Official Blog of Nugi Nugraha || Member of Google Corp & Blogger - Since 2011 || Copyrights 2011 - 2024 by Personal Blog & Google

Rabu, 16 Oktober 2024

Nugraha is My Name (Part 39)




PERINGATAN !


Sebelum membaca artikel ini, diharapkan agar pembaca sudah berusia 17 tahun, mempunyai kemampuan untuk menghargai dan menerima juga open minded. 


Karena artikel ini berdasarkan pengalaman pribadi dan terdapat konflik secara mendalam dari konteks, paradigma, opini dan juga akan menyertakan orang-orang yang pernah ada di kehidupan pribadi sang penulis secara jujur yang bisa dikonfirmasi secara komprehensif. 


-------


Masa remajaku, di mana aku ingin mengetahui banyak hal, mulai mengenal banyak hal dan pertama kalinya banyak hal itu aku lakukan.

Masa remajaku dimulai dari...


Kenapa aku kembali ke psikiater? 

Sebelumnya, pada tahun 2015 sejak aku didiagnosa sebuah penyakit untuk pertama kalinya, aku sudah rutin bertemu dengan psikolog untuk berkonsultasi atas saran dari Dokter Penyakit Dalam. Tapi hanya ditanya tentang perasaan dan kabar beberapa hari ke belakang, apakah ada keluhan dan efek dari minum obat, dll. Dan memang hanya sebatas itu saja, tidak lebih, apalagi sampai mendalam. 

2015 - 2022 aku merasa baik-baik saja. Tapi pada kenyataannya justru sebaliknya. Sudah sejak lama aku tidak bisa tidur tanpa alkohol. Aku merasa harus menghilangkan kebiasaanku itu. Aku tidak bisa tidur tanpa minum alkohol terlebih dahulu kala itu. Kalau pun bisa tidur ya aku harus berjuang keras untuk itu. 

Pada tahun 2022 akhir, aku disarankan untuk pergi ke psikiater oleh salah satu saudara jauhku. 

Kurang lebih 6 bulan aku bisa menghilangkan kebiasaanku itu. 


Sekarang kenapa? 

Pada awal tahun 2024, telinga sebelah kananku kurang jelas mendengar. Sudah sejak lama, tapi memang tidak separah itu. Kejadiannya persis setelah kepulanganku dari acara jalan-jalan bersama seseorang. 

Setelah diperiksa di RSHS, ternyata telingaku hearing loss alias ketulian. Dan Dokter menyarankan untuk dioperasi saja, karena alat bantu dengar tidak akan bisa  berfungsi dengan maksimal. 

Sebenarnya aku sudah bersedia, tapi pada saat itu kebetulan aku sedang dijadwalkan untuk ke Poli Bedah Plastik bahkan sudah ada di tahap untuk operasi. Jadi, pengobatanku dengan THT hanya sebatas obat dan ditunda dulu sampai batas dari satu operasi ke operasi lainnya kurang lebih 3 sampai dengan 6 bulan. Karena sudah aturan dari bagian anastesinya seperti itu. Tapi aku kurang begitu paham juga. 


Juli 2024 aku pindah ke daerah Banjaran yang notabenenya sudah jelas jauh dari RSHS. Bahkan semua pengobatanku aku pindahkan ke daerah Kabupaten Bandung. 

Pada pertengahan bulan September, aku mendapat telepon dari Dokter THT RSHS. Dia menanyakan perihal kelanjutan dari rencanaku untuk operasi telinga. 

Aku jawab saja kalau aku sudah tidak tinggal di kota Bandung lagi. 

Akhirnya dia menyarankan agar aku melanjutkan pemeriksaan telingaku ke RS Otto Iskandar Dinata Soreang. 

Singkat cerita, aku sudah ada di poli THT RS Otto Iskandar Dinata. 

Setelah aku berkonsultasi dan menerangkan keadaanku semuanya, dia bertanya tentang kebiasaan burukku belakangan ini. 

Aku sudah lama tidak bisa tidur tanpa mendengarkan suara entah itu musik atau orang bercerita melalui earphone/ handsfree. Aku tidak bisa tidur tanpa ada alat itu menempel di telingaku. Dan itu berlangsung sudah sejak lama. Selain sedang tidur, aku juga selalu memakainya ketika sedang di perjalanan dan sedang menulis atau membutuhkan konsentrasi yang lebih. Fokusku memang selalu terbelah bahkan bercabang entah ke mana dan seperti apa. Ide-ide dan pikiranku selalu tak terkendali. Mereka mempunyai kemampuan yang lebih dari diriku sendiri. Badanku terlalu lemah untuk mengimbangi antara pemikiran dan perasaan, ataukah mungkin sebuah kegelisahan? 

