naik angkot sekitar 5 menit saja sudah sampai. 
Tapi ketika aku baru memasuki ruang kelas, ada yang memanggil namaku. Itu bukan suara teman-temanku, bukan pula suara guruku. Ketika aku menoleh ke belakang, ternyata itu adalah salah satu tetangga rumahku. 
Dia mengajakku untuk kembali pulang ke rumah. 
Dengan badan gemetar dan hati yang tidak keruan, aku mengikutinya dengan memakai sepeda motor, beberapa saat kemudian aku sampai di rumah. 
Selain banyak orang yang berkerumun, ada juga beberapa polisi yang berdatangan. 

Ibuku dinyatakan meninggal. 
Banyak luka di sekujur tubuhnya, kepalanya banyak mengeluarkan darah. 
Aku tidak bisa bergerak apalagi mendekat untuk memeluk Ibu yang terakhir kalinya. Aku tidak sanggup. 
Sedangkan Ayah entah pergi ke mana. Tidak ada yang bisa menemukannya. 

Kenapa? 
Kenapa semua ini harus terjadi kepada diriku? 
Apa salahku? 
Aku hanya anak yang belum mengerti apapun tapi malah harus dihadapkan dengan kenyataan bahwa ini memang terjadi dengan kehidupanku.
Aku merasa ini terlalu cepat untuk aku alami. Aku merasa belum cukup siap untuk menjalani kehidupan yang seperti ini.

...

Setelah kepergian Ibu dan tanpa kabar dari Ayah yang entah berada di mana saat ini, aku terpaksa harus tinggal di sebuah panti asuhan.
Karena aku tidak tahu keberadaan keluarga dari Ayah ataupun Ibu. 

Setahun berlalu, aku pun masuk SMP. 
Kehidupan di panti asuhan cukup baik dan lumayan menyenangkan, mungkin karena kami di sini anak-anak yang mempunyai nasib yang hampir sama.

Beberapa bulan berjalan.
Setiap enam bulan, di panti asuhan tempatku tinggal selalu ada calon orang tua yang akan mengadopsi para anak asuh. 
Ini kali ketiga bagiku. 
Seperti biasa para calon orang tua memasuki ruang serbaguna yang sudah dipenuhi oleh kami anak-anak panti yang menunggu untuk dibawa oleh salah satu dari mereka agar kehidupan kami kedepannya lebih baik. Tapi itu tidak bagi diriku.
Rasanya akan sangat asing jika hal itu harus terjadi. Aku merasa lebih nyaman tinggal di sini. 

Tapi ada salah satu pasangan yang menatapku dengan pandangan yang berbeda dari para calon orang tua lainnya. 
Apa yang salah dengan diriku? 
Ataukah?

Next.


Selepas Senja (Part 1)



Kutatap cermin dengan pasti, melihat diri ini yang semakin hari semakin tidak lagi bisa dimengerti. Pikiranku melayang seperti bermimpi, tapi ini adalah takdir yang harus aku terima dengan pasti. 
Aku disadarkan oleh kenyataan yang begitu pahit, tidak ada lagi senja yang bercahaya indah, aku sedang berada di Selepas Senja menuju gelapnya malam tanpa bulan dan bintang. Berharap akan bertemu dengan mentari pun tak pernah terlintas dalam benakku. 

(POV penulis)


***

Selepas Sanja (1)

***

POV: Rangga

Anak adalah anugerah terindah yang dikaruniakan oleh Sang Maha Pencipta. Tidak ada tapi ataupun alasan lain kenapa dia terlahir ke dunia ini, entah itu direncakan atau diinginkan dan terkadang tidak pernah diharapkan. 
Anak tetaplah sebuah keajaiban bagi para orang tua yang menjadi perantara. Tuhan mempercayakannya hanya kepada orang-orang yang terpilih, tidak ada celah untuk menolak atau menghindar. 

