Official Blog of Nugi Nugraha || Member of Google Corp & Blogger - Since 2011 || Copyrights 2011 - 2025 by Personal Blog & Google

Sabtu, 08 November 2025

Kavling (Part 6)



Angga sudah belajar untuk berteman dengan sunyi, sampai dia tidak lagi peduli seandainya memang di akhir hidupnya tidak ada yang menemani.

Dan dia merasa tidak mengapa jika semua orang akan pergi, asalkan dia tidak kehilangan dirinya sendiri. Kerena baginya, manusia itu sudah terlahir sendiri dan dikubur pun akan sendiri. Lantas, kesunyian apalagi yang harus ditakutkan oleh manusia? 


Mungkin dia belum bisa tinggal bersama anaknya lagi, tapi di tengah kesendiriannya dia bisa berdamai dan menerima kekosongan itu tanpa pernah berusaha untuk menempatkan siapa pun hanya agar memenuhi rasa kosongnya. Baginya, dengan menyendiri dia bisa menemukan bagian dari dirinya yang lain.

Bagi Angga, menyendiri adalah sebuah penerimaan dan kenyamanan untuk sebuah kebahagiaan yang tidak pernah dia dapatkan sebelumnya. 


**


Rumah nomor 7D.

Rumah itu dihuni oleh sepasang suami istri beserta satu orang anak. 

Suaminya bernama Pak Yuda dengan kesehariannya hanya berleha-leha di rumah saja. Karena dia merupakan residivis atas kasus kekerasan rumah tangga dan juga pelecehan terhadap anak tirinya. Istrinya bernama Bu Alma. Dia bekerja di sebuah kantor bersama Mita yang tinggal di rumah nomor 9D. Sedangkan anaknya bernama Dini yang kini sudah duduk di kelas 1 SMA. 


**

2 tahun yang lalu. 


Setelah perceraian dengan suami pertamanya, ayah dari Dini, Bu Alma pindah ke rumah kavling yang kebetulan pada saat itu sedang dalam proses pembangunan dengan promosi yang menarik untuk dibeli. Apalagi suami pertamanya tidak memiliki keuangan sebanyak Bu Alma. Makanya dengan kepindahannya dia ke rumah kavling itu menjadi sebuah pilihan tepat untuk dirinya. Selain karena dekat dengan tempat kerjanya, rumah kavling itu juga cukup dekat dengan sekolah Dini yang kala itu masih kelas 2 SMP. 

Baru beberapa bulan kepindahan Bu Alma dan Dini ke rumah kavling itu, ada seorang pria paruh baya bernama Pak Yuda yang kebetulan mengontrak di rumah nomor 10D yang berseberangan langsung dengan rumah Bu Alma. 

Entah karena memang sudah berjodoh atau hanya gejolak asmara di antara dua orang yang sama-sama sedang kesepian, karena tidak membutuhkan waktu yang cukup lama bagi mereka untuk melangsungkan pernikahan seadanya. 

Pak Yuda pada saat itu berkerja sebagai satpam di sebuah pabrik yang memproduksi sepatu terbaik di daerah itu. Dia pernah menikah juga tapi tidak memiliki anak. 

Karena Pak Yuda dan Bu Alma sudah menjadi sepasang suami istri, akhirnya Pak Yuda pun pindah ke rumah di nomor 7D, rumah milik istri barunya itu. 


*POV Angga.

Mungkin untuk bertemu dengan seseorang yang membuat nyaman itu tidaklah sulit jika memang keduanya sama-sama sedang mencari, sama-sama sedang kesepian, sama-sama sedang saling membutuhkan, dan sama-sama saling mencintai. Tapi cinta tidak bisa dilihat akan bagaimana ujungnya. Jangankan akan bagaimana ujungnya, bagaimana alur ceritanya saja sebagai manusia yang tidak pernah tahu akan bagaimana sebuah takdir berjalan, manusia harus dibuat was-was karena sebuah keyakinan yang diambil dalam keadaan bahagia. Karena waktu yang paling tepat untuk mengambil sebuah keputusan bukan di saat manusia itu bahagia, tapi ketika manusia sedang dalam keadaan tenang bukan perang antara perasaan dan pikiran. 