Dokter THT pun tidak bisa melanjutkan pemeriksaan lebih lanjut. Karena kata dia, percuma telinganya disembuhkan tapi penyebabnya tidak dihilangkan. 

Akhirnya aku disarankan untuk pergi ke psikiater agar aku bisa menghilangkan kebiasaanku yang tidak bisa tidur tanpa memakai earphone/ handsfree. 


 Aku mendapatkan saran dari Dokter umum di faskes 1. Akhirnya aku dirujuk ke RSUD Al-Ihsan. Dan pada tanggal 1 Oktober aku harus kembali bertemu dengan psikiater lagi setelah sekian lama tidak. 


Aku pikir treatment-nya akan sama dengan Dokter yang di RSHS pada 2022 lalu, ternyata kali ini berbeda. 

Dulu aku ingin menghilangkan ketergantunganku dari alkohol. Yang ditanyakan oleh Dokter adalah sejak kapan, seberapa banyak dan seberapa sering, di mana dan dengan siapa. Just that. 

Aku diberi obat penenang dan disarankan untuk tidak bertemu dengan teman-teman yang mempunyai kebiasaan yang sama, pindah lingkungan, mengalihkan fokus ke hal-hal lain jika keinginan untuk meminum minuman beralkohol sedang ada dalam pikiran. Dan mulai sejak itu aku selalu memakai earphone/ handsfree sebagai pengalihannya. 

Semua itu berhasil. 

Tapi kali ini yang ditanyakan pertama  oleh Dokter adalah tentang pengasuhan. Salah satunya adalah aku harus menceritakan tentang masa kecilku, terutama hubunganku dengan orang tua dan keluarga. 

Ya, aku sempat menjawabnya bahwa masa kecilku memang tidak terlalu baik-baik saja, tapi itu masa lalu. Diriku yang sekarang sudah menerima dan berdamai bahkan memaafkan masa lalu itu. 

Tapi dengan tegas Dokter itu menjawab bahwa mungkin memang benar diriku yang sekarang sudah menerima, berdamai juga memaafkan masa laluku, tapi diriku yang pada saat itu masih kecil yang sudah jelas diriku itu mengalami dan merasakannya sendirian pada waktu itu, tanpa keberadaanku yang sudah bisa berpikir seperti sekarang ini. 

Diriku yang sekarang terlihat baik-baik saja, tapi jiwa anak kecil yang dulu hidup di masa itu tetap belum menerima, belum berdamai dan belum bisa memaafkan kenyataan yang terjadi pada saat itu. Lukanya tidak tampak terlihat, tapi rasanya masih tersisa saat aku melihat anak-anak yang seumuran dengan diriku pada saat itu. 


Mungkin bagi sebagian orang hal seperti ini tidak berarti apa-apa, tapi bagiku hal seperti ini menjadi sesuatu yang harus benar-benar aku ungkapkan. Secara tidak langsung bahwa semua ini bisa membantuku melewati fase terendah dalam perjalanan hidupku. Menulis adalah salah satu terapi terbaikku. 


15 Oktober 2024.

(Setelah dicabut gigi di PKM, tadi siang aku pergi ke cafe di daerah Soreang yang letaknya di atas bukit bersama temanku. Selain untuk bergosip dan makan tentunya, kami juga selalu berfoto. Beberapa jam yang lalu aku membuat video hasil editan alakadarnya. Setelah itu aku melihat beberapa hasil foto yang tampak terlihat jelas wajahku tersenyum ke kamera. Apa arti senyuman itu? 

Yang pasti aku berterima kasih kepada diriku karena sudah bisa sejauh ini berjalan dan bertahan juga mempunyai keinginan menjadi lebih baik untuk ke depannya.)


Masa remajaku dimulai dari ingatanku ketika masa SMP sampai usia 20an.

Masih ingat betul saat itu aku sedang kelas 2 SMP. Aku pergi dari rumah untuk pertama kalinya sendirian menuju rumah kakak sepupuku, A Erus yang ada di Pasir Pariuk. 

