Kehidupan Angga di kavling itu terlihat baik-baik saja. Dia sudah cukup pandai bermain dengan kondisinya saat ini. Identitas baru, pekerjaan baru, tetangga baru dan cerita-cerita baru yang Angga tulis di setiap waktu demi memenuhi kebutuhan hidupnya.
Tapi pada kenyataannya hidup Angga tidaklah benar-benar lebih baik dari para tetangganya. Dia hanya pintar menutupinya. Apalagi setelah perpisahan bersama anaknya. Kini Angga menjadi sosok yang sangat rapuh dan begitu menderita secara batin. Kesehariannya hanya diisi dengan membaca dan menulis. Sesekali dia memandangi HP-nya sambil melihat foto-foto anaknya. Azriel yang kini sudah entah bagaimana kehidupannya bersama keluarga baru ibunya.
Sesekali Angga mengirim pesan kepada anaknya yang tidak pernah ada keterangan sudah dibaca sama sekali.
"Nak, bagaimana jika nanti aku tidak mampu menyayangimu seperti yang kamu harapkan? Bagaimana jika cintaku hanya begini-begini saja? Meskipun kamu selalu berkata tidak apa-apa selama aku selalu berusaha. Tapi bagaimana jika usahaku pun tidak pernah cukup untukmu, Nak?
Aku bangga menjadi bagian dari hidupmu. Sebagai orang yang pernah mencurahkan segalanya untukmu, mungkin rasa sayangku begitu dalam, tapi selama ini aku belum mampu membuat dirimu bangga, meski sebenarnya sungguh aku sedang berusaha.
Nak, jika pada akhirnya aku tidak pernah bisa menjadi orang yang kamu bayangkan, bolehkah aku tetap menjadi Ayahmu? Selamanya?" - Masih tetap dengan ceklis satu.
**
Rumah nomor 9D.
Lagi, Angga mengetahui cerita itu dari tetangga yang lain. Kali ini bukan dari Fajar yang tinggal di rumah nomor 14D, tapi dari Bu Arum seorang pensiunan yang tinggal di rumah nomor 5D yang hanya tinggal seorang diri.
Entah karena sudah lebih dulu tinggal di kavling itu atau memang Bu Arum orangnya yang sangat social butterfly saja. Karena hampir setiap ada kesempatan bertemu dengan Angga, info-info akuratnya sangat bisa diandalkan untuk menjadi fakta tanpa pribahasa.
Rumah nomor 9D dihuni oleh sepasang suami istri dengan satu orang anak. Mereka adalah Mita dan Basri.
Mita dengan latar belakang dari keluarga yang cukup berada. Kedua orang tuanya adalah dokter di sebuah rumah sakit. Wajar saja jika Mita juga pada saat lulus SMA langsung diterima kuliah di kampus ternama dengan mengambil kedokteran juga. Kehidupan anak kuliah kedokteran yang cukup menyita banyak waktu memang sudah menjadi hal biasa dan sudah tidak aneh jika orang mengetahui betapa sibuknya masa-masa perkuliahannya. Bukan hanya membutuhkan waktu dan dedikasi yang tinggi, biaya untuk kuliah kedokteran juga tidaklah murah. Untungnya Mita kala itu memang didukung penuh oleh orang tuanya. Jadi tidak ada kendala jika itu hanya masalah biaya. Orang tua Mita sangat mendukung penuh demi harapan besar anaknya.
Tapi yang namanya masa remaja tidak akan pernah lepas dari yang namanya fase jatuh cinta. Apalagi Mita berparas cantik dan cukup pintar. Tidak sulit bagi Mita untuk mendapatkan pria idaman yang dia mau. Mempunyai pacar dengan alasan agar bisa saling mendukung dalam segi belajar menjadi sebuah alasan bagi Mita kala itu. Dia mulai berpacaran dengan sesama mahasiswa di kampusnya. Tapi yang namanya berpacaran tanpa pengawasan dari orang tuanya membawa Mita ke pilihan yang sangat jauh hingga pada akhirnya Mita pun hamil. Tapi pacarnya kala itu tidak mau bertanggung jawab dengan alasan bahwa ternyata Mita bukan hanya berhubungan dengan satu pria saja. Jadi tidak ada yang tahu pasti anak yang ada di kandungannya itu hasil dari berhubungan bersama pria yang mana.
