Official Blog of Nugi Nugraha || Member of Google Corp & Blogger - Since 2011 || Copyrights 2011 - 2025 by Personal Blog & Google

Sabtu, 21 Juni 2025

Jatuh Hati (Fase 9)



Menatap matanya yang redup sayu, bagai bulan berselimut mendung kelabu.

Ada luka yang tak bersuara, namun tetap indah di dalam matanya.


---


Ada masanya aku tidak merindukanmu, tapi ada kalanya aku selalu ingin menemuimu. Serasa tak ada lagi jalan untukku melepaskan semua rasa yang hanya tertuju kepadamu. Memang, aku tidak pernah berniat meninggalkan apalagi melupakanmu. Tapi aku berusaha untuk tidak menghubungimu lagi dalam keadaan apa pun diriku. Aku bisa merasakan bagaimana perasaan di dalam sana. Terlihat seperti diriku yang tidak ingin lagi mengatakan bahwa aku tetap menginginkan dirimu ada dalam hidupku. Karena yang aku rasakan pun kini tidak seperti dulu lagi. Dulu yang hampir setiap saat aku menemuimu, duduk bersebelahan denganmu, bercerita banyak hal bersamamu, menghabiskan banyak waktu berdua bersamamu. 


Aku tidak mau dikatakan manusia munafik. Tapi aku juga tidak akan mengelak jika disebut sebagai orang yang plin-plan. Pikiranku memang mudah untuk dikendalikan, perasaanku pun sangat gampang untuk aku alihkan. Tapi waktu yang terus menerus membawaku ke situasi yang mendalam bahkan ke tempat yang selalu saja ada kamu di dalamnya. Kini menjadi diam-diam, dalam-dalam. 

Ternyata tidak semua rasa harus lantang.

Ada perasaan yang cukup dengan diam yang tidak perlu untuk meminta balas, tapi hanya butuh tenang dan tetap sunyi. 


Kadang aku bertanya-tanya, mengapa rasa ini begitu pedih? Mengapa dia punya energi untuk menyakiti. Lalu yang terakhir, apakah aku harus kembali memahami? Memahami proses yang begitu membingungkan. 

Kadang yang paling berat itu bukan kehilangan, tapi menahan semua perasaan yang tidak bisa aku tunjukkan lagi kepadamu. 


Katanya semua orang mempunyai batas, entah batas wajar, sabar atau pun sadar.

Tapi sejauh aku mengenal dirimu, aku belum bertemu dengan semua batasan itu. Hingga pada akhirnya aku tetap kembali padamu dengan membawa perasaan yang utuh dan rasa yang butuh. Ya, aku masih dan selalu membutuhkan dirimu untuk lari sejenak dari banyak hal yang menimpaku. Sesederhana menatap wajahmu, menggenggam tanganmu, mendengar celoteh kosongmu dan berpisah untuk kembali bertemu denganmu. 


Aku yang pernah berkata jujur sejujur-jujurnya kepadamu tentang segala hal yang aku rasakan selama ini. Entah itu tentang keluarga, pribadi dan rasaku padamu. 

Aku tidak akan berpura-pura buta dan kamu akan tetap melihat begitu banyak hal dariku. 

Aku tidak akan berpura-pura tuli seperti kamu  yang selalu mendengar begitu banyak hal tentangku. 

Entah aku disebut baik atau buruk, itu adalah pilihan dirimu yang mau melihat bagian mana dariku, begitu pula ketika aku menjadi orang yang paling jujur di hadapanmu tanpa kepalsuan. 

Karena kamu berhak untuk tahu diriku yang utuh seperti aku yang telah menerimamu dengan apa adanya kamu. 