Dengan mengandalkan ingatan yang masih jelas tertulis di memori terdalamku, aku mengingat semua yang terjadi di sana. 

Diriku yang kala itu ingin diperlakukan berbeda dari biasanya, berharap mereka akan menerimaku lebih dari orang tuaku di rumah, ternyata ekpektasiku kembali hancur, bahkan sedikit berantakan. Pada kenyataannya mereka berdua baru memulai rumah tangga, baru memiliki anak, baru menata ini dan itu. Kehadiranku yang pada saat itu sedang haus akan perhatian dan kasih sayang seperti yang aku mau, dan yang aku dapatkan adalah sebaliknya. Diriku yang sekarang sangat tahu dan paham betul situasi kala itu, tapi diriku yang hidup di tahun 2005 - 2006 belum bisa memahami dan mengerti semua itu. 

Sebenarnya mereka itu perhatian dan sayang dengan cara mereka sendiri. Tapi tanpa senyuman, tanpa kelembutan, tanpa mendalam seperti yang selalu aku harapkan. Keras dan tegas yang malah aku dapatkan. Aku bukan pribadi yang seperti itu bahkan sampai saat ini pun masih sama. Aku selalu tidak tega melihat anak kecil atau orang yang diperlakukan dengan cara dan nada tinggi bahkan kasar. Aku pernah mengalaminya sendiri dan itu tidak membuatku nyaman apalagi menjadi lebih baik. 

Seperhatian dan sesayang mereka dengan caranya tersendiri itu, mereka tidak pernah tahu kalau aku pernah dilecehkan secara seksual oleh seseorang yang berada di lingkungan itu. Bahkan orang itu hidupnya terlihat baik-baik saja sampai sekarang. Tentu saja aku mempunyai bukti untuk hal itu yang sudah aku simpan rapat untuk sesekali dibuka jika diperlukan bahwa semua tulisanku tetap terjamin kebenaran dan keasliannya. Diriku yang sekarang memaklumi dan menerima kenyataan itu, tapi diriku yang dulu sudah pasti menyimpan trauma yang luar biasa. 

Sekarang aku selalu khawatir dengan orang-orang yang ada di sekitarku, aku takut mereka mengalami hal yang serupa denganku dulu. Sebisa mungkin aku akan menjaga mereka entah siapa pun yang dekat denganku agar tidak seperti diriku dulu. Dalam keadaanku yang seperti ini aku tidak akan pernah terima jika orang terdekatku bahkan keluargaku sampai ada yang menyentuh atau dilecehkan entah secara seksual atau sekadar verbal. 


Masa remajaku kembali berlanjut. 

Lulus dari SMP di Banjaran, aku memasuki masa SMA di mana semua hal yang selalu aku ingin tahu aku lakukan untuk pertama kalinya. 

Merokok, meminum minuman beralkohol, seks, dll. 

Masa awal SMA itu hal yang mungkin pengalaman terliar untuk diriku kala itu. 

Kehidupanku menjadi sangat bebas ketika jauh dari orang tua, tentu saja. Masuk sekolah juga sesuai keinginanku. Tiada hari tanpa alkohol bersama teman-teman satu kontrakanku dulu di daerah Cisewu Garut. 

Satu tahun berlalu begitu saja. Karena pada akhirnya aku kembali harus tinggal bersama orang tuaku. Tapi kali ini aku tinggal bersama Ayah dan Ibu tiriku. Bersekolah kembali ke kelas 1 SMA karena pada saat itu Ayahku baru mendirikan sekolah baru. 

Apakah bahagia? 

Tentu saja tidak. 

Ayahku yang memiliki jiwa kepemimpinan tanpa bantahan. Keras dan tegas masih menjadi bagian dari lingkungan kehidupanku kala itu. Memberi saran adalah hal pertama yang dia lakukan. Harus begini dan begitu seterusnya sampai aku merasa muak untuk tinggal di sana. Dia lupa bahwa ada satu hal penting yang terlewatkan olehnya, yaitu mendengarkan apa mauku.

Belajar menulis dan membaca juga bekerja itu rasanya hampir di semua sekolah sudah diajarkan, tapi belajar mendengarkan orang lain itu tidak pernah ada pelajarannya. 

