Official Blog of Nugi Nugraha || Member of Google Corp & Blogger - Since 2011 || Copyrights 2011 - 2024 by Personal Blog & Google

Kamis, 05 September 2024

Nugraha is My Name (Part 37)




PERINGATAN !


Sebelum membaca artikel ini, diharapkan agar pembaca sudah berusia 17 tahun, mempunyai kemampuan untuk menghargai dan menerima juga open minded. 

Karena artikel ini berdasarkan pengalaman pribadi dan terdapat konflik secara mendalam dari konteks, paradigma, opini dan juga akan menyertakan orang-orang yang pernah ada di kehidupan pribadi sang penulis secara jujur yang bisa dikonfirmasi secara komprehensif. 


 -----


Abadilah dalam keasingan, bahkan jika semesta mempertemukan kita kembali, aku akan menghindarimu bahkan akan menganggap bahwa kamu telah mati ditelan bumi.


-----


Bukan masalah siapa yang terkuat dan bertahan, bukan juga tentang lelah dan menyerah, tapi ini tentang sebuah pilihan, apakah ingin bahagia atau sebaliknya?


***


Tentang pernikahan?


Semua ini hanya tentang asumsi diri pribadi, tidak berniat untuk membandingkannya dengan orang-orang yang sudah menjalani pernikahan. 

Dan ini juga tentang pilihan pribadi bukan untuk mempengaruhi atau membuat orang lain menjadi labil atau menyesal karena sudah membuat pilihan untuk menikah.


Semua kembali kepada bagaimana setiap orang mengartikan dan menjalani apa yang sudah dia pilih, even itu sebuah komitmen atau sampai ke jenjang yang namanya pernikahan. 


Aku pernah melakukannya 14 tahun yang lalu, yang aku alami saat itu adalah salah satu yang mendasari apa yang menjadi pilihanku saat ini. Mungkin memang belum sepenuhnya didasari ilmu dan pengetahuan apa itu arti dan tujuan untuk apa sebuah pernikahan dilakukan. Dulu, memang bukan atas dasar suka ataupun cinta apalagi sampai ke tahap yang katanya untuk sebuah ibadah, ah.. tidak akan cukup jika aku tulis lagi di sini. 


Bagiku, menjalin sebuah hubungan dengan orang lain adalah unsur terberat dalam hidup manusia. Selain banyak halangan dan rintangan, tapi juga akan mengorbankan banyak waktu, menunda bahkan melenyapkan banyak impian, menambah beban pikiran, banyak hal yang harus dipikirkan, harus ada obrolan, diskusi, negosiasi, berbagai kesalahan, meluangkan waktu untuk meminta maaf, dan berbagai macam hal yang mungkin lebih tidak menyenangkan dan menjadi sesuatu yang membingungkan pada kenyataannya. 

Dan aku pribadi tidak memilih untuk ke jalan itu lagi (pernikahan/ komitmen). Selain terlalu banyak kaca yang aku lihat, aku lebih fokus untuk diriku sendiri tanpa harus memasukkan orang lain dalam sebuah ikatan janji sehidup semati. 


Mungkin bisa saja kamu meninggalkan janji dan sumpah yang sudah pernah kamu ucapkan itu, tapi apakah keduanya akan meninggalkanmu? Tidak ada pilihan terbaik selain tetap berusaha menjaganya atau berpura-pura baik-baik saja jika memang pada kenyataannya tidak seperti yang kamu harapkan.

Dan ketika ada salah satu dari janji dan sumpah yang dilanggar, maka sudah dipastikan bahwa hal buruk akan terjadi dengan cepat atau secara perlahan. 


Aku pribadi tidak ada masalah dengan orang-orang yang memilih untuk menikah, apalagi dengan tujuan yang bagus dan lebih mulia. Lebih bagus lagi jika mereka berhasil dengan pernikahannya. Mereka having fun untuk menjalaninya and it's their choice, but not for me. Karena aku tahu, pada akhirnya semua orang akan mati sendirian dan kesepian. 


Tidak sedikit yang berhasil dengan pernikahannya, tapi aku melihat sisi buruk dari pernikahan dan banyak hal yang tidak baik yang mereka tutupi dari semua itu. 

