Official Blog of Nugi Nugraha || Member of Google Corp & Blogger - Since 2011 || Copyrights 2011 - 2024 by Personal Blog & Google

Kamis, 31 Oktober 2024

Nugraha is My Name (Part 41)

 


PERINGATAN !


Sebelum membaca artikel ini, diharapkan agar pembaca sudah berusia 17 tahun, mempunyai kemampuan untuk menghargai dan menerima juga open minded.

Karena artikel ini berdasarkan pengalaman pribadi dan terdapat konflik secara mendalam dari konteks, paradigma, opini dan juga akan menyertakan orang-orang yang pernah ada di kehidupan pribadi sang penulis secara jujur yang bisa dikonfirmasi secara komprehensif. 


------- 


Sekarang tanggal 31 Oktober. Aku kembali bertemu dengan Dokter untuk melanjutkan pemeriksaan sekaligus pengobatan.


Dokter bertanya tentang bagaimana perasaanku selama sebulan ini. 

Perasaanku semakin lebih baik. Terutama gangguan tidur dan kecemasanku sudah mulai stabil. Hanya saja ingatan burukku tentang masa lalu masih sama seperti dulu, seperti sebelum pengobatan ini.

Aku banyak ditanya perihal hubunganku dengan orang tua dan keluarga lainnya. So far ya baik-baik saja. Karena memang semuanya terasa tidak ada yang berat untuk dipikirkan. 

Tapi ada satu hal yang membuat diriku semakin sadar, semakin sadar bahwa aku benar-benar sangat tidak menyukai anak kecil. 


Trauma itu nyata, depresi itu nyata, anxiety itu nyata. 

Aku pernah mengorbankan banyak hal, waktu yang tidak akan pernah kembali dan tidak akan pernah ternilai juga tidak mungkin bisa terganti oleh apa pun, tenaga yang selalu kuusahakan, harta yang tidak seberapa, kesetiaan yang selalu aku utamakan, tapi berkali-kali aku dikhianati oleh mereka yang tidak pernah mengerti betapa sulitnya menghilangkan rasa tidak percaya lagi kepada orang lain yang terbentuk menjadi trauma, iya, sekarang aku trauma untuk menaruh perhatian dan rasa sayang juga cinta kepada orang lain lagi. 

Ini bukan tentang percintaan atau hubungan antara dua orang kekasih, tapi ini antara aku dan seorang anak yang dulu sangat amat aku sayangi melebihi batasan yang ada.


Aku memang pernah menangis karena orang tua, menangis karena kehilangan keluarga, pernah juga menangis karena cinta, sesekali aku juga pernah menangis karena hal-hal remeh, marah, kecewa karena disakiti dan dikhianati oleh orang lain dan itu hal biasa. Tapi dari itu semua, aku tidak pernah menyimpan rasa trauma. 

Tapi untuk kali ini aku sering menangis dan bahkan merasa hancur karena dipaksa dijauhkan untuk kesekian kalinya dari anak yang kita sama-sama saling membutuhkan. 

Dia yang membutuhkanku dalam segala hal, perhatian, kasih sayang, materi, dan apa pun itu yang dia butuhkan pasti akan aku sediakan termasuk keberadaanku kapan pun dia memanggil namaku. Dan aku yang membutuhkan dia untuk semangat hidup. Itulah salah satu alasan kenapa aku masih harus menjaga kesehatan, alasan kenapa aku harus berubah menjadi lebih baik, alasan aku harus mencari rezeki yang baik dan halal, dan banyak alasan kenapa kami saling membutuhkan.


Ya, sampai saat ini aku menjadi tidak suka kepada anak-anak, diriku menolak untuk dekat dengan mereka, pikiranku menjauh, hatiku merasa tidak nyaman jika harus dekat dengan anak-anak lagi. 

Mereka yang rewel, menjengkelkan, apa-apa menangis, ingin selalu dimengerti, tidak mau menurut, susah dibilangin, melawan, jajan terus, mereka juga selalu mendekati dan tiba-tiba mengganggu. 

Dulu, aku bisa mengatasi semua itu, senakal-nakalnya anak aku bisa merubahnya menjadi anak yang baik bahkan menjadi jelmaan manusia terbaik yang bisa aku rubah sejauh ini. Itu dulu. 

Tapi untuk saat ini, melihat mereka saja rasanya muak.


-----


"Aku memang menjadi tidak menyukai anak-anak lagi, tapi bukan berarti aku membenci mereka". 

- Nugi Nugraha 


-----


Tidak akan pernah ada seorang pun yang tahu sesakit apa aku bisa bertahan sampai sejauh ini, tidak akan pernah ada satu orang pun yang mengerti bagaimana aku berusaha untuk selalu kuat dan terlihat baik-baik saja di depan semua orang. 

Selain kebetulan menulis untuk artikel dan menjadi sumber penghasilan, sesekali aku juga menulis untuk blog pribadi, tapi terkadang aku juga membutuhkan pendengar yang baik. 

Aku juga membutuhkan beberapa obat untuk mengurangi rasa sedih agar air mataku tidak selalu terjatuh.

Terkadang jam tidurku juga selalu terganggu hanya karena memikirkan rasa traumaku.

Setiap hari aku selalu berusaha untuk meyakinkan diriku sendiri, bahwa suatu hari nanti kehidupanku akan kembali baik-baik saja. 


Aku memang trauma.

Nyatanya sudah terlalu lama aku menyimpan rasa kecewa, terlalu lama berpura-pura tidak terluka, aku juga sudah terlalu lama berjalan sendirian.

Banyak pasang mata yang melihat diriku baik-baik saja, aku juga selalu menghabiskan waktu untuk menjelajahi setiap sudut kota, bepergian ke banyak tempat yang bahkan orang di sekitarku saja tidak tahu ada tempat itu, berusaha bertemu dengan banyak orang dan menggodanya bahkan berjanji untuk setia kepadanya, padahal pada kenyataannya semua itu aku lakukan untuk menutupi banyak luka yang semakin hari semakin bertambah sakit. 