Aku adalah anak satu-satunya dari orang tua yang serba berkecukupan bahkan melebihi cukup. Namaku Rangga, Rangga Sadewa nama lengkapku yang diberikan oleh mereka. 
Ayahku, dia orang yang penyayang dan sangat perhatian. Dia juga pekerja keras, prinsip dalam hidupnya adalah bekerja keras untuk mendapatkan sesuatu yang orang lain mustahil untuk dapatkan. Wajar saja jika keluarga kami diwarnai dengan serba-serbi kemewahan. Ibuku sudah meninggal sejak aku berusia 3 tahun. Tidak terlalu merasa sedih karena beberapa bulan setelahnya Ayah menikah lagi dengan adik dari Ibuku. Tidak terlalu mengerti tentang pernikahan kala itu, yang jelas aku bahagia meskipun tidak lagi ada seorang Ibu yang melahirkanku. 
Aku bukanlah anak yang manja, tapi Ayah selalu memanjakanku. Apapun yang aku mau pasti dia berikan. Sekalipun dengan harga yang sangat mahal. Uang bukan masalah besar bagi keluarga kami. Usaha Ayah yang sukses menjadikan semuanya serba mudah untuk kami dapatkan. Rumah yang besar, kendaraan dengan berbagai macam tipe, investasi di mana-mana, liburan ke luar negeri sudah menjadi agenda wajib bagi kami. 

Kehidupanku sangat sempurna, sekolah di SMA favorit, teman-teman yang banyak, pergaulanku juga sangat luas, tidak ada orang yang tidak mengenalku. Tentu saja semua karena Ayahku. 
Saat itu aku baru mengenal yang namanya cinta, dan ternyata cinta bukan hanya sekedar kata, harus ada yang namanya pembuktian dan pengorbanan. Perempuan itu bernama Anggun. Dia adalah perempuan pertama yang aku pacari. Menjadi sebuah kebanggaan juga ketika aku bisa memacarinya, karena Anggun adalah perempuan idaman semua siswa di sekolahku. Tapi Anggun tidak se-anggun namanya, karena aku bukanlah yang pertama baginya.
Pergaulan yang bebas dan kesempatan untuk melebihi batas pacaran anak remaja pada umumnya, aku tidak lagi bisa mengontrol semuanya. Cinta bukan lagi sekedar kata. 

Tujuh bulan berlalu begitu cepat. 
Sesuatu telah terjadi dalam kehidupanku yang mungkin akan merubah hidupku selamanya. 
Anggun hamil. 
Kami menutupi semuanya berbulan-bulan dari teman apalagi dari keluarga kami. 
Kami begitu bingung dan tidak tahu harus berbuat apa, tidak mungkin kami menghilangkan nyawa yang tidak berdosa. Ya, dia tidak berdosa, kami yang berbuat yang sangat berdosa. 
Selain dihadapkan dengan kehamilan Anggun yang beberapa bulan lagi akan melahirkan, kami berdua juga harus mempersiapkan diri untuk ujian akhir sekolah kami. 
Rasanya ingin mati saja saat itu. Aku tidak tau harus melakukan apa, aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika kemungkinan terburuk dalam hidup kami benar-benar terjadi. 
Dalam bayangan kami, hasil ujian gagal, keluarga kami tidak menerima kami lagi, menanggung malu yang sangat luar biasa dan harus mengurus anak di usia kami yang nyatanya kita berdua saja masih harus diurus oleh orang tua kami. 

Setelah berpikir keras, pilihan terbaik adalah aku harus bercerita kepada Ayah. 
Lagi pula dia menyayangiku, dia pasti akan menerima keadaanku. 
Tapi ternyata bukan hanya penolakan yang aku terima, selain kekecewaan yang Ayah rasakan, Ayahku juga pergi untuk selamanya. Dia meninggal karena serangan jantung setelah mendengar kejujuranku. 
Hidupku sangat hancur, tidak ada lagi yang tersisa dalam diriku. Bahkan Ibu tiri yang sudah aku anggap seperti Ibu kandungku saja pergi bersama harta benda yang Ayah tinggalkan. 

Tiba saatnya Anggun melahirkan. 
Di sebuah sudut klinik bersalin yang sangat murah kami menyambut anak laki-laki kami. Tangis pertamanya memecah gemuruh sore disertai cahaya senja dari kaca jendela. Semua orang yang mendengar mengucap syukur, begitu pun kami. Saling menatap dan berjanji untuk tetap menjaga dan menyayangi anak kami. 
Anak itu kami beri nama Senja Sadewa.

Semoga setelah adanya Senja, kehidupan kami akan kembali bahagia. 
Seperti senja yang meninggalkan siang menuju malam untuk hari esok yang lebih terang.

Next.