Aku bukan pembaca pikiran, tapi mataku masih sehat jika harus melihat semua gambaran yang ada. 


Aku sudah bahagia dengan apa yang sudah aku putuskan. Aku tidak mau meminta lebih lagi dan lagi. Karena aku tidak siap jika harus menanggung harga yang harus aku bayar. Iya, semua ada harganya, apa yang aku minta akan ada konsekuensinya. 


Tuntutan?

Karena keluarga, karena umur, karena lingkungan, karena agama, karena ingin bahagia?



Karena keluarga.


Memangnya apa hubungannya pernikahan dengan keluarga? 


Aku pribadi tidak rela mempertaruhkan hidupku demi keluarga hanya untuk sebuah pernikahan. I love myself. 


Ketika kamu dituntut menikah oleh keluarga, biaya ini itu semuanya mereka tanggung, bahkan sampai keseharin kamu pun mereka tanggung hanya agar kamu menikah. Apa yang kamu dapat? Pujian karena menuruti apa kata mereka? Bagaimana dengan hati kamu?


Bagaimana hari-hari kamu bersama pasanganmu? 


Bagaimana kalau tidak cocok? Oh pasti ada jawaban "yang namanya hubungan pasti ada tidak cocoknya". So, kenapa harus mencocokkan apa yang tidak semestinya? Kenapa susah payah mencari solusi dari sesuatu yang sudah jelas tidak selayaknya untuk dipecahkan? Kenapa mau seribet itu?



Karena umur.


Umur sekian perempuan harus menikah. Umur sekian pria harus sudah menikah. 


Why? 


Kenapa harus ada batasan? 



Karena lingkungan.


Melihat orang-orang di sekitar kamu sudah menikah dan menimbang anak, mengantar anaknya ke sekolah, hamil lagi, biaya lagi, urus BPJS lagi, yakin mau menikah hanya karena orang-orang di sekitar kamu sudah pada menikah? 


Kalau aku pribadi lebih memilih untuk pindah lingkungan. 


Karena agama. 


Ibadah? 


Banyak cara untuk ibadah selain melakukan pernikahan. 


Semua orang yang beragama dan percaya konsep Ketuhanan pasti tahu bahwa pernikahan bukanlah satu-satunya ibadah yang dianjurkan.


(Tidak mau bahas agama ah).



Karena ingin bahagia?


Apakah setelah menikah hidup akan terasa lebih bahagia? Sebulan kemudian mungkin. 


Sebelum tahu bagaimana caranya mencari kenyamanan di tengah ketidakpastian, sebelum sadar betapa merepotkannya menyuapi mulut orang lain sebelum menelan kunyahan sendiri, sebelum paham apa itu kebenaran di tengah kemunafikan. 

Banyak cara untuk bahagia dan aku tidak memilih pernikahan untuk menemukan kebahagiaan itu.


Aku bahagia dengan cara mencari kebahagiaan yang terbaik menurutku pribadi. Bangun jam berapa saja bebas, makan apa saja dan di mana saja juga dengan siapa saja tidak ada yang melarang. Pergi ke suatu tempat liburan menikmati pantai sambil minum bir atau air kelapa dengan rokok mentol, bertemu banyak orang baru, mencoba makanan yang belum pernah aku makan, menikmati perjalanan sendiri dari satu kota ke kota yang lain, shoping, nonton, ngopi di cafe sambil baca cerita fiksi favorit, mendengarkan lagu pilihan, tidak ada jam malam atau seseorang yang menunggu kabar dan bertanya mau pulang jam berapa, aku bisa menikmati banyak waktu sendiri, ya bolehlah sesekali dengan teman atau keluarga dan orang-orang yang aku sayang tanpa harus menjalin hubungan atau ikatan pernikahan. 


Mungkin, jika memang mau menjalin sebuah pernikahan, pesanku:


Menikahlah ketika kamu sudah siap dengan segala sesuatu hal yang akan terjadi di dalamnya. Menikahlah dengan setepat-tepatnya bukan secepat-cepatnya. 

