Official Blog of Nugi Nugraha || Member of Google Corp & Blogger - Since 2011 || Copyrights 2011 - 2024 by Personal Blog & Google

Kamis, 11 Juli 2024

Nugraha is My Name (Part 35)



PERINGATAN !



Sebelum membaca artikel ini, diharapkan agar pembaca sudah berusia 17 tahun, mempunyai kemampuan untuk menghargai dan menerima juga open minded. 

Karena artikel ini berdasarkan pengalaman pribadi dan terdapat konflik secara mendalam dari konteks, paradigma, opini dan juga akan menyertakan orang-orang yang pernah ada di kehidupan pribadi sang penulis secara jujur yang bisa dikonfirmasi secara komprehensif. 

 

-------


Aku tidak berharap banyak kepada kehidupan. Aku hidup karena aku masih hidup.


-------


Umurku mungkin sudah dewasa bahkan sudah bisa menjadi seorang Ayah, tapi sejujurnya aku masih tetap membutuhkan figur Ayah.

Sedewasa ini aku masih ingin ditanya kabar, ditanya mau pergi ke mana, ditanya mau pulang jam berapa, ditanya pergi bersama siapa, masih ingin dimarahi, dinasehati, aku melewatkan momen itu dan bahkan kehilangan semuanya.


Apakah aku merindukannya? 

Tidak. Karena ada kata percuma dari sebuah harapan tanpa suatu kepastian. Sejauh ini aku sudah memutuskan sendiri, berjalan sendiri, menanggung semuanya sendiri, dan semuanya terlihat baik-baik saja karena bertahan sendiri. 


Di saat orang-orang sudah membanggakan diri atas keberhasilan juga pencapaian-pencapaian dalam hidupnya, sedangkan aku masih berjuang keras untuk tetap bertahan agar mental sehat dan baik-baik saja hampir setengah mati memperjuangkannya. Bahkan berusaha menciptakan kebahagiaan dari hal-hal yang mungkin bagi sebagian orang itu akan biasa saja. Berusaha tersenyum dan menertawakan kelucuan dari perjalanan hidup sendiri saja seperti hal yang mungkin akan mengerutkan kening bagi sebagian orang. Sebagian orang yang tidak pernah mengalami dan mengerti bahwa berjuang sendiri itu sangat melelahkan. 


Seiring berjalannya waktu dan atas semua perjalanan hidup yang sudah pernah aku lalui, seharusnya aku fokus kepada kehidupan dan diriku sendiri, tapi aku malah memiliki rasa ingin bertanya kabar dan keadaan orang lain, mencoba menerima orang yang datang entah mereka yang kesepian, terluka bahkan yang merasa kehilangan. Menemaninya, menyembuhkan, berusaha selalu ada ketika dibutuhkan bahkan hadir di tengah hidup mereka, padahal pada kenyataannya aku juga sedang membutuhkan hal seperti itu dari orang lain.


Bohong jika aku berkata bahwa aku baik-baik saja. Dibalik tawaku, ada beberapa kejadian yang masih terus berputar dalam ingatanku, tapi harus aku kendalikan agar aku tidak membenci manusianya. Karena aku selalu percaya dengan hukum alam.

Hukum alam tidak pernah bercanda, kamu jahat kepada orang, kamu mempermainkan hati orang, kamu memperlakukan seseorang dengan tidak baik, berarti kamu siap dipermainkan semesta.

Dan usahakan untuk tidak marah, jangan menangis nantinya, terus menyalahkan semesta itu jahat. Karena memang semuanya kamu yang memulai, semesta itu adil, semesta hanya membalas sesuatu yang perlu dia balas. 

Dan aku sempat berpikir, apakah aku sedang menerima hukum alam atas perilaku seseorang yang sejatinya keadaan dia sekarang sedang pura-pura baik-baik saja? 

Apakah benar dia setenang dan setidak peduli itu? Apakah tidak pernah terlintas sedikitpun penyesalan dalam dirinya atas perilaku dia dimasa lalunya? Apakah dia sudah benar-benar lupa atas apa yang terjadi di kehidupan lamanya? 


Aku selalu merasa bahwa pada akhirnya aku ini adalah sosok berbeda yang mungkin akan berakhir menghabiskan waktuku sendirian selamanya.

Itulah mengapa saat ini aku begitu sibuk melatih diri agar bisa bertanggung jawab dan menjadi semandiri mungkin dalam memenuhi setiap kebutuhan, dalam menghadapi setiap kemungkinan, mempersiapkan setiap tahapan dan dalam menjalani apa pun yang ada di hidupku, entah itu sekarang atau di waktu yang akan datang.

Dan pada akhirnya akulah yang memilih jalan ini. Ini semua aku lakukan karena aku hanya dihadapkan dengan dua pilihan, yang pertama, tetap berjalan dengan kondisi seadanya,

yang kedua, aku berhenti melakukan segalanya.

Tapi aku memilih untuk tetap melanjutkan perjalanan dengan kondisi alakadarnya. Karena bagiku, berhenti bukan sebuah solusi.

Lantas, jika di perjalanan aku kesakitan, apakah semua itu karena memang salahku? 


Sekarang aku masih berusaha untuk menata ulang kembali yang berantakan, aku memilih berdamai dan mengikhlaskan dengan banyak hal yang tidak bisa aku paksakan.

Mungkin ada beberapa bagian yang menyakitkan, tapi cukup menjadi pelajaran. Karena tidak ada yang namanya sia-sia. 

Mungkin dibalik kepribadianku yang selalu dicap buruk ini, tidak ada seorangpun yang tahu betapa kerasnya aku berjuang untuk melewati semuanya dan berdamai dengan diri sendiri.


Tapi apakah aku benar-benar harus berjalan sendirian? 

Sebelum perjalanan ini usai, dibalik semua perlakuanku kepada orang-orang, aku menemukan kerendahan dan pengakuan juga rasa sadar bahwa dalam hidup, aku tidak harus selalu terlihat kuat, bahkan di hadapan orang yang mencintaiku sekalipun. Aku tidak harus menyimpan semuanya sendirian. Aku akan mencoba untuk berbagi, membagi cerita rumitku kepada orang yang aku percaya.

Aku bukan malaikat, aku diciptakan dengan memiliki rasa lelah. 

Aku tidak ingin memikul dunia ini sendirian. Aku tidak akan sanggup, jiwaku tidak akan mampu menahan semua rasa sakit.

Ketika tidak ada lagi hal yang bisa aku perjuangkan, dan aku sampai merasa ada di titik paling kelam di dalam hidup, aku akan keluar dari kamarku, mendatangi orang yang mampu berbagi lelah atas ceritaku, bunuh diri tidak akan membuatku tenang, melukis tanganku dengan silet tidak akan menyelesaikan masalahku, meminum anggur hanya memudarkan bukan menghilangkan. 


Tapi permasalahannya adalah, apakah akan ada orang yang bisa menerima semua yang ada dalam diriku sepenuhnya? 


---


Gagal menjadi anak, gagal menjadikakak, gagal menjadiadik, gagal menjadipasangan, gagal menjadiAyah, tapi aku tidak ingin gagal menjadi diri sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar kamu disini!👇✌️😁