Itulah yang pernah dialami oleh Angga 15 tahun yang lalu. Hingga pada akhirnya dia memilih untuk menyendiri dalam kurun waktu yang cukup lama. 


**

Bu Alma yang fokus dengan rutinitasnya sebagai karyawan di sebuah kantor yang bergerak di bidang pembiayaan. Pak Yuda juga fokus dengan pekerjaannya sebagai satpam di sebuah pabrik. Sedangkan Dini yang masih kelas 6 SD juga melakukan rutinitasnya seperti anak sekolah pada umumnya. 

Dini bukanlah anak yang sulit untuk bergaul dan berkenalan dengan teman-teman sebayanya di kavling itu. Terbukti dengan banyaknya teman Dini di lingkungan baru rumahnya. 

Oleh karena itu, Dini bisa dengan cepat menerima kehadiran Pak Yuda sebagai ayah tirinya juga. 


Bu Alma adalah sosok yang cukup perhatian terhadap anak dan suami barunya. Terbukti dengan kegiatannya yang cukup padat setiap harinya. Jam 4 subuh sudah bangun untuk menyiapkan kebutuhan anaknya pergi ke sekolah. Selain itu dia juga tidak lupa sebagai seorang istri yang harus melayani suaminya dengan sepenuh hati. Meskipun harus kembali memulai sebuah pernikahan di usia yang sudah tidak muda lagi cukup sulit bagi sebagian orang, tapi tidak berlaku bagi Bu Alma. Apalagi dia juga melihat Pak Yuda yang perhatian bukan kepada Bu Alma saja, tapi kepada Dini yang notabennya adalah anak tirinya. 


Beberapa bulan pun berlalu. 

Kehidupan sepasang suami istri itu berjalan dengan cukup baik. Tidak pernah ada permasalahan yang sulit untuk mereka selesaikan bersama. Apalagi keduanya juga tidak pernah memiliki permasalahan finansial. Mereka hidup dengan cukup rukun dan terlihat saling menyayangi satu sama lain. 

Tapi keharmonisan rumah tangga itu tidak berlangsung lama. Karena ada sebuah kejadian yang membuat pernikahan mereka menjadi goyah bahkan hampir pisah. Bukan hanya di antara keluarga mereka saja, tapi seluruh warga kavling di sana menjadi gempar karena kejadian itu sampai diliput oleh media massa dan masuk ke beberapa TV nasional juga. 


Pada suatu pagi, Bu Alma dengan rutinitasnya sebagai karyawan yang berangkat di pagi hari dan baru pulang di malam hari. Karena dia juga menjabat sebagai pimpinan cabang di kantornya. Hari itu Pak Yuda sedang mendapat jadwal shift malam. Jadi dia mendapat tugas untuk mengantar dan menjemput Dini ke sekolah. 

Entah apa yang pernah dilalui dan menjadi trauma bagi Pak Yuda, karena kejadiannya begitu cepat terjadi. 

Sepulangnya Dini dari sekolah, Pak Yuda memfokuskan matanya ke pintu kamar anak tirinya yang sedikit terbuka. Entah setan apa yang kala itu merasuki jiwa Pak Yuda, hingga pada akhirnya dia melecehkan dan melakukan kekerasan fisik kepada Dini. Dini pun langsung berteriak meminta tolong hingga membuat para tetangga di kavling itu pun mendatangi rumahnya. 

Kejadian itu menjadi viral dan disaksikan oleh banyak pasang mata. Apalagi diperkuat dengan pengakuan dari Dini yang membuat kejadian itu menjadi sebuah kasus yang berujung Pak Yuda dibawa oleh kepolisian. 

Atas kejadian itu, bukan hanya Dini yang merasa disakiti. Tapi ada Bu Alma sebagai istri Pak Yuda itu sendiri. Bukan hanya Bu Alma, tapi ada ayahnya Dini yang menuntut agar Pak Yuda dihukum seberat-beratnya. 

Tapi hukuman yang diterima Pak Yuda tidak seberat itu. Karena Bu Alma menggunakan kekuatan finansialnya untuk melobi para petugas dan memilih untuk menitipkan Dini kepada mantan suaminya hanya agar dia dan Pak Yuda bisa segera bersama lagi. 