Hatiku tetaplah menjerit, kepalaku masih penuh dengan riuh, jiwaku juga masih basah dengan banyaknya rasa, lelah.


Tapi aku sudah sampai pada titik ini.

Titik di mana apa pun yang terjadi ya terjadilah.

Bukan karena aku sudah menyerah, tapi aku hanya belajar untuk mengikhlaskan. 

Aku juga manusia biasa yang hanya bisa mengantisipasi tapi tidak bisa menahan apalagi memaksakan dari sesuatu yang memang seharusnya terjadi.

Tugasku sekarang hanyalah menerima, menjalankan dan mencari makna dari setiap kejadian. Aku juga berusaha untuk menguatkan diri agar lebih baik lagi dan siap dengan kenyataan-kenyataan yang selanjutnya akan datang. 

Aku juga harus menyiapkan diri untuk banyak kebahagiaan ataupun sebaliknya.


Pelajaran hidup yang kudapat sejauh ini adalah bahwa sebaik apa pun aku kepada orang, belum tentu aku mendapat perlakuan yang sama dari mereka, terlalu baik kepada orang pun juga tidak baik. 

Aku tidak boleh merasa tidak enak kepada orang lain agar mereka juga tidak memperlakukanku dengan seenaknya.

Jangan pernah merepotkan orang lain jika aku sendiri tidak ingin direpotkan oleh mereka. Belajar untuk mandiri dan tidak tergantung kepada orang lain.

Jangan hidup dalam iri dan dengki, karena aku tidak pernah tahu effort apa yang sudah orang lain lakukan untuk mencapai semua itu. Jangan membicarakan kejelekan orang lain, karena aku pun sudah jelas belum tentu baik sepenuhnya.

Karena semakin ke sini hidup harus lebih hati-hati lagi. Hati-hati dari orang yang palsu dan berpura-pura baik. Tidak sedikit orang yang ingin menjatuhkan dan tidak suka ketika melihatku lebih baik darinya. 

Aku akan belajar untuk tetap menjadi baik, jangan berusaha untuk dendam hanya cukup mengetahui bagaimana sifat orang lain seperti apa. 

Jangan membalas kejahatan yang orang lain lakukan.

Tetap rendah hati dan berharap untuk selalu dijauhkan dari banyaknya keburukan.


Aku juga akan bilang kepada diriku sendiri.

Tidak apa-apa, ini hanya dunia. Jangan terlalu berlebihan.

Maafkan semuanya. Maafkan mereka, maafkan siapa saja, dan maafkan yang membuatku kecewa. Entah itu yang sifatnya datang dari keadaan yang ada dalam diriku sendiri atau dari orang lain.

Mempunyai ekspetasi itu manusiawi dan kecewa karenanya adalah hal wajar dalam kehidupan yang harus aku jalani, cobalah untuk memaafkan semuanya. 

Maafkan juga diriku sendiri yang mungkin tidak bisa sama dengan orang lain dalam hal apa pun. 

Berterima kasih juga pada diriku sendiri yang sudah bisa tetap berdiri di tengah beratnya kehidupan duniawi.

Semakin ikhlas maka akan semakin tenang. Belajarlah untuk berlapang dada. Karena tidak semua yang aku inginkan itu adalah yang terbaik. Sesulit apa pun keadaanku, ajarilah hatiku agar bisa menerima kenyataan tanpa membencinya.


Dokter pun bertanya tentang hal-hal yang selalu aku suka. 


Aku masih suka membaca dan menulis jurnal pribadi seperti di blog ini. 

Aku sangat menyukai pagi yang tenang tanpa suara. 

Aku juga suka berjalan mengitari banyak tempat hanya untuk berfoto atau sekadar bermain bersama teman, apalagi tempat itu adalah pantai. 

Suka menonton film dan mendengarkan musik dari penyanyi favoritku. 

Suka bertemu dengan orang-orang baru hanya untuk mencari tahu lebih dalam tentang kepribadian mereka. 

Suka berbelanja, nongkrong di cafe murah, sesekali masih suka minum long island, berpesta, pergi ke tempat-tempat hiburan malam di pusat kota.


Kata dia, selama semua itu tidak berlebihan tidak masalah untuk selalu dilakukan. Yang penting semuanya masih dalam batas normal. Memberi kebahagiaan untuk diri sendiri itu tidak mudah. Maka lakukan apa yang bisa kamu lakukan untuk membahagiakan diri sendiri. Bahkan tidak semua orang bisa menciptakan rasa bahagianya seorang diri. Kamu masih lebih baik dari mereka yang memiliki latar belakang yang sama. 


Dokter pun bertanya kembali tentang hal-hal yang tidak aku suka. 


Tentu saja aku tidak menyukai anak kecil. 

Tidak suka datang ke tempat di mana semua orang mengenaliku.

Aku tidak akan pernah menyukai gunung dan tempat dingin. 

Aku tidak suka tampil di depan umum dan tidak suka menjadi pusat perhatian. 

Sejauh ini hanya itu yang tidak aku suka. 


Katanya, tidak perlu melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak aku sukai. Sesekali boleh dilakukan tapi hanya sebatas mencobanya bukan berusaha untuk menyukainya. 


---


Dokter pun kemudian bertanya tentang perjalananku di masa dewasa. 








Sabtu, 26 Oktober 2024

Nugraha is My Name (Part 40)




 PERINGATAN !


Sebelum membaca artikel ini, diharapkan agar pembaca sudah berusia 17 tahun, mempunyai kemampuan untuk menghargai dan menerima juga open minded. 