Kini, dengan apa pun keadaan hubungan kita, aku tidak akan pernah sekalipun pergi darimu. Sampai kamu bertemu dengan seseorang yang menurutmu lebih baik dariku. Karena janjiku, aku akan melepaskanmu jika aku melihatmu bersama orang lain atau aku yang sudah bertemu dengan seseorang yang lebih darimu. Tapi percayalah, akan banyak hal yang aku korbankan jika harus melepaskanmu, seperti dedaunan yang dipaksa angin untuk jatuh dan jauh hingga terbakar oleh api yang menghanguskan perasaan ini darimu. 


Sekarang, kamu tetaplah hidup dengan kaki juga perasaan dan kebiasaanmu. Aku pun akan tetap berjalan tanpa alas, seolah tidak ada dirimu di sampingku. Tapi jika suatu saat kamu membutuhkanku seperti biasanya, cukup dengan memanggil namaku dan arahkan aku menemuimu. Maka aku akan berjalan menghampirimu yang besar kemungkinannya adalah kamu sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja tanpaku. 

Itu bukanlah kelemahanku, tapi itu adalah salah satu bukti bahwa aku menyayangimu tanpa akhir. 


Aku sudah berdamai dengan kenyataan bahwa permintaanku kepada-Nya bukanlah sesuatu yang harus Dia jawab. Karena ketika aku masih bisa bertemu denganmu kapan saja pun sudah menjadi bukti bahwa entah direstui atau tidak pun, kita tetaplah akan bersama walau tidak pernah mengatakannya kepada mereka dan dunia. 

Kita akan tetap bersama walau tidak pernah saling menyatakan perasaan satu sama lain. 

Kita yang akan tetap utuh tanpa harus saling memberi kabar. 

Perasaan kita akan tetap tersimpan dalam keadaan yang hanya kita berdua yang paling tahu dan mengerti. 

Aku yang akan tetap menyayangimu dengan segala keterbatasan dan kelebihan yang aku miliki. 

Kamu yang akan tetap bisa menjadi dirimu sendiri tanpa takut untuk aku alihkan dan aku hakimi. Karena aku yang menyayangimu dengan hatiku bukan napsu dan egoku apalagi logikaku. 


Percayalah, aku berbohong setelah semua ini aku tetap mengatakan bahwa aku masih di tahap jatuh hati padamu. 

Nugraha is My Name (Part 48)




PERINGATAN !



Sebelum membaca artikel ini, diharapkan agar pembaca sudah berusia 17 tahun, mempunyai kemampuan untuk menghargai dan menerima juga open minded. 


Karena artikel ini berdasarkan pengalaman pribadi dan terdapat konflik secara mendalam dari konteks, paradigma, opini dan juga akan menyertakan orang-orang yang pernah ada di kehidupan pribadi sang penulis secara jujur yang bisa dikonfirmasi secara komprehensif. 


-------


Tanggal 20 Juni adalah hari ulang tahunku. 

Aku tidak akan banyak meminta kepada-Nya. Aku hanya ingin berterima kasih kepada Dia yang sudah memberikan banyak hal yang aku harapkan sejauh ini. Kesehatan yang cukup baik, keluarga yang lebih baik, teman-teman yang selalu ada, rezeki yang luar biasa cukup, ketenangan yang berlimpah, kebahagiaan yang terus ada, rasa cinta yang tidak pernah putus, aku juga bersyukur atas apa yang pernah dan sedang juga apa pun yang akan terjadi di dalam hidupku.


Aku juga ingin berterima kasih kepada diriku sendiri.

Karena masih mau dan terus bertahan sampai sejauh ini. Tapi untuk kali ini aku ingin berkata jujur kepada diri sendiri, bahwa aku memang terkadang lelah. 

Lelah ini bukan sekadar letih pada tubuh, melainkan jiwa yang sudah tidak tahu bagaimana caranya bernapas. 

Terkadang aku berjalan tanpa arah, menyusuri malam yang bahkan tidak ingin menatapku.

Hari demi hari menggerogoti nalar, mengikis sisa-sisa harapan yang dulu kusebut hidup. 