**


Setelah kejadian itu mereka berdua hanya terlihat batang hidungnya sesekali saja. Sedangkan Dini hanya datang sesekali untuk bertemu dengan ibunya dikala ayah tirinya sedang tidak ada di rumah. 

**


Kadang rasa cinta yang buta membuat manusia lupa bahwa dia sudah rela mengorbankan banyak perasaan hingga membuat kekecewaan bagi orang di sekitarnya. Padahal pada kenyataannya tidak ada cinta yang abadi. Kata-kata dan kalimat cinta di sebuah puisi dan lagu itu hanya untaian tanpa kepastian. 

Sama halnya dengan Bu Alma yang malah memilih suami barunya yang sudah jelas telah menyakiti perasaan dan mental anaknya sendiri hanya untuk rasa yang kapan saja semua itu akan musnah dan bahkan akan menyakiti perasaan Bu Alma sendiri. Karena ada istilah akan ada yang namanya mantan suami tapi tidak akan pernah ada yang namanya mantan anak. Tapi Bu Alma tetap tidak peduli dengan perasaan sang anak yang sudah dipenuhi oleh kekecewaan yang bahkan bukan hanya kepada ayah tirinya, tapi rasa kecewa itu kini berlalu untuk ibunya. Mungkin Dini akan memaafkannya, tapi Dini tidak akan pernah melupakannya. 


To be continued. 

Sabtu, 01 November 2025

Kavling (Part 5)



Kehidupan Angga di kavling itu terlihat baik-baik saja. Dia sudah cukup pandai bermain dengan kondisinya saat ini. Identitas baru, pekerjaan baru, tetangga baru dan cerita-cerita baru yang Angga tulis di setiap waktu demi memenuhi kebutuhan hidupnya. 

Tapi pada kenyataannya hidup Angga tidaklah benar-benar lebih baik dari para tetangganya. Dia hanya pintar menutupinya. Apalagi setelah perpisahan bersama anaknya. Kini Angga menjadi sosok yang sangat rapuh dan begitu menderita secara batin. Kesehariannya hanya diisi dengan membaca dan menulis. Sesekali dia memandangi HP-nya sambil melihat foto-foto anaknya. Azriel yang kini sudah entah bagaimana kehidupannya bersama keluarga baru ibunya. 

Sesekali Angga mengirim pesan kepada anaknya yang tidak pernah ada keterangan sudah dibaca sama sekali. 

"Nak, bagaimana jika nanti aku tidak mampu menyayangimu seperti yang kamu harapkan? Bagaimana jika cintaku hanya begini-begini saja? Meskipun kamu selalu berkata tidak apa-apa selama aku selalu berusaha. Tapi bagaimana jika usahaku pun tidak pernah cukup untukmu, Nak?

Aku bangga menjadi bagian dari hidupmu. Sebagai orang yang pernah mencurahkan segalanya untukmu, mungkin rasa sayangku begitu dalam, tapi selama ini aku belum mampu membuat dirimu bangga, meski sebenarnya sungguh aku sedang berusaha.

Nak, jika pada akhirnya aku tidak pernah bisa menjadi orang yang kamu bayangkan, bolehkah aku tetap menjadi Ayahmu? Selamanya?" - Masih tetap dengan ceklis satu. 


**

Rumah nomor 9D. 


Lagi, Angga mengetahui cerita itu dari tetangga yang lain. Kali ini bukan dari Fajar yang tinggal di rumah nomor 14D, tapi dari Bu Arum seorang pensiunan yang tinggal di rumah nomor 5D yang hanya tinggal seorang diri.

Entah karena sudah lebih dulu tinggal di kavling itu atau memang Bu Arum orangnya yang sangat social butterfly saja. Karena hampir setiap ada kesempatan bertemu dengan Angga, info-info akuratnya sangat bisa diandalkan untuk menjadi fakta tanpa pribahasa. 

Rumah nomor 9D dihuni oleh sepasang suami istri dengan satu orang anak. Mereka adalah Mita dan Basri.