Aku pikir dia bukanlah pendengar yang baik, bahkan keinginan untuk mendengar pun tidak ada dalam kamus hidupnya. Karena pada kenyataannya aku tidak pernah bisa mengungkapkan apa mauku. Jangankan untuk mengungkapkan banyak perasaan, untuk berbicara kepadanya yang penting saja sudah aku olah kata-katanya sedemikian rupa agar tidak menjadi sebuah kesalahan. Karena dia pribadi yang sangat judging. Mentalku sudah hancur sejak dini. Apakah dia sadar dan tahu? Lihat keadaanku sekarang. Apakah aku baik-baik saja? Dari penampilan mungkin bisa terlihat luar biasa, tapi di dalam sini betapa berantakannya semua itu. 


Akhirnya aku pergi dari rumah dan memutuskan untuk mencari uang sendiri tanpa ijazah SMA bahkan KTP sama sekali. Umurku saat itu baru 16 tahun. 

Pergi ke kota Bandung bermodalkan ijazah SMP. 

Kota Bandung pada saat tahun 2007 - 2008 itu adalah kota yang besar bagiku. 

Kehidupanku di luar sana tidak baik-baik saja, sudah pasti. Meskipun memiliki keinginan dan tekad yang kuat, tapi kemampuanku untuk bersosialisasi belum semahir sekarang. Hidup di jalanan dan bertemu teman-teman baru adalah hal yang menakutkan sekaligus menyenangkan untuk anak yang baru berusia 16 - 17 tahun. 

Di jalanan aku mengubah riwayat hidupku, latar belakang keluargaku termasuk namaku hingga menjadi Nugi Nugraha sampai sekarang. 

Teman-temanku yang sampai sekarang masih bertemu pun belum tahu kalau Ayahku dan banyak di antara keluargaku bergelut di dunia pendidikan, yaitu guru. 

Aku benar-benar menutupi seluruh bagian hidupku yang sebenarnya dari teman-temanku. Bahkan kepada teman terdekatku sekalipun.

Dalam kurun waktu itu aku pergi ke banyak kota dan tempat. Bandung, Jakarta, Pangandaran, Bekasi, Tangerang dan beberapa kota lainnya. Terkadang aku masih pulang ke rumah. Tapi rumah dan apalagi sekolah sudah bukan menjadi tempat yang membuatku nyaman lagi. Karena kehidupanku menjadi sangat luar biasa bahagia ketika berada di luar sana. Aku bisa bekerja dan hasilnya bisa aku pergunakan sesuai dengan keinginanku yang tidak bisa aku dapatkan dari orang tuaku, dari keluargaku. 


Memasuki usiaku yang belum genap 18 tahun, aku mempunyai kebiasaan yang mungkin untuk anak-anak remaja sekarang itu menjadi hal yang biasa saja. Yaitu aku suka pergi ke tempat hiburan malam. Pergi jam 10 malam dan pulang pada keesokan harinya. Entah terbangun di kost siapa, apartment siapa, rumah siapa, hotel siapa, bahkan beberapa kali aku terbangun di parkiran dengan baju yang penuh bekas muntahan. 

Kehidupanku kala itu benar-benar membahagiakan. Menurutku yang kala itu.

Karena aku bisa melakukan apa saja tanpa ada yang melarang apalagi bisa menghakimi. Aku benar-benar menikmati masa kehidupanku pada saat itu. 


Pada suatu malam di bulan Maret 2010, ketika aku sedang melakukan kegiatan rutinku yaitu menikmati malam yang besar kemungkinannya akan benar-benar luar biasa menyenangkan, tiba-tiba aku mendapat telepon dari seseorang yang mengabarkan bahwa teman perempuanku akan segera melahirkan. 


Dan dimulai dari saat itulah kehidupanku kembali berubah 180 derajat. Karena aku harus menjadi seorang Ayah dari seorang anak yang bukan darah dagingku. 


Masa remajaku yang belum genap 18 tahun harus ikut serta bertanggung jawab untuk suatu hal yang semestinya tidak pernah aku lakukan. 

Menjadi Ayah? Bagaimana mungkin aku bisa menjadi seorang Ayah, figur Ayah saja aku tidak tahu seperti apa bentuk kasih sayangnya. Bagaimana bisa menyayangi dan memperlakukan orang lain seperti anak sendiri, aku sendiri saja masih sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Dan yang lebih tidak pernah aku kira sebelumnya adalah, aku diminta untuk menjadi suami dari seorang teman perempuan yang ditinggal pergi oleh pacarnya. 