Langit tampak lebih dekat dari dasar tanah. 

Aku terombang-ambing di antara keduanya, tanpa tempat berpijak.

Tidak ada yang kudamba lagi, bahkan cahaya pun terasa palsu. Aku sudah mencoba menjadi kuat, sudah menahan jerit dalam diam, sudah berdiri meski kaki ini gemetar.

Dan saat ini aku akan menyerah untuk sesaat. Membiarkan diriku tenggelam sejenak, tanpa perlu berpura-pura melawan arus.

Akan kubiarkan tubuhku terbaring tanpa doa, tanpa harapan, tanpa siapa pun. 

Karena mungkin dalam diam inilah aku yang paling jujur, yang paling sebagai manusia.

Karena terkadang dalam kekosongan yang paling sensitif, ada kalanya aku menanyakan perihal jati diri mana yang tengah berupaya di pertahankan. 

Untuk apa? Untuk siapa? 

Karena semuanya terasa begitu berat. Dan yang paling berat itu bukan kehilangan, tapi menahan semua perasaan yang tidak bisa aku tunjukkan ke pada siapa pun.

Akan tetap kujaga sepi ini seperti petapa menjaga sunyinya dari dunia, tidak bersuara, tidak berniat.


Aku berteriak tanpa suara, tenggelam dalam lautan kejujuran. Tapi yang mereka lihat hanyalah diamku.

Mereka melukisku dengan warna mereka sendiri, lalu menyalahkanku karena aku tidak mirip seperti yang mereka inginkan.

Aku juga terkadang diam bukan karena lemah, tapi karena diam tidak pernah berdusta. Diam yang mereka salah artikan. 

Terkadang aku berkata jujur. Tapi dunia memilih untuk menutup telinga. Maka aku diam bukan karena lemah, tapi karena aku tahu, diam pun bisa berbicara lebih dalam dari kata-kata.

Semuanya aku tulis dengan harapan untuk jiwa yang lelah menjelaskan kepada dunia yang tidak pernah benar-benar ingin mengerti.


Karena semua itu, aku tidak perlu menjelaskan kepada mereka yang hanya ingin mendengar salahku.

Sebab, sekuat apa pun aku meluruskan, mereka tetap memilih duduk di bangku penonton paling nyaring, bukan pendengar yang benar-benar ingin paham.

Kini aku tahu, dewasa bukan tentang siapa yang paling keras membela, melainkan siapa yang paling tenang kehilangan penonton, tapi tetap utuh dalam peran hidupnya sendiri.

Tidak semua harus dijelaskan.

Tidak semua pantas dijelaskan.

Kadang, yang paling damai adalah diam yang selesai.


Terkadang aku juga ingin memberi hal yang baik kepada mereka. Dan ketika aku ingin berbuat baik, tapi selalu disalahpahami, rasanya seperti berjalan di atas kaca.

Aku berusaha untuk melakukan yang terbaik, tapi orang lain hanya melihat kesalahanku. Aku merasa bahwa aku tidak pernah cukup baik, dan bahwa apa pun yang aku lakukan akan selalu salah di mata mereka.

Aku seperti terjebak dalam lingkaran kesalahpahaman, di mana setiap tindakanku dianggap jahat hanya karena tidak sesuai dengan keinginan orang lain. Aku merasa bahwa aku tidak bisa melakukan apa pun yang benar, dan bahwa setiap keputusanku akan selalu dipertanyakan.

Rasanya seperti aku sedang berjuang untuk mendapatkan pengakuan dan pemahaman dari orang lain.

Tapi, aku akan ingat bahwa aku tidak bisa memuaskan semua orang. Aku harus fokus pada niat baikku, dan tidak membiarkan kesalahpahaman orang lain menghalangiku untuk berbuat baik. Aku harus tetap percaya diri dengan keputusan diri sendiri, dan tidak takut untuk menjadi diri sendiri. Karena pada akhirnya yang terpenting adalah niat baikku, bukan pendapat orang lain tentangku. 