Mita dengan latar belakang dari keluarga yang cukup berada. Kedua orang tuanya adalah dokter di sebuah rumah sakit. Wajar saja jika Mita juga pada saat lulus SMA langsung diterima kuliah di kampus ternama dengan mengambil kedokteran juga. Kehidupan anak kuliah kedokteran yang cukup menyita banyak waktu memang sudah menjadi hal biasa dan sudah tidak aneh jika orang mengetahui betapa sibuknya masa-masa perkuliahannya. Bukan hanya membutuhkan waktu dan dedikasi yang tinggi, biaya untuk kuliah kedokteran juga tidaklah murah. Untungnya Mita kala itu memang didukung penuh oleh orang tuanya. Jadi tidak ada kendala jika itu hanya masalah biaya. Orang tua Mita sangat mendukung penuh demi harapan besar anaknya. 

Tapi yang namanya masa remaja tidak akan pernah lepas dari yang namanya fase jatuh cinta. Apalagi Mita berparas cantik dan cukup pintar. Tidak sulit bagi Mita untuk mendapatkan pria idaman yang dia mau. Mempunyai pacar dengan alasan agar bisa saling mendukung dalam segi belajar menjadi sebuah alasan bagi Mita kala itu. Dia mulai berpacaran dengan sesama mahasiswa di kampusnya. Tapi yang namanya berpacaran tanpa pengawasan dari orang tuanya membawa Mita ke pilihan yang sangat jauh hingga pada akhirnya Mita pun hamil. Tapi pacarnya kala itu tidak mau bertanggung jawab dengan alasan bahwa ternyata Mita bukan hanya berhubungan dengan satu pria saja. Jadi tidak ada yang tahu pasti anak yang ada di kandungannya itu hasil dari berhubungan bersama pria yang mana. 


Hidup Mita menjadi hancur. Perkuliahannya pun sudah jelas menjadi berantakan. Apalagi ketika orang tua Mita kecewa karena mengetahui anak yang dibanggakannya itu sangatlah mengecewakan dan bahkan tidak lagi mengakui Mita sebagai anaknya. Dia diabaikan begitu saja oleh keluarganya. Hingga Mita pun harus hidup mandiri dan memulai hidup baru bersama calon anak yang dikandungnya. 

Mita mulai bekerja di sebuah kantor pembiayaan asuransi demi memenuhi kebutuhan hidupnya dan calon anak yang pada saat itu sudah memasuki usia 3 bulan. Perut yang semakin membesar, Mita selalu disibukkan dengan aktifitas di kantor barunya yang membuat kesehatannya terkadang menurun. Tapi di samping itu dia dekat dengan seorang pria yang sama-sama bekerja di kantor yang sama. 

Namanya Basri.

Basri adalah seorang pria yang sederhana. Latar belakang keluarganya yang berbanding terbalik dengan keluarga Mita. Tapi hati Basri tidaklah sesederhana ekonominya. Dia mau menerima keadaan Mita yang sedang membutuhkan sandaran dan pelukan juga cinta. Basri berjanji untuk menerima Mita dan calon bayi yang tengah dikandungnya meskipun itu bukanlah hasil dari buah cinta mereka. 

Setelah perkenalan singkat yang hanya berjalan 2 bulan saja, Basri mengenalkan Mita kepada keluarganya dengan bertujuan untuk menikahinya. Untungnya keluarga Basri mau berbesar hati untuk menerima Mita. Setelah mendapat persetujuan dari orang tua Mita, dengan hanya disaksikan oleh perwakilan salah satu dari keluarganya saja karena orang tua Mita menolak hadir di acara pernikahan Mita dan Basri yang kala itu hanya digelar di sebuah KUA secara sederhana saja pun berjalan dengan lancar. 

Singkat cerita, mereka berdua pun tinggal di sebuah kontrakan yang tidak jauh dari kantor tempat mereka bekerja. Karena Mita yang usia kandungannya sudah memasuki 9 bulan, dia pun resign dan hanya tinggal di kontrakan sederhana dengan fasilitas yang sudah pasti hanya alakadarnya. 

Hari yang dinanti pun tiba. Hari di mana lahirnya seorang bayi yang sudah sangat dinanti oleh Basri. Ya, hanya Basri yang sangat bahagia atas kelahiran bayi laki-laki yang diberi nama Zaki itu. Mita juga senang. Tapi dia senang bukan karena adanya Zaki. Tapi Mita senang karena tugasnya menanggung malu selama 9 bulan itu akhirnya telah usai.