Karena artikel ini berdasarkan pengalaman pribadi dan terdapat konflik secara mendalam dari konteks, paradigma, opini dan juga akan menyertakan orang-orang yang pernah ada di kehidupan pribadi sang penulis secara jujur yang bisa dikonfirmasi secara komprehensif. 


------- 


Ini adalah hari ke 25 aku pengobatan kembali.

Rasanya lebih baik, tapi ada beberapa memori yang aku rasa sedikit berkurang, entah itu momen yang lama atau momen yang beberapa saat. Aku membutuhkan waktu untuk mengingat sesuatu, tapi tidak dengan masa remajaku. 


Masa remajaku yang belum genap 18 tahun harus ikut serta bertanggung jawab untuk suatu hal yang semestinya tidak pernah aku lakukan. 

Menjadi seorang Ayah? 

Bagaimana mungkin aku bisa menjadi seorang Ayah di usiaku yang disebut dewasa saja belum pantas. Bagaimana mungkin aku bisa menjadi seorang Ayah, figur Ayah saja aku tidak tahu seperti apa bentuk kasih sayangnya. Bagaimana bisa menyayangi dan memperlakukan orang lain seperti anak sendiri, aku sendiri saja masih sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Dan yang lebih tidak pernah aku kira sebelumnya adalah, aku diminta untuk menjadi suami dari seorang teman perempuan yang ditinggal pergi oleh pacarnya.


Anak itu aku beri nama Angga. Angga Nugraha nama lengkapnya.

Apakah aku bisa menjadi seorang Ayah pengganti yang baik? Seingatku, di usiaku yang belum genap 18 tahun itu sudah melakukan yang terbaik untuknya. Aku belajar dari pengalamanku sendiri, aku melakukan hal sebagaimana aku ingin diperlakukan oleh Ayahku. 

Meskipun tidak sempurna, tapi dalam kurun waktu satu tahun itu aku bisa memperlakukan dia seperti anakku sendiri. Karena setelah setahun berjalan, semuanya kembali berantakan.

Aku belajar menerima kenyataan bahwa aku hanya dimanfaatkan oleh seorang perempuan, Ibu dari anak itu. Hingga pada akhirnya perjalanan baru dalam hidupku kembali dimulai.


Setelah beberapa hari dari hari ulang tahun anak itu aku pergi meninggalkan juga melupakan mereka dan kembali melanjutkan masa remajaku yang sempat terhenti. 

Aku bertemu dengan seseorang yang mengenalkanku kepada dunia baru. Dunia yang hingga saat ini masih aku jalani. Dunia yang dengan perjalanan yang sebenarnya sangat berat pada awalnya untuk aku pilih dan aku putuskan untuk mengakuinya, tapi segalanya sudah aku pikirkan dan aku tanggung risikonya. 

Dulu aku sempat menyalahkan dan begitu marah terhadap perempuan itu, tapi dengan seiring berjalannya waktu aku benar-benar bisa menjadi diriku sendiri dengan segala sesuatu tantangan di dalamnya, terutama hubunganku dengan keluarga yang tidak selalu baik-baik saja. 


Aku tidak membenci perempuan, tapi rasa nyamanku sudah beralih bahkan teralihkan oleh pengalaman yang begitu buruk. Diriku yang kini memang sudah memaafkannya, tapi diriku yang kala itu masih remaja tidak pernah menerima diperlakukan dengan begitu rendah oleh seorang perempuan. Perempuan yang aku kira akan memperlakukanku begitu baik seperti yang sudah aku lakukan terhadapnya. Menolongnya, membantunya, menutupi semua aib besarnya, bahkan aku pernah berkali-kali mempertaruhkan nyawa untuk seorang perempuan yang ketika pujaan hatinya kembali datang, yaitu Ayah dari anak itu bersujud untuk meminta maaf karena salama setahun lebih meninggalkan mereka. Aku yang menyadari bahwa keberadaanku tidak lagi berarti di tengah-tengah mereka. 


Mungkin aku bisa disebut seorang laki-laki yang bodoh kala itu. Tapi aku kagum dengan caraku memperlakukan mereka dengan tulus seolah semuanya tidak akan berakhir dan membekas hingga saat ini. Bahkan dari luka itu aku menjadi seseorang yang hampir tidak dikenali sekalipun oleh diriku sendiri. 

Tapi sisi baik dari semuanya adalah aku bisa menggunakan sedikit dari bagian hidupku yang pernah begitu berarti untuk orang lain, meskipun hanya sesaat. 


Masa remajaku begitu menyenangkan. 

Umur 19 tahun, 20, 21, 22, 23, 24 sampai usiaku 25 tahun aku pergunakan untuk mencari jati diri dan memastikan apakah pilihanku kala itu sudah benar-benar bisa aku pertanggung jawabkan secara sadar atau belum. 

Aku bertemu dengan ribuan orang dengan berbagi macam profesi dan karakter. Dari mereka orang-orang yang pernah aku temui, aku bisa belajar bagaimana mengenal sisi baik dan sisi buruk juga bagaimana menebak karakter manusia dari berbagai macam sudut pandang. Bagaimana mereka bercerita, berargumen, berpendapat, memihak, dan dengan seiring berjalannya waktu aku bisa mendalami tentang perasaan orang-orang yang aku temui hanya dari cara mereka berbicara, bagaimana mereka duduk, bagaimana mereka melihat dan memandang, dan aku sangat mahir menebak karakter orang baru yang aku temui. 


Pada tanggal 19 November 2017 aku masih ingat kata-kata dari kakakku, "lebih baik tidak mempunyai adik daripada memiliki adik seorang gay". Itu tepat setelah kepulanganku dari acara 3 harian Kakek meninggal dari Sumedang. Kebetulan pada saat itu aku pergi bersama seseorang yang kala itu baru aku temui. 

Ucapannya itu adalah yang kedua kalinya. Karena yang pertama kali dia mengatakan, "lebih baik adikku menghamili seorang perempuan daripada memiliki adik seorang gay". Itu bulan Juli 2016. Bahkan pernah menyindir di akun facebooknya. 