Mentalku sudah melewati banyak hal, dan sekarang aku hanya ingin fokus pada apa yang benar-benar memberi kebahagiaan, bukan yang mengingatkanku pada hal-hal yang menyakitkan.

Karena menjadi sempurna di mata manusia itu tidak akan pernah ada habisnya, cukup menjadi orang baik dan baik untuk diri sendiri saja. 


Tentang perasaanku. 


Diam-diam, dalam-dalam. 

Tidak semua rasa harus lantang.

Ada cinta yang cukup dengan diam yang tidak meminta balas, tapi hanya butuh ikhlas. Karena keikhlasan bukanlah tujuan melainkan sebuah perjalanan. 


Dia yang hadir tapi tidak menetap.

Seperti bayangan yang lahir dari letih.

Dia yang terlintas di sela sesak napas.

Hadir di saat dunia terlalu sunyi.

Dia datang ketika mataku terpejam.

Menyusup dalam gelap yang diam.

Dia tidak bersuara, tapi terasa bicara.

Dia mampu mengisi ruang yang tidak pernah nyata.

Perasaanku. 

Siapa pun tidak harus tahu, betapa setiap detik aku menatapnya dari balik ragu sambil mengurung cinta dalamku yang semu.

Aku tidak ingin memiliki, hanya ingin tidak membenci, karena ada rasa yang cukup hidup meski tidak pernah dimiliki.


Aku masih tetap memilihnya. 

Namun hal ini bukan tentang karena parasnya yang membuatku kagum atau pesona matamu itu. 

Apakah karena sikapmu kepadaku? Tidak, kamu seorang bajingan pun juga tetap di terima.

Cintaku murni karena perasaan dan tidak peduli baik-buruk, tersakiti atau menyakiti.

Bagiku, kamu adalah hal yang harus tetap ada di hatiku. 


Aku dan dirinya yang cukup dekat tapi juga begitu jauh. 

Cukup dekat dalam jiwa tapi begitu jauh secara raga. 

Dan tidak mengapa bagiku. 

Karena yang terpenting adalah perasaanku yang entah sampai kapan akan terus tertuju kepadamu. 


Kali ini aku juga akan berterima kasih kepada orang-orang yang masih tetap tinggal di saat sudah tahu bagaimana diriku yang sebenarnya tapi memilih untuk tetap tinggal. 

Mungkin aku akan tetap baik-baik saja tanpa kalian. Tapi bersama kalian, diriku menjadi jauh lebih baik daripada sebelumnya.


Semoga kita semua diberikan umur yang berkah dan banyak kebahagiaan yang berlimpah dalam perjalanan ini hingga pada saat waktunya untuk berakhir. 


Selasa, 10 Juni 2025

Nugraha is My Name (Part 47)


PERINGATAN !



Sebelum membaca artikel ini, diharapkan agar pembaca sudah berusia 17 tahun, mempunyai kemampuan untuk menghargai dan menerima juga open minded. 


Karena artikel ini berdasarkan pengalaman pribadi dan terdapat konflik secara mendalam dari konteks, paradigma, opini dan juga akan menyertakan orang-orang yang pernah ada di kehidupan pribadi sang penulis secara jujur yang bisa dikonfirmasi secara komprehensif. 

 


-------



Terkadang aku merasa berdosa ketika menginginkan seseorang untuk ada di sampingku di saat keadaanku yang tidak baik-baik saja. Meskipun pada kenyataannya aku juga kadang selalu ingin ada di saat dia sedang tidak begitu baik-baik saja. 

Karena sekarang aku semakin paham bahwa tidak semua situasi itu harus bersama orang lain. Begitupun sebaliknya, dia tidak ingin ada aku berada di situasi itu. Mungkin dia juga mempunyai pemahaman yang sama bahwa dia akan baik-baik saja dengan caranya sendiri. 