Basri yang pada kenyataannya bukanlah ayah biologis dari Zaki, tapi dia mau dan mampu juga bersedia menerima kehadiran Zaki seperti anak kandungnya sendiri. Dia memperlakukan Zaki seperti belahan jiwanya. Basri menyayangi anak itu seperti dia menyayangi Mita dengan sepenuh hati. 

Bukan hanya Basri, orang tua dan keluarga Basri yang lainnya pun menerima Zaki dengan senang. Bahkan saking sayangnya keluarga Basri atas adanya Zaki di keluarga mereka, orang tua Basri membelikan rumah untuk cucunya itu di sebuah perumahan sederhana yang disebut kavling. 

Tapi Mita bukanlah perempuan yang mengerti apa itu terima kasih. Ketika Zaki baru berusia 90 hari pun Mita sudah kembali melamar pekerjaan di sebuah kantor yang tidak begitu jauh dari rumah mereka. Sedangkan Zaki diasuh oleh Basri yang mengorbankan pekerjaan dan memilih untuk resign hanya agar fokus merawat anak yang ayah kandungannya saja tidak tahu ada di mana. 


Kini Zaki sudah berusia 6 tahun dan sebentar lagi akan mulai masuk sekolah. 

Mita yang kesehariannya sibuk dengan pekerjaannya. Berangkat pagi dan baru pulang hampir tengah malam dengan alasan agar bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Basri yang mulai mencari uang tambahan dengan menjadi ojek online dengan alasan agar tetap bisa meluangkan waktunya bersama Zaki. Zaki, yang sudah Basri Anggap seperti darah dagingnya sendiri. 

Bagi Basri, cinta itu tidak harus berdasarkan darah siapa yang mengalir, tapi bisa hanya dengan ketulusan tanpa pernah harus berlandaskan. Baginya, itu disebut cinta sejati yang sebenarnya. 


To be continued. 

Jatuh Hati (Fase 12)



Aku tidak pernah lepas dari yang namanya jatuh hati. Aku masih ingat saat pertama aku jatuh hati, namanya, tempatnya, suasananya, dan sudah pasti dengan orangnya. Bahkan ketika aku menulisnya di blog ini sekarang pun, rasanya dia seperti berdiri di hadapanku, bayangan itu seperti begitu nyata. 

Dia adalah....


Namanya begitu terkenal ketika pertama kali dia pindah ke sekolah yang sama denganku, di mana kala itu kita mulai lebih saling mengenal dan begitu intens tapi seperti hubungan "friend-hate" jika pada saat itu aku mengartikannya seperti musuh tapi kami tetap berteman. Dia yang begitu berkarisma dan disukai oleh banyak orang. Sedangkan aku yang hanya murid sekolah biasa saja. Di hadapan orang lain kita selalu terlihat seperti bermusuhan, saling berkompetisi, bahkan beberapa kali kita bermain catur untuk membuktikan siapa yang paling unggul. 

Ingatanku kembali dibawa ke masa di mana aku mempunyai rasa yang berharap tidak mau jauh darinya, menungggu untuk saling menjahili dan sesekali mencari pertengkaran di antara kami. 

Hingga pada akhirnya kita terpisahkan oleh waktu yang selalu tidak pernah berkompromi dengan egonya sendiri. Waktu yang dengan teganya mengakhiri kebersamaan sekaligus menyelesaikan rasa itu untuk aku simpan menjadi bagian dari tumpukan yang rapih hingga sekarang bersama orang-orang yang aku menyebutnya hanya sebatas jatuh hati. 

Aku selalu penasaran dengan apa yang akan terjadi jika sang waktu memberi kesempatan untukku jika bisa kembali dipertemukan dengan mereka, atau mungkin salah satunya? 

Dari sini aku melihat salah satu dari mereka sudah mempunyai kehidupan yang luar biasa seperti memegang sebuah piala, terlihat gemilang tapi hanya tampak luar. Sedangkan aku yang masih tetap terjebak bermain catur dengan hidup bersama banyak kenangan indah tapi tidak pernah berani untuk mengakhiri permainan itu hanya agar aku tetap merasa hidup dengan harapan dan keinginan juga rasa yang semestinya tidak pernah aku berikan kepada salah satu dari mereka. 