Dia dengan entengnya mengatakan kalimat-kalimat itu tanpa pernah bertanya bagaimana kabarku selama itu. Bahkan dia tidak pernah bertanya bagaimana perasaanku selama hidup 25 tahun itu. Yang paling mudah saja, dia tidak pernah bertanya apakah aku merindukannya atau tidak. Bagaimana perasaanku begitu terkoyak dari kecil hingga aku bisa belajar berdamai dengan banyak keadaan, berusaha untuk menyeimbangkan mental, menyelaraskan hati dan pikiran agar tetap hidup dengan baik-baik saja tanpa pernah terlihat terluka sedikit pun. 

Keinginan sederhanaku sampai saat ini saja dia tidak pernah tahu. Kenapa dia tidak bertanya?  Dia tidak bertanya berarti sudah jelas dia tidak pernah ingin tahu. Kenapa aku tidak langsung mengatakannya? Bagaimana kalau aku sudah mengatakannya dia memang tidak peduli? 

"Dede hanya ingin dipeluk dan ditanya bagaimana keadaan Dede selama ini".

Aku tahu, usiaku kini sudah tidak lagi muda. Tapi jiwa muda bahkan bagian hidupku yang anak-anak masih tertinggal dan tetap hidup dengan tidak baik-baik saja di belakang sana. 


Dia bahkan orang-orang yang tidak pernah mengerti hanya akan menghakimi bagaimana pilihan hidupku pada saat ini saja tanpa pernah akan peduli bagaimana kehidupanku dulu. 

Banyak dari mereka hanya akan melihat sisi yang disebut salah oleh mereka sendiri tanpa pernah peduli betapa sulitnya aku mencoba berjalan dengan semua beban yang aku tanggung sendiri selama ini.


Aku tidak takut jika harus dijauhi atau kehilangan teman, sahabat, pasangan, saudara dan juga keluarga.

Karena aku lebih takut jika harus kehilangan jati diriku yang apa adanya, yang sesungguhnya, diriku yang ketika berhadapan dengan orang lain tetap menjadi diriku sendiri. 

Aku ingin semua orang melihat siapa dan bagaimana diriku dengan utuh tanpa tutup. 

Aku tidak bisa menutupi masa lalu dan mengada-ada bahkan berpura-pura di masa sekarang. 

Aku ingin dihargai sebagaimana aku menghargai keputusan-keputusan orang lain yang mereka pilih untuk hidupnya.

Lagi pula, yang sayang dan peduli tidak akan pernah meninggalkanku. Mereka tidak akan melihat bagian yang mana dari diriku, entah itu baik ataupun buruk. 

Karena bagiku, penilaian orang terhadapku tidak lagi penting harus seperti apa. Mereka mempunyai hak untuk memutuskan sisi mana yang ingin mereka lihat. 

Dan selama ini aku tidak pernah memperlihatkan sisi yang mungkin bagi sebagian orang disebut "buruk" itu di depan mereka, tidak pernah. 


Semua ini hanya tentang perasaan yang memang tidak pernah bisa aku kendalikan. Perilakuku masih seperti orang pada umumnya yang tetap bisa aku kendalikan. Bahkan aku bisa berperilaku lebih baik dari mereka hingga masih bisa dengan mudahnya untuk memanusiakan manusia dan memperlakukan manusia sebagaimana sesama manusia harus diperlakukan.

Karena banyak di antara manusia yang katanya menyebut mereka si paling taat menyembah Tuhannya tapi masih tetap menyakiti perasaan ciptaan-Nya. 


***


Rabu, 16 Oktober 2024

Nugraha is My Name (Part 39)




PERINGATAN !


Sebelum membaca artikel ini, diharapkan agar pembaca sudah berusia 17 tahun, mempunyai kemampuan untuk menghargai dan menerima juga open minded. 


Karena artikel ini berdasarkan pengalaman pribadi dan terdapat konflik secara mendalam dari konteks, paradigma, opini dan juga akan menyertakan orang-orang yang pernah ada di kehidupan pribadi sang penulis secara jujur yang bisa dikonfirmasi secara komprehensif. 


-------


Masa remajaku, di mana aku ingin mengetahui banyak hal, mulai mengenal banyak hal dan pertama kalinya banyak hal itu aku lakukan.

Masa remajaku dimulai dari...


Kenapa aku kembali ke psikiater? 

Sebelumnya, pada tahun 2015 sejak aku didiagnosa sebuah penyakit untuk pertama kalinya, aku sudah rutin bertemu dengan psikolog untuk berkonsultasi atas saran dari Dokter Penyakit Dalam. Tapi hanya ditanya tentang perasaan dan kabar beberapa hari ke belakang, apakah ada keluhan dan efek dari minum obat, dll. Dan memang hanya sebatas itu saja, tidak lebih, apalagi sampai mendalam. 

2015 - 2022 aku merasa baik-baik saja. Tapi pada kenyataannya justru sebaliknya. Sudah sejak lama aku tidak bisa tidur tanpa alkohol. Aku merasa harus menghilangkan kebiasaanku itu. Aku tidak bisa tidur tanpa minum alkohol terlebih dahulu kala itu. Kalau pun bisa tidur ya aku harus berjuang keras untuk itu. 

Pada tahun 2022 akhir, aku disarankan untuk pergi ke psikiater oleh salah satu saudara jauhku. 

Kurang lebih 6 bulan aku bisa menghilangkan kebiasaanku itu. 


Sekarang kenapa? 

Pada awal tahun 2024, telinga sebelah kananku kurang jelas mendengar. Sudah sejak lama, tapi memang tidak separah itu. Kejadiannya persis setelah kepulanganku dari acara jalan-jalan bersama seseorang. 