***


Anak itu aku beri nama Angga, Angga Nugraha nama lengkapnya. 

Rabu, 02 Oktober 2024

Nugraha is My Name (Part 38)



PERINGATAN !


Sebelum membaca artikel ini, diharapkan agar pembaca sudah berusia 17 tahun, mempunyai kemampuan untuk menghargai dan menerima juga open minded. 

Karena artikel ini berdasarkan pengalaman pribadi dan terdapat konflik secara mendalam dari konteks, paradigma, opini dan juga akan menyertakan orang-orang yang pernah ada di kehidupan pribadi sang penulis secara jujur yang bisa dikonfirmasi secara komprehensif. 

 

-------


Apa kabar diriku yang sekarang? 


Aku mau bilang baik-baik saja tapi pada kenyataannya aku sedang tidak baik-baik saja. Aku mau bilang tidak baik-baik saja tapi semuanya tampak terlihat baik-baik saja. Sementara aku akan menjawab sejauh ini aku baik. 


Setelah aku bertemu dengan Dokter, aku dibawa ke masa sekarang lalu dibawa meloncat ke masa di mana aku bisa mengingat hal yang paling awal yang bisa aku ingat. Ingatan terjauh pertama yang bisa aku ingat adalah ketika aku berada di rumah sakit bersama kakak sepupuku, A Erus. Ada selang infus di tanganku, dalam bayanganku sekilas melihat beberapa sosok tapi tidak ingat siapa mereka. 

Pada saat itu mungkin usiaku di bawah 2 tahun. Aku cukup pandai mengingat beberapa kejadian dan banyak peristiwa yang terekam di memori terdalamku. 


Kehidupanku pada saat masih kecil sepertinya cukup merepotkan. Merepotkan banyak orang di mana aku yang menginginkan sosok seorang Ibu. Aku tahu Ibuku kala itu sakit, bahkan sebelum mereka tahu aku ada dalam rahimnya pun dia sudah dalam keadaan sakit. Hingga aku lahir dan aku malah harus dibawa tinggal bersama Mamah AKA Ua-ku. Aku tidak tahu bagaimana rindunya diriku kala itu kepada Ibu. Diriku kala itu hanya seorang anak yang belum mengerti apa-apa, dia butuh dekapan seorang wanita yang melahirkannya, ingin bisa memeluknya, bercerita apa saja kepadanya, diriku yang kala itu tidak mendapatkan perhatian dan kebahagiaan dari sosok Ibu yang dia inginkan. 

Aku mempunyai Mamah, memang. Tapi diriku pada saat itu masih anak kecil yang unik dan berbeda dari anak yang lainnya. Dia yang suka diperlakukan lembut dan segalanya pelan bahkan perlahan. Sedangkan Mamah dengan karakternya yang tegas dan keras. Jangankan sikap yang lembut, pelukan saja rasanya aku tidak pernah merasakannya. Selain itu juga keadaan ekonomi yang belum seperti sekarang. Diriku yang dulu selalu ingin jajan karena melihat teman-temannya yang jajan. Makan juga seadanya di rumah. 

Aku tahu, kalau dalam pemikiran sekarang sudah bersyukur bisa makan juga. Tapi diriku yang dulu hanya seorang anak kecil yang belum paham. 


Tentang Ayah. 

Ketika dia tahu aku tumbuh menjadi janin di rahim Ibuku yang sedang dalam keadaan sakit, dia harus segera kembali kepada Istri barunya yang kebetulan tengah mengandung juga kala itu. Tabiat seorang laki-laki memang tidak selalu jauh dari nalurinya tentang hasrat. Seorang Istri yang sedang sakit saja masih tetap dia gauli bahkan masih mendekati perempuan lainnya. 

Laki-laki tidak pernah puas, laki-laki tidak cukup dengan satu perempuan. Itulah yang membuat diriku tidak pernah setia dengan satu pasangan. 

Aku bisa mengatakan sayang dan cinta kepada seseorang tapi hatiku entah sedang memikirkan manusia yang mana. 


Ayahku cukup bertanggung jawab. Dia begitu pintar dalam segala hal. Mengajari orang lain banyak hal yang sebenarnya sudah dia kuasai, memberi nasihat, memberi pendapat, dan dia sosok Ayah yang baik untuk anak-anaknya. Begitulah gambaran dia di mata orang lain. 