Ya, aku masih hidup karena adanya harapan demi harapan. Tapi aku juga akan mati karena harapan itu sendiri. Manusia diberi kesempatan hidup karena akan menemui kematian. Tapi hanya dengan sebuah harapan kita sebagai manusia masih berharap untuk tetap hidup yang lebih baik. Meskipun pada kenyataannya harapan itulah yang memangkas umur kita secara perlahan. Bisa dibayangkan jika kita sebagai manusia sudah tidak mempunyai harapan. Harapan panjangnya mungkin hidup di masa depan akan lebih baik. Harapan pendeknya adalah semoga hari esok bisa lebih baik. Meskipun setelah hari itu terlewati pun pada kenyataannya tidak pernah ada yang lebih baik. 


Aku memang masih mengingat kapan pertama kali aku jatuh hati, tapi aku tidak pernah tahu kapan akan jatuh hati lagi. Tapi aku juga masih mengingat kapan terakhir kali aku jatuh hati. 

Aku bertemu dengannya karena waktu. 

Dia yang melihatku seperti orang yang berbeda dari orang-orang di sekitarnya. Sedangkan aku yang melihatnya seperti orang rapuh pada umumnya. Terabaikan oleh keadaan, tersisihkan karena sebuah hubungan, terasingkan karena adanya egois dari orang-orang di sekelilingnya, dia tampak terlihat tapi tidak pernah didengar apalagi ditanya kabar. Sedangkan aku datang dengan kesederhanaan tapi mampu mengisi kekosongan yang ada di dalam sana. Keceriaan kembali memenuhi kehidupannya. Aku memang tidak bisa mengatakan kapan akan turunnya hujan, tapi aku bisa menenangkan ketika petir sudah menggema, dan aku bisa menyediakan payung jika hujan itu akan tiba pada saatnya. 

Aku seperti butiran pasir yang memenuhi bagian kosong yang hanya bisa menempati posisi di mana jika hanya ada tempat dan bagian yang kosong. Karena pasir hanya akan terbawa tiupan angin jika tidak pernah bisa berada di tempat yang tepat seperti seharusnya. Dan dia menempatkanku di bagian yang kosong itu, yaitu hatinya. 

Tapi aku selalu takut jika jatuh hatiku berubah menjadi perasaan yang lebih mendalam. Karena aku selalu menghindar agar tidak sampai ke perasaan itu. Lebih tepatnya adalah aku selalu menutup celah untuk sebuah rasa yang disebut cinta. 

Semuanya indah tidak ada yang menyakiti perasaanku. Hidupku selalu bahagia jika aku jatuh hati. Entah karena aku berada di tempat yang tepat, atau karena adanya hati yang sama-sama bahagia dengan adanya diriku di hidupnya, atau mungkin karena kita sama-sama memang menahan diri untuk tetap berjalan seperti biasanya tanpa pernah saling berani untuk saling membuka jati diri. Tapi yang pasti, aku selalu melakukan hal terbaik untuk dia yang membuatku bahagia sekalipun hanya sekadar menyapa dengan kata "hai" sambil membawa aroma berbau matahari yang terkadang sangat aku benci tapi selalu aku tunggu saat waktu itu seperti hampir setiap hari. 

Sayangnya aku bukan tipe orang yang mau menerima kenyataan ketika perhatian kecilku tidak lagi dihargai. Perhatian kecil yang dia anggap menjadi sepele seperti pasir yang bisa kapan saja dia tiup agar berlalu tanpa berharap untuk kembali. Mungkin lebih tepatnya adalah aku bisa dengan cepat membuang rasa jatuh hatiku menjadi udara tanpa hembusan hingga dia pun tidak akan pernah menyadarinya lagi. 

Tapi yang pasti debu berbentuk pasir itu bisa kembali kapan pun yang dia mau. Ya, aku bisa dengan leluasa untuk jatuh hati kembali kapan pun yang aku mau. Selama masih ada celah untuk ruang yang kosong, aku bisa menempatinya sesuka hati. 


Atau, aku bisa dengan mudahnya untuk jatuh hati lagi kepada orang yang baru dengan harapan agar hidupku lebih berarti.