Hidup Mita menjadi hancur. Perkuliahannya pun sudah jelas menjadi berantakan. Apalagi ketika orang tua Mita kecewa karena mengetahui anak yang dibanggakannya itu sangatlah mengecewakan dan bahkan tidak lagi mengakui Mita sebagai anaknya. Dia diabaikan begitu saja oleh keluarganya. Hingga Mita pun harus hidup mandiri dan memulai hidup baru bersama calon anak yang dikandungnya.
Mita mulai bekerja di sebuah kantor pembiayaan asuransi demi memenuhi kebutuhan hidupnya dan calon anak yang pada saat itu sudah memasuki usia 3 bulan. Perut yang semakin membesar, Mita selalu disibukkan dengan aktifitas di kantor barunya yang membuat kesehatannya terkadang menurun. Tapi di samping itu dia dekat dengan seorang pria yang sama-sama bekerja di kantor yang sama.
Namanya Basri.
Basri adalah seorang pria yang sederhana. Latar belakang keluarganya yang berbanding terbalik dengan keluarga Mita. Tapi hati Basri tidaklah sesederhana ekonominya. Dia mau menerima keadaan Mita yang sedang membutuhkan sandaran dan pelukan juga cinta. Basri berjanji untuk menerima Mita dan calon bayi yang tengah dikandungnya meskipun itu bukanlah hasil dari buah cinta mereka.
Setelah perkenalan singkat yang hanya berjalan 2 bulan saja, Basri mengenalkan Mita kepada keluarganya dengan bertujuan untuk menikahinya. Untungnya keluarga Basri mau berbesar hati untuk menerima Mita. Setelah mendapat persetujuan dari orang tua Mita, dengan hanya disaksikan oleh perwakilan salah satu dari keluarganya saja karena orang tua Mita menolak hadir di acara pernikahan Mita dan Basri yang kala itu hanya digelar di sebuah KUA secara sederhana saja pun berjalan dengan lancar.
Singkat cerita, mereka berdua pun tinggal di sebuah kontrakan yang tidak jauh dari kantor tempat mereka bekerja. Karena Mita yang usia kandungannya sudah memasuki 9 bulan, dia pun resign dan hanya tinggal di kontrakan sederhana dengan fasilitas yang sudah pasti hanya alakadarnya.
Hari yang dinanti pun tiba. Hari di mana lahirnya seorang bayi yang sudah sangat dinanti oleh Basri. Ya, hanya Basri yang sangat bahagia atas kelahiran bayi laki-laki yang diberi nama Zaki itu. Mita juga senang. Tapi dia senang bukan karena adanya Zaki. Tapi Mita senang karena tugasnya menanggung malu selama 9 bulan itu akhirnya telah usai.
Basri yang pada kenyataannya bukanlah ayah biologis dari Zaki, tapi dia mau dan mampu juga bersedia menerima kehadiran Zaki seperti anak kandungnya sendiri. Dia memperlakukan Zaki seperti belahan jiwanya. Basri menyayangi anak itu seperti dia menyayangi Mita dengan sepenuh hati.
Bukan hanya Basri, orang tua dan keluarga Basri yang lainnya pun menerima Zaki dengan senang. Bahkan saking sayangnya keluarga Basri atas adanya Zaki di keluarga mereka, orang tua Basri membelikan rumah untuk cucunya itu di sebuah perumahan sederhana yang disebut kavling.
Tapi Mita bukanlah perempuan yang mengerti apa itu terima kasih. Ketika Zaki baru berusia 90 hari pun Mita sudah kembali melamar pekerjaan di sebuah kantor yang tidak begitu jauh dari rumah mereka. Sedangkan Zaki diasuh oleh Basri yang mengorbankan pekerjaan dan memilih untuk resign hanya agar fokus merawat anak yang ayah kandungannya saja tidak tahu ada di mana.
Kini Zaki sudah berusia 6 tahun dan sebentar lagi akan mulai masuk sekolah.
Mita yang kesehariannya sibuk dengan pekerjaannya. Berangkat pagi dan baru pulang hampir tengah malam dengan alasan agar bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Basri yang mulai mencari uang tambahan dengan menjadi ojek online dengan alasan agar tetap bisa meluangkan waktunya bersama Zaki. Zaki, yang sudah Basri Anggap seperti darah dagingnya sendiri.
Bagi Basri, cinta itu tidak harus berdasarkan darah siapa yang mengalir, tapi bisa hanya dengan ketulusan tanpa pernah harus berlandaskan. Baginya, itu disebut cinta sejati yang sebenarnya.
To be continued.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar kamu disini!👇✌️😁