Setelah diperiksa di RSHS, ternyata telingaku hearing loss alias ketulian. Dan Dokter menyarankan untuk dioperasi saja, karena alat bantu dengar tidak akan bisa  berfungsi dengan maksimal. 

Sebenarnya aku sudah bersedia, tapi pada saat itu kebetulan aku sedang dijadwalkan untuk ke Poli Bedah Plastik bahkan sudah ada di tahap untuk operasi. Jadi, pengobatanku dengan THT hanya sebatas obat dan ditunda dulu sampai batas dari satu operasi ke operasi lainnya kurang lebih 3 sampai dengan 6 bulan. Karena sudah aturan dari bagian anastesinya seperti itu. Tapi aku kurang begitu paham juga. 


Juli 2024 aku pindah ke daerah Banjaran yang notabenenya sudah jelas jauh dari RSHS. Bahkan semua pengobatanku aku pindahkan ke daerah Kabupaten Bandung. 

Pada pertengahan bulan September, aku mendapat telepon dari Dokter THT RSHS. Dia menanyakan perihal kelanjutan dari rencanaku untuk operasi telinga. 

Aku jawab saja kalau aku sudah tidak tinggal di kota Bandung lagi. 

Akhirnya dia menyarankan agar aku melanjutkan pemeriksaan telingaku ke RS Otto Iskandar Dinata Soreang. 

Singkat cerita, aku sudah ada di poli THT RS Otto Iskandar Dinata. 

Setelah aku berkonsultasi dan menerangkan keadaanku semuanya, dia bertanya tentang kebiasaan burukku belakangan ini. 

Aku sudah lama tidak bisa tidur tanpa mendengarkan suara entah itu musik atau orang bercerita melalui earphone/ handsfree. Aku tidak bisa tidur tanpa ada alat itu menempel di telingaku. Dan itu berlangsung sudah sejak lama. Selain sedang tidur, aku juga selalu memakainya ketika sedang di perjalanan dan sedang menulis atau membutuhkan konsentrasi yang lebih. Fokusku memang selalu terbelah bahkan bercabang entah ke mana dan seperti apa. Ide-ide dan pikiranku selalu tak terkendali. Mereka mempunyai kemampuan yang lebih dari diriku sendiri. Badanku terlalu lemah untuk mengimbangi antara pemikiran dan perasaan, ataukah mungkin sebuah kegelisahan? 

Dokter THT pun tidak bisa melanjutkan pemeriksaan lebih lanjut. Karena kata dia, percuma telinganya disembuhkan tapi penyebabnya tidak dihilangkan. 

Akhirnya aku disarankan untuk pergi ke psikiater agar aku bisa menghilangkan kebiasaanku yang tidak bisa tidur tanpa memakai earphone/ handsfree. 


 Aku mendapatkan saran dari Dokter umum di faskes 1. Akhirnya aku dirujuk ke RSUD Al-Ihsan. Dan pada tanggal 1 Oktober aku harus kembali bertemu dengan psikiater lagi setelah sekian lama tidak. 


Aku pikir treatment-nya akan sama dengan Dokter yang di RSHS pada 2022 lalu, ternyata kali ini berbeda. 

Dulu aku ingin menghilangkan ketergantunganku dari alkohol. Yang ditanyakan oleh Dokter adalah sejak kapan, seberapa banyak dan seberapa sering, di mana dan dengan siapa. Just that. 

Aku diberi obat penenang dan disarankan untuk tidak bertemu dengan teman-teman yang mempunyai kebiasaan yang sama, pindah lingkungan, mengalihkan fokus ke hal-hal lain jika keinginan untuk meminum minuman beralkohol sedang ada dalam pikiran. Dan mulai sejak itu aku selalu memakai earphone/ handsfree sebagai pengalihannya. 

Semua itu berhasil. 

Tapi kali ini yang ditanyakan pertama  oleh Dokter adalah tentang pengasuhan. Salah satunya adalah aku harus menceritakan tentang masa kecilku, terutama hubunganku dengan orang tua dan keluarga. 

Ya, aku sempat menjawabnya bahwa masa kecilku memang tidak terlalu baik-baik saja, tapi itu masa lalu. Diriku yang sekarang sudah menerima dan berdamai bahkan memaafkan masa lalu itu. 

Tapi dengan tegas Dokter itu menjawab bahwa mungkin memang benar diriku yang sekarang sudah menerima, berdamai juga memaafkan masa laluku, tapi diriku yang pada saat itu masih kecil yang sudah jelas diriku itu mengalami dan merasakannya sendirian pada waktu itu, tanpa keberadaanku yang sudah bisa berpikir seperti sekarang ini. 

Diriku yang sekarang terlihat baik-baik saja, tapi jiwa anak kecil yang dulu hidup di masa itu tetap belum menerima, belum berdamai dan belum bisa memaafkan kenyataan yang terjadi pada saat itu. Lukanya tidak tampak terlihat, tapi rasanya masih tersisa saat aku melihat anak-anak yang seumuran dengan diriku pada saat itu. 


Mungkin bagi sebagian orang hal seperti ini tidak berarti apa-apa, tapi bagiku hal seperti ini menjadi sesuatu yang harus benar-benar aku ungkapkan. Secara tidak langsung bahwa semua ini bisa membantuku melewati fase terendah dalam perjalanan hidupku. Menulis adalah salah satu terapi terbaikku. 


15 Oktober 2024.

(Setelah dicabut gigi di PKM, tadi siang aku pergi ke cafe di daerah Soreang yang letaknya di atas bukit bersama temanku. Selain untuk bergosip dan makan tentunya, kami juga selalu berfoto. Beberapa jam yang lalu aku membuat video hasil editan alakadarnya. Setelah itu aku melihat beberapa hasil foto yang tampak terlihat jelas wajahku tersenyum ke kamera. Apa arti senyuman itu? 

Yang pasti aku berterima kasih kepada diriku karena sudah bisa sejauh ini berjalan dan bertahan juga mempunyai keinginan menjadi lebih baik untuk ke depannya.)