Cukup dengan alasan itu. Tanpa tapi. 



(Kebayang kalau tiba-tiba aku berubah pikiran dan bertemu dengan seseorang yang tepat).


----


"Secara tidak sadar, banyak orang yang saling menyakiti dan mengecewakan dengan mengatasnamakan cinta dan kasih sayang."

Senin, 02 September 2024

Nugraha is My Name (Part 36)

 



PERINGATAN !


Sebelum membaca artikel ini, diharapkan agar pembaca sudah berusia 17 tahun, mempunyai kemampuan untuk menghargai dan menerima juga open minded. 

Karena artikel ini berdasarkan pengalaman pribadi dan terdapat konflik secara mendalam dari konteks, paradigma, opini dan juga akan menyertakan orang-orang yang pernah ada di kehidupan pribadi sang penulis secara jujur yang bisa dikonfirmasi secara komprehensif. 


- Nugraha is my name.


-------



Aku selalu menyukai rumah. 

Meskipun rumah tidak bisa menghentikan hujan, tapi rumah bisa memastikan agar aku tidak terkena hujan. 

Tapi rumahku terlalu banyak, hingga aku tidak tahu harus masuk ke rumah yang mana lagi. 

Dan ini bukan tentang rumah. 


***


Tahun ini tidakkah menjadi tahun terberat dalam hidupku, aku pernah melewati tahun di mana semuanya terasa hancur tanpa tersisa. Tapi sehancur apapun tahun itu, hidupku masih tetap berjalan meskipun disertai dengan perasaan yang memilukan tapi sekaligus menyenangkan. Karena dari tahun terberat kala itu aku bisa belajar juga lebih bersiap jika suatu saat tahun seperti itu terjadi lagi. 


Aku bukanlah tipe orang yang menangisi kepergian atau kehilangan, apalagi sampai aku harus menyesali sesuatu yang sama sekali tidak berdampak apapun untuk kehidupanku. Dalam hal ini adalah tentang orang-orang yang dengan mudahnya datang dan pergi ke dalam hidupku. Orang-orang yang dengan beraninya melangkah masuk dan keluar tanpa pamit hingga kabar apalagi ungkapan. Ungkapan yang menjelaskan beberapa alasan mengapa dia memutuskan untuk meninggalkanku dengan banyaknya harapan beserta bagian juga serpihan yang membekas di dalam hatiku. 

Meskipun aku selalu diperlakukan seperti itu berulang kali, aku hanya menganggap bahwa mereka menjelaskan apa yang sebenarnya mereka rasakan atas kesadaran dari apa yang mereka inginkan selama ini. Aku tidak akan pernah menahannya untuk tetap tinggal apalagi menariknya kembali agar bisa bersamaku, justru aku akan membuatkan jalan hingga cara agar dia bisa dengan leluasa untuk melakukan semua angan-angannya. 


Beberapa hari yang lalu aku bertemu dengan orang yang selama ini selalu aku hindari. Aku hindari secara emosional bukan dalam jarak yang sebenarnya. Karena setelah aku mengetahui fakta tersakit itu, aku semakin sadar bahwa keberadaanku bukanlah hal yang pernah dia harapkan. Dia hanya terjebak dalam situasi dan kondisi yang mau tidak mau dia harus menjalani kehidupannya bersamaku. 

Aku bisa membayangkan betapa sulitnya kehidupan dia selama ini. Di tengah perjalanan hidupnya sejauh ini dia harus mengikutsertakan namaku dalam hari-harinya. Tidak tahu semarah dan sedalam apa penyesalan dia sejauh keberadaanku di dunia ini. Hingga dia tidak mampu lagi menjelaskan dan mengungkapkan perasaannya terhadapku. Selain kepura-puraan dan kepalsuan yang katanya bentuk dari rasa sayang dengan cara bagaimana dia melihat, berbicara dan mematahkan semangatku dibalut dasar logika tingkat tinggi yang terus-menerus dia lontarkan terhadapku. Hingga aku tidak lagi mempunyai mimpi juga harapan untuk melanjutkan hidup dengan cara yang sama seperti manusia lainnya.