Sekarang aku selalu merasa baik-baik saja dalam hal apa pun. Mungkin dari segala aspek yang tidak bisa aku sebutkan secara rinci. Tapi aggaplah semuanya sedang baik-baik saja, dan yang sedang baik-baik saja ini harus tetap aku jaga, ketika sudah terjaga harus tetap bisa dilestarikan, dan ketika sudah dilestarikan pun kemudian aku harus memastikan jangka panjangnya. 

Aspek di sini salah satunya adalah tentang banyak hubungan yang tengah aku jalani. Hubungan dengan orang tua dan keluarga yang aku bisa mengakhirinya dengan kalimat ya sudah. Karena pada intinya kami baik-baik saja dan akan aku jaga untuk selalu seperti itu. Selama tidak memperbesar atau mempermasalahkan, rasanya akan indah jika semua cerita tetap tersimpan dalam perasaan hingga cukup tahu tanpa pernah menjadi ucapan apalagi hingga menjadi sebuah benturan. 

Hubunganku dengan teman-teman, sahabat juga cukup bisa dibilang baik-baik saja, dan mungkin selebihnya bersama orang-orang yang besar kemungkinannya akan silih berganti mengikuti irama hatiku yang ketika aku menginginkannya mereka pergi ya aku akan menghapus mereka dari kehidupanku. Menghapus kisahnya bukan berarti menghilangkan kenangannya. Lebih tepatnya adalah menghentikan cerita bersama mereka tapi tidak akan menghilangkan kenyataan bahwa pernah ada hal-hal yang hanya diri kita masing-masing yang tahu. 

Tapi aku tidak pernah menyesal karena pernah mengenal banyak orang di kehidupanku. Bahkan tidak jarang aku selalu mengabadikan banyak momen melalui foto dan tulisan ketika bersama mereka yang sedang bahkan pernah ada dalam hidupku. Karena kejadian dalam hidup ini cepat berlalu, sedangkan memori itu selamanya. 


Di sini aku terkadang suka bingung dengan diriku sendiri ketika sedang bersama salah satu dari mereka. Mungkin tidak banyak hal mendalam yang kita lakukan ketika bersama, tapi sekecil apa pun momen itu menjadi sesuatu yang luar biasa bagiku. 

Misalkan kita hanya melakukan hal-hal sederhana seperti ngopi, main game, mengobrol hal-hal random, membahas sesuatu yang receh, atau selebihnya bertanya tentang keadaan dia pada saat itu, tapi yang masuk ke dalam memoriku seperti percikan air di atas lautan, penuh dan dalam. 

Aku tidak pernah menganggap semua orang mempunyai masalah yang besar, tapi aku selalu tidak pernah tega ketika harus membiarkan seseorang berjuang sendirian untuk hidupnya. 

Mungkin dia sudah terbiasa menghadapi dan mengatasi juga menyelesaikan permasalahan hidupnya sendirian, tapi rasanya akan lebih baik jika aku bisa membantu atau ada di sana meringankan bebannya walaupun hanya alakadarnya. Karena dalam pikiranku seperti ada yang belum selesai rasanya jika harus meninggalkan seseorang di tengah lautan hanya karena dia pandai berenang. Pasti dia akan lebih senang jika tetap ada orang lain yang membantunya untuk sampai ke tepian dalam keadaan yang baik-baik saja sesederhana menjadi orang yang menemaninya dalam melewati banyaknya badai dan ombak itu. 


"Setelah aku kembali membaca tulisanku di atas, aku menjadi berpikir bahwa ternyata sebegitu dalamnya trauma yang aku alami." 


Berjuang dengan rasa trauma itu tidaklah mudah, karena luka yang terukir dalam-dalam tidak bisa dihilangkan dengan sekali tepuk tangan. Trauma membekas dalam hati dan jiwa, membuat setiap langkah terasa berat dan setiap kenangan terkadang terasa menyakitkan.