Masa remajaku dimulai dari ingatanku ketika masa SMP sampai usia 20an.

Masih ingat betul saat itu aku sedang kelas 2 SMP. Aku pergi dari rumah untuk pertama kalinya sendirian menuju rumah kakak sepupuku, A Erus yang ada di Pasir Pariuk. 

Dengan mengandalkan ingatan yang masih jelas tertulis di memori terdalamku, aku mengingat semua yang terjadi di sana. 

Diriku yang kala itu ingin diperlakukan berbeda dari biasanya, berharap mereka akan menerimaku lebih dari orang tuaku di rumah, ternyata ekpektasiku kembali hancur, bahkan sedikit berantakan. Pada kenyataannya mereka berdua baru memulai rumah tangga, baru memiliki anak, baru menata ini dan itu. Kehadiranku yang pada saat itu sedang haus akan perhatian dan kasih sayang seperti yang aku mau, dan yang aku dapatkan adalah sebaliknya. Diriku yang sekarang sangat tahu dan paham betul situasi kala itu, tapi diriku yang hidup di tahun 2005 - 2006 belum bisa memahami dan mengerti semua itu. 

Sebenarnya mereka itu perhatian dan sayang dengan cara mereka sendiri. Tapi tanpa senyuman, tanpa kelembutan, tanpa mendalam seperti yang selalu aku harapkan. Keras dan tegas yang malah aku dapatkan. Aku bukan pribadi yang seperti itu bahkan sampai saat ini pun masih sama. Aku selalu tidak tega melihat anak kecil atau orang yang diperlakukan dengan cara dan nada tinggi bahkan kasar. Aku pernah mengalaminya sendiri dan itu tidak membuatku nyaman apalagi menjadi lebih baik. 

Seperhatian dan sesayang mereka dengan caranya tersendiri itu, mereka tidak pernah tahu kalau aku pernah dilecehkan secara seksual oleh seseorang yang berada di lingkungan itu. Bahkan orang itu hidupnya terlihat baik-baik saja sampai sekarang. Tentu saja aku mempunyai bukti untuk hal itu yang sudah aku simpan rapat untuk sesekali dibuka jika diperlukan bahwa semua tulisanku tetap terjamin kebenaran dan keasliannya. Diriku yang sekarang memaklumi dan menerima kenyataan itu, tapi diriku yang dulu sudah pasti menyimpan trauma yang luar biasa. 

Sekarang aku selalu khawatir dengan orang-orang yang ada di sekitarku, aku takut mereka mengalami hal yang serupa denganku dulu. Sebisa mungkin aku akan menjaga mereka entah siapa pun yang dekat denganku agar tidak seperti diriku dulu. Dalam keadaanku yang seperti ini aku tidak akan pernah terima jika orang terdekatku bahkan keluargaku sampai ada yang menyentuh atau dilecehkan entah secara seksual atau sekadar verbal. 


Masa remajaku kembali berlanjut. 

Lulus dari SMP di Banjaran, aku memasuki masa SMA di mana semua hal yang selalu aku ingin tahu aku lakukan untuk pertama kalinya. 

Merokok, meminum minuman beralkohol, seks, dll. 

Masa awal SMA itu hal yang mungkin pengalaman terliar untuk diriku kala itu. 

Kehidupanku menjadi sangat bebas ketika jauh dari orang tua, tentu saja. Masuk sekolah juga sesuai keinginanku. Tiada hari tanpa alkohol bersama teman-teman satu kontrakanku dulu di daerah Cisewu Garut. 

Satu tahun berlalu begitu saja. Karena pada akhirnya aku kembali harus tinggal bersama orang tuaku. Tapi kali ini aku tinggal bersama Ayah dan Ibu tiriku. Bersekolah kembali ke kelas 1 SMA karena pada saat itu Ayahku baru mendirikan sekolah baru. 

Apakah bahagia? 

Tentu saja tidak. 

Ayahku yang memiliki jiwa kepemimpinan tanpa bantahan. Keras dan tegas masih menjadi bagian dari lingkungan kehidupanku kala itu. Memberi saran adalah hal pertama yang dia lakukan. Harus begini dan begitu seterusnya sampai aku merasa muak untuk tinggal di sana. Dia lupa bahwa ada satu hal penting yang terlewatkan olehnya, yaitu mendengarkan apa mauku.

Belajar menulis dan membaca juga bekerja itu rasanya hampir di semua sekolah sudah diajarkan, tapi belajar mendengarkan orang lain itu tidak pernah ada pelajarannya. 

Aku pikir dia bukanlah pendengar yang baik, bahkan keinginan untuk mendengar pun tidak ada dalam kamus hidupnya. Karena pada kenyataannya aku tidak pernah bisa mengungkapkan apa mauku. Jangankan untuk mengungkapkan banyak perasaan, untuk berbicara kepadanya yang penting saja sudah aku olah kata-katanya sedemikian rupa agar tidak menjadi sebuah kesalahan. Karena dia pribadi yang sangat judging. Mentalku sudah hancur sejak dini. Apakah dia sadar dan tahu? Lihat keadaanku sekarang. Apakah aku baik-baik saja? Dari penampilan mungkin bisa terlihat luar biasa, tapi di dalam sini betapa berantakannya semua itu. 


Akhirnya aku pergi dari rumah dan memutuskan untuk mencari uang sendiri tanpa ijazah SMA bahkan KTP sama sekali. Umurku saat itu baru 16 tahun. 

Pergi ke kota Bandung bermodalkan ijazah SMP. 

Kota Bandung pada saat tahun 2007 - 2008 itu adalah kota yang besar bagiku. 