Jangankan mimpi dan beberapa harapan untuk melangkahkan kaki selangkah saja aku ragu, jangankan melangkahkan kaki, pernah berpikir untuk terbangun di keesokan hari saja rasanya tidak ada bagiku. Sedalam itu kerusakan yang dia ciptakan untukku, untuk hidupku. 

Apakah dia pernah menyadarinya? 

Aku kira tidak pernah. 


Untungnya hatiku bukan hanya terbuat dari ligamen dan sesuatu yang mudah hancur. Untungnya pula otakku bukanlah tercipta dari glia dan neuron saja. Karena perasaan dan pikiranku ternyata bisa sekuat itu meskipun berkali-kali dihantam dan dijatuhkan oleh perlakuan dan kata-kata juga lirikan mata yang penuh arti itu. 

Aku bisa kembali bangkit dalam langkah yang sesekali tertatih dan terkadang berjalan sempoyongan.

Aku masih mampu untuk menemukan jalan yang harus berbeda dari kebanyakan orang pada umumnya. 

Aku masih bisa menerima semua kenyataan dan banyaknya hal yang tidak pernah aku kira sebelumnya. 


Setelah sekian lama aku bergelut dengan perasaan dan pemikiran terbaik yang aku ciptakan sendiri, setelah sekian lama waktu berlalu bersama rasa ikhlas yang terus menerus aku usahakan, setelah beberapa kali aku menyadarkan diri bahwa semuanya tidak harus dengan apa yang aku harapkan, ternyata hanya dengan cara dia memberiku sedikit bantuan saja seketika keterpurukan dan kehancuran mental juga rasa menyalahkan diri sendiri yang selama ini menggerogoti tubuhku atas keberadaanku di dunia ini tiba-tiba sirna bagai pasir tersapu deburan ombak yang tenang. 

Seketika naluri untuk terbangun dari tidur panjangku tumbuh dan menjalar dengan begitu cepat. Seperti mendapatkan setetes air di tengah padang gurun yang tandus. Bahkan tidak ada lagi perumpamaan yang akan setimpal untuk menggambarkan betapa bahagianya diriku saat ini. 

Tenyata tidak sesulit yang dibayangkan untuk menciptakan rona bahagia di wajah murungku yang selama bertahun-tahun berdusta atas canda dan tawa yang selalu aku pancarkan. 

Terima kasih untuk kamu orang yang memberiku sebuah rasa bahagia yang tidak pernah aku dapatkan selama hidupku. Semoga kamu juga mendapatkan kebahagiaan yang tidak pernah kamu dapatkan selama ini. 

Bagaimana pun keadaan kita, seberapa renggang pun hubungan di antara kita berdua, kamu tetaplah Ayahku, dan aku akan selalu menjadi anakmu.


Aku tidak berharap ada kalimat atau ucapan bahwa kamu memperdulikan dan menyayangiku, tidak, kita sudah tahu tidak perlu kata-kata itu lagi, sudah bukan waktunya juga. Aku juga tidak bisa menjanjikan ungkapan yang menjelaskan betapa pentingnya dirimu dalam hidupku, karena aku masih membutuhkanmu untuk memberiku support secara mental. Tapi aku bisa memastikan satu hal, bahwa aku tidak akan pernah melupakanmu seumur hidupku dalam doa dan obrolanku bersama Tuhan. 


***


Tentang rindu.

Katakan kepadanya bahwa aku rindu. Tapi rindu ini sudah tidak mampu aku ungkapkan dengan cara apapun. Karena sekarang rinduku hanya berbentuk bisu dan diam saja, terkadang rinduku menjadi harapan dalam angan-angan. Karena kata-kata selalu terbatas dalam bertutur, tindakan selalu terbatas dalam mengekspresikan, dan air mata pun tidak lagi selalu melegakan. 

Sedangkan rinduku bukanlah sebuah hasrat yang hanya berdiri di lubuk hati, melainkan sebuah rasa yang terus menggali ke dalam yang tidak berdasar, dan dalam ketiadaan dasar juga batas itulah rinduku berubah menjadi doa ketika membayangkan dan melihatmu dari sini, dari kejauhan.