Di mataku? Dia Ayah yang gagal. Dia mengecewakan, dia yang sampai saat ini di usiaku setengah darinya saja masih membuatku sedih jika aku memikirkannya. 

Aku tidak ingin pemberiannya, hartanya, aku tidak munafik jika memang dia memberikannya aku akan menerimanya. Tapi dia melewatkan banyak hal untuk diriku sampai saat ini saja belum pernah dia katakan. 

Pertama, dia tidak pernah memujiku. 

Aku tahu, aku tidak seperti anak orang lain yang bisa sukses dan membanggakan keluarga ini dan itu. Tapi dia tidak tahu aku bisa bertahan sampai sejauh ini saja aku sudah lebih dari hidup. Aku bisa membuat senyuman saja aku sudah berjuang keras untuk itu. 

Aku tidak akan membalikkan pertanyaan, kenapa Ayah tidak seperti Ayah orang lain yang selalu mengapresiasi hal-hal kecil dari anaknya? Bahkan bisa menjaga nama baik Ayah saja sudah lebih dari apa pun bagiku.

Kedua, aku ingin Ayah meminta maaf dan berterima kasih kepadaku. 

Apakah Ayah tidak pernah bersalah kepadaku? Kepada anak-anakmu? 

Apakah hanya anak-anakmu yang selalu salah kepadamu, Ayah? 


"Pap, keinginan terbesar dalam hidup Dede sejauh ini bukan ingin pergi ke tempat yang jauh, liburan ke mana, membeli barang-barang mahal, atau keinginan-keinginan lain seperti orang pada umumnya. Dede hanya ingin kita duduk berdua dan Papap bertanya sama Dede tentang apa yang selama ini Dede alami, Dede rasakan, dan apa yang Dede inginkan dari Papap. Hanya itu. Dan jika Papap bertanya apa maunya Dede, Papap pun sudah tahu itu".


Tapi aku sudah banyak belajar tentang berkehidupan bahwa tidak semua keinginan harus terwujud. 

Aku memaafkan orang-orang dengan keadaan dan sebuah pengertian yang aku ungkapkan. Aku sangat memaklumi semuanya untuk saat ini.


Trauma membentukku menjadi pribadi yang mungkin tidak terlalu stabil tapi dari trauma itu aku bisa merasakan bagaimana keadaan orang lain yang sejauh ini selalu aku temui dalam perjalanan hidupku. 

Aku tidak menyukai anak-anak kecil yang rewel dan crewet juga membuat repot, tapi aku tidak pernah membencinya. Justru aku menyayangi mereka seperti aku melihat kilasan diriku yang masih kecil pada saat itu. Aku bisa dekat dan ramah dengan anak-anak bukan karena aku sudah pantas menjadi seorang Ayah, tapi jauh di lubuk hatiku aku ingin diperlakukan seperti itu oleh orang lain. 

Aku memberi mereka uang jajan entah beberapa ribu, berarti aku mengobati masa kecilku yang tidak mendapatkan itu semua. 

Aku selalu bertanya keadaan mereka dengan hal-hal kecil entah basa-basi atau memang sesuatu yang serius, itu berarti aku sedang bertanya dengan diriku yang kala itu tidak pernah ditanya bagaimana keadaanku. 

Memuji mereka siapa pun yang aku temui dengan hal-hal yang sebenarnya biasa saja, tapi pada kenyataannya itu bisa berdampak positif terhadap mereka ke depannya. 


Dalam diriku tertanam rasa peduli yang luar biasa. Tidak dipungkiri mereka juga menjadi sosok yang memberi contoh baik kepadaku ketika aku masih dengan polosnya dan bertanya dalam diri sendiri, kenapa harus membantunya?


Apa yang terjadi sekarang adalah bentuk dari kehidupanku di masa lalu. 

Dan aku berusaha untuk hidup dengan baik agar kehidupanku ke depannya lebih baik lagi. 


...


Ingatanku mulai dibawa ke masa remaja. 


Masa remajaku, di mana aku ingin mengetahui banyak hal, mulai mengenal banyak hal dan pertama kalinya banyak hal itu aku lakukan. Hingga menambah kepribadianku pada saat ini. 


Masa remajaku dimulai dari....