Kehidupanku di luar sana tidak baik-baik saja, sudah pasti. Meskipun memiliki keinginan dan tekad yang kuat, tapi kemampuanku untuk bersosialisasi belum semahir sekarang. Hidup di jalanan dan bertemu teman-teman baru adalah hal yang menakutkan sekaligus menyenangkan untuk anak yang baru berusia 16 - 17 tahun. 

Di jalanan aku mengubah riwayat hidupku, latar belakang keluargaku termasuk namaku hingga menjadi Nugi Nugraha sampai sekarang. 

Teman-temanku yang sampai sekarang masih bertemu pun belum tahu kalau Ayahku dan banyak di antara keluargaku bergelut di dunia pendidikan, yaitu guru. 

Aku benar-benar menutupi seluruh bagian hidupku yang sebenarnya dari teman-temanku. Bahkan kepada teman terdekatku sekalipun.

Dalam kurun waktu itu aku pergi ke banyak kota dan tempat. Bandung, Jakarta, Pangandaran, Bekasi, Tangerang dan beberapa kota lainnya. Terkadang aku masih pulang ke rumah. Tapi rumah dan apalagi sekolah sudah bukan menjadi tempat yang membuatku nyaman lagi. Karena kehidupanku menjadi sangat luar biasa bahagia ketika berada di luar sana. Aku bisa bekerja dan hasilnya bisa aku pergunakan sesuai dengan keinginanku yang tidak bisa aku dapatkan dari orang tuaku, dari keluargaku. 


Memasuki usiaku yang belum genap 18 tahun, aku mempunyai kebiasaan yang mungkin untuk anak-anak remaja sekarang itu menjadi hal yang biasa saja. Yaitu aku suka pergi ke tempat hiburan malam. Pergi jam 10 malam dan pulang pada keesokan harinya. Entah terbangun di kost siapa, apartment siapa, rumah siapa, hotel siapa, bahkan beberapa kali aku terbangun di parkiran dengan baju yang penuh bekas muntahan. 

Kehidupanku kala itu benar-benar membahagiakan. Menurutku yang kala itu.

Karena aku bisa melakukan apa saja tanpa ada yang melarang apalagi bisa menghakimi. Aku benar-benar menikmati masa kehidupanku pada saat itu. 


Pada suatu malam di bulan Maret 2010, ketika aku sedang melakukan kegiatan rutinku yaitu menikmati malam yang besar kemungkinannya akan benar-benar luar biasa menyenangkan, tiba-tiba aku mendapat telepon dari seseorang yang mengabarkan bahwa teman perempuanku akan segera melahirkan. 


Dan dimulai dari saat itulah kehidupanku kembali berubah 180 derajat. Karena aku harus menjadi seorang Ayah dari seorang anak yang bukan darah dagingku. 


Masa remajaku yang belum genap 18 tahun harus ikut serta bertanggung jawab untuk suatu hal yang semestinya tidak pernah aku lakukan. 

Menjadi Ayah? Bagaimana mungkin aku bisa menjadi seorang Ayah, figur Ayah saja aku tidak tahu seperti apa bentuk kasih sayangnya. Bagaimana bisa menyayangi dan memperlakukan orang lain seperti anak sendiri, aku sendiri saja masih sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Dan yang lebih tidak pernah aku kira sebelumnya adalah, aku diminta untuk menjadi suami dari seorang teman perempuan yang ditinggal pergi oleh pacarnya. 


***


Anak itu aku beri nama Angga, Angga Nugraha nama lengkapnya. 

Rabu, 02 Oktober 2024

Nugraha is My Name (Part 38)



PERINGATAN !


Sebelum membaca artikel ini, diharapkan agar pembaca sudah berusia 17 tahun, mempunyai kemampuan untuk menghargai dan menerima juga open minded. 

Karena artikel ini berdasarkan pengalaman pribadi dan terdapat konflik secara mendalam dari konteks, paradigma, opini dan juga akan menyertakan orang-orang yang pernah ada di kehidupan pribadi sang penulis secara jujur yang bisa dikonfirmasi secara komprehensif. 

 

-------


Apa kabar diriku yang sekarang? 


Aku mau bilang baik-baik saja tapi pada kenyataannya aku sedang tidak baik-baik saja. Aku mau bilang tidak baik-baik saja tapi semuanya tampak terlihat baik-baik saja. Sementara aku akan menjawab sejauh ini aku baik. 


Setelah aku bertemu dengan Dokter, aku dibawa ke masa sekarang lalu dibawa meloncat ke masa di mana aku bisa mengingat hal yang paling awal yang bisa aku ingat. Ingatan terjauh pertama yang bisa aku ingat adalah ketika aku berada di rumah sakit bersama kakak sepupuku, A Erus. Ada selang infus di tanganku, dalam bayanganku sekilas melihat beberapa sosok tapi tidak ingat siapa mereka. 

Pada saat itu mungkin usiaku di bawah 2 tahun. Aku cukup pandai mengingat beberapa kejadian dan banyak peristiwa yang terekam di memori terdalamku. 


Kehidupanku pada saat masih kecil sepertinya cukup merepotkan. Merepotkan banyak orang di mana aku yang menginginkan sosok seorang Ibu. Aku tahu Ibuku kala itu sakit, bahkan sebelum mereka tahu aku ada dalam rahimnya pun dia sudah dalam keadaan sakit. Hingga aku lahir dan aku malah harus dibawa tinggal bersama Mamah AKA Ua-ku. Aku tidak tahu bagaimana rindunya diriku kala itu kepada Ibu. Diriku kala itu hanya seorang anak yang belum mengerti apa-apa, dia butuh dekapan seorang wanita yang melahirkannya, ingin bisa memeluknya, bercerita apa saja kepadanya, diriku yang kala itu tidak mendapatkan perhatian dan kebahagiaan dari sosok Ibu yang dia inginkan. 