Tolonglah, orang-orang yang berada di sekitarku, untuk mengerti dan memahami. Jangan hanya tahu menghakimi tanpa mau memahami apa yang aku alami. Karena dengan memahami, kalian bisa menjadi pelabuhan yang aman bagiku untuk berlabuh dan mencari kesembuhan.

Jangan menghakimi seseorang yang masih berjuang dengan trauma, karena kalian tidak tahu apa yang aku alami. Berikanlah empati dan dukungan, bukan kritik dan celaan. Dengan begitu, kalian bisa membantuku merasa lebih nyaman dan didengar, sehingga aku bisa lebih mudah untuk berdamai dengan diri sendiri dan bisa melewati proses penyembuhan.


Kalian melihatku baik baik saja bukan? Haha

Ternyata aku berhasil menipu kalian. 

Apa kalian ingin tahu keadaanku yang sebenarnya? Aku kehilangan banyak serpihan dari diriku sendiri, aku hanya berusaha tegar dan tersenyum sembari mencari serpihan yang hilang itu. 


Ada hari-hari di mana semuanya terasa penuh tapi kosong di tempat yang paling penting. 

Bukan perkara tidak bersyukur, tapi ada ruang dalam diri yang tidak bisa diisi oleh siapa pun atau apa pun. 

Hanya mengambang menunggu ada yang datang. 

Padahal tidak ada janji dari siapa pun yang akan datang, dan salah satu bagian lucunya adalah aku tetap berdiri di sini. 

Karena pergi pun tidak tahu harus ke mana. 

Kadang yang membuat bingung bukan karena kehidupan ini yang berat, tapi karena sudah tidak tahu apa yang sedang dicari.

Bukan tidak tahu arah, tapi sudah terlalu sering jalan yang jauh tapi tidak menemukan apa-apa di ujung sana selain pengalaman yang katanya berharga, ya mungkin memang berharga. 


Di balik semua kekosongan yang terkadang masih aku rasakan, sesekali ada tangan yang mencoba untuk mengetuk dengan tidak pernah pasti tapi tetap kunanti. 

Mungkin akan menjadi biasa saja dan bahkan menjadi basi bagi mereka yang tidak pernah paham apa itu arti cinta sejati. Meskipun aku pribadi masih dengan rasa percaya diri bahwa itu bukanlah cinta melainkan hanya jatuh hati. 

Tapi perlakuanku sudah menggambarkannya dengan jelas bahwa itulah yang namanya cinta tanpa ucapan apalagi harapan untuk sebuah balasan. 

Dia sudah tahu bagaimana perasaanku kepadanya, tapi aku selalu meyakinkannya dan terutama diriku sendiri, bahwa itu bukanlah sesuatu yang perlu untuk dihiraukan. Karena pada dasarnya kepedulian dan rasa saling menghargai juga memberi ruang untuk satu sama lain adalah salah satu bentuk cinta yang tidak terucap apalagi menjadi hal yang harus dibahas. Dia yang mempunyai kehidupan dan dunianya sendiri, aku juga mempunyai hari-hari yang tidak harus selalu ada dia di dalamnya.

Mungkin inilah level cinta yang abstrak, tanpa harus ada pengakuan apalagi terlihat oleh mata yang memandang, tapi akan terasa dan tersadar ketika melihatnya dengan hati tanpa ada niatan untuk membenci dan menghakimi. 

Tidak ada yang salah dengan cinta. Cinta hanya sebuah perasaan yang datang tanpa pernah bisa manusia kendalikan. 

Karena cinta kami terlahir dari saling berbagi koneksi bukan perkara hasrat atau sebuah perbuatan yang besar kemungkinannya akan berganti menjadi hal yang Dia cela. Kembali lagi, Dia yang memberi cinta untuk kami bahkan kepada kita semua. 


Lalu, apakah aku benar-benar sedang menjalani sebuah kekosongan?