Aku mempunyai Mamah, memang. Tapi diriku pada saat itu masih anak kecil yang unik dan berbeda dari anak yang lainnya. Dia yang suka diperlakukan lembut dan segalanya pelan bahkan perlahan. Sedangkan Mamah dengan karakternya yang tegas dan keras. Jangankan sikap yang lembut, pelukan saja rasanya aku tidak pernah merasakannya. Selain itu juga keadaan ekonomi yang belum seperti sekarang. Diriku yang dulu selalu ingin jajan karena melihat teman-temannya yang jajan. Makan juga seadanya di rumah. 

Aku tahu, kalau dalam pemikiran sekarang sudah bersyukur bisa makan juga. Tapi diriku yang dulu hanya seorang anak kecil yang belum paham. 


Tentang Ayah. 

Ketika dia tahu aku tumbuh menjadi janin di rahim Ibuku yang sedang dalam keadaan sakit, dia harus segera kembali kepada Istri barunya yang kebetulan tengah mengandung juga kala itu. Tabiat seorang laki-laki memang tidak selalu jauh dari nalurinya tentang hasrat. Seorang Istri yang sedang sakit saja masih tetap dia gauli bahkan masih mendekati perempuan lainnya. 

Laki-laki tidak pernah puas, laki-laki tidak cukup dengan satu perempuan. Itulah yang membuat diriku tidak pernah setia dengan satu pasangan. 

Aku bisa mengatakan sayang dan cinta kepada seseorang tapi hatiku entah sedang memikirkan manusia yang mana. 


Ayahku cukup bertanggung jawab. Dia begitu pintar dalam segala hal. Mengajari orang lain banyak hal yang sebenarnya sudah dia kuasai, memberi nasihat, memberi pendapat, dan dia sosok Ayah yang baik untuk anak-anaknya. Begitulah gambaran dia di mata orang lain. 

Di mataku? Dia Ayah yang gagal. Dia mengecewakan, dia yang sampai saat ini di usiaku setengah darinya saja masih membuatku sedih jika aku memikirkannya. 

Aku tidak ingin pemberiannya, hartanya, aku tidak munafik jika memang dia memberikannya aku akan menerimanya. Tapi dia melewatkan banyak hal untuk diriku sampai saat ini saja belum pernah dia katakan. 

Pertama, dia tidak pernah memujiku. 

Aku tahu, aku tidak seperti anak orang lain yang bisa sukses dan membanggakan keluarga ini dan itu. Tapi dia tidak tahu aku bisa bertahan sampai sejauh ini saja aku sudah lebih dari hidup. Aku bisa membuat senyuman saja aku sudah berjuang keras untuk itu. 

Aku tidak akan membalikkan pertanyaan, kenapa Ayah tidak seperti Ayah orang lain yang selalu mengapresiasi hal-hal kecil dari anaknya? Bahkan bisa menjaga nama baik Ayah saja sudah lebih dari apa pun bagiku.

Kedua, aku ingin Ayah meminta maaf dan berterima kasih kepadaku. 

Apakah Ayah tidak pernah bersalah kepadaku? Kepada anak-anakmu? 

Apakah hanya anak-anakmu yang selalu salah kepadamu, Ayah? 


"Pap, keinginan terbesar dalam hidup Dede sejauh ini bukan ingin pergi ke tempat yang jauh, liburan ke mana, membeli barang-barang mahal, atau keinginan-keinginan lain seperti orang pada umumnya. Dede hanya ingin kita duduk berdua dan Papap bertanya sama Dede tentang apa yang selama ini Dede alami, Dede rasakan, dan apa yang Dede inginkan dari Papap. Hanya itu. Dan jika Papap bertanya apa maunya Dede, Papap pun sudah tahu itu".


Tapi aku sudah banyak belajar tentang berkehidupan bahwa tidak semua keinginan harus terwujud. 

Aku memaafkan orang-orang dengan keadaan dan sebuah pengertian yang aku ungkapkan. Aku sangat memaklumi semuanya untuk saat ini.


Trauma membentukku menjadi pribadi yang mungkin tidak terlalu stabil tapi dari trauma itu aku bisa merasakan bagaimana keadaan orang lain yang sejauh ini selalu aku temui dalam perjalanan hidupku. 

Aku tidak menyukai anak-anak kecil yang rewel dan crewet juga membuat repot, tapi aku tidak pernah membencinya. Justru aku menyayangi mereka seperti aku melihat kilasan diriku yang masih kecil pada saat itu. Aku bisa dekat dan ramah dengan anak-anak bukan karena aku sudah pantas menjadi seorang Ayah, tapi jauh di lubuk hatiku aku ingin diperlakukan seperti itu oleh orang lain. 

Aku memberi mereka uang jajan entah beberapa ribu, berarti aku mengobati masa kecilku yang tidak mendapatkan itu semua. 

Aku selalu bertanya keadaan mereka dengan hal-hal kecil entah basa-basi atau memang sesuatu yang serius, itu berarti aku sedang bertanya dengan diriku yang kala itu tidak pernah ditanya bagaimana keadaanku. 

Memuji mereka siapa pun yang aku temui dengan hal-hal yang sebenarnya biasa saja, tapi pada kenyataannya itu bisa berdampak positif terhadap mereka ke depannya. 


Dalam diriku tertanam rasa peduli yang luar biasa. Tidak dipungkiri mereka juga menjadi sosok yang memberi contoh baik kepadaku ketika aku masih dengan polosnya dan bertanya dalam diri sendiri, kenapa harus membantunya?


Apa yang terjadi sekarang adalah bentuk dari kehidupanku di masa lalu. 

Dan aku berusaha untuk hidup dengan baik agar kehidupanku ke depannya lebih baik lagi. 


...


Ingatanku mulai dibawa ke masa remaja. 


Masa remajaku, di mana aku ingin mengetahui banyak hal, mulai mengenal banyak hal dan pertama kalinya banyak hal itu aku lakukan. Hingga menambah kepribadianku pada saat ini. 


Masa remajaku dimulai dari....