PERINGATAN !
Sebelum membaca artikel ini, diharapkan agar pembaca sudah berusia 17 tahun, mempunyai kemampuan untuk menghargai dan menerima juga open minded.
Karena artikel ini berdasarkan pengalaman pribadi dan terdapat konflik secara mendalam dari konteks, paradigma, opini dan juga akan menyertakan orang-orang yang pernah ada di kehidupan pribadi sang penulis secara jujur yang bisa dikonfirmasi secara komprehensif.
---
Setelah sekian lama aku tidak pernah menunggu dan mencari, nyatanya semua hal itu tidak akan pernah bisa dihindari ataupun aku abaikan. Karena semakin aku menghindar dan mengabaikan, justru semesta ini jauh lebih rumit. Dulu aku selalu berusaha keras untuk dekat dengan seseorang, dan terkadang aku juga berusaha untuk lebih keras lagi menghindar dari seseorang. Tapi semuanya tidak pernah berhasil. Sampai pada akhirnya aku mengikuti bagaimana cara dunia ini berputar.
Pengorbanan bermula dari rasa cinta, kasih sayang dan keinginan untuk membahagiakan orang lain.
Selalu terjadi kepadaku jika ada keinginan itu memang untuk membahagiakan orang lain, tapi aku tidak sadar bahwa aku tidak cukup bahagia karena itu. Justru aku sedang menantang banyak rasa kecewa karenanya. Karena yang terjadi adalah aku malah mengorbankan diriku sendiri. Hingga pada akhirnya aku tersadar, bahwa pengorbanan tidak akan selalu bisa diterima dan diakui, dan yang terjadi hanyalah timbulnya rasa yang berbalik, yaitu benci dan bahkan menyakiti karena sebuah ekpektasi.
Jujur, aku sudah lama tidak merasakan yang namanya jatuh cinta lagi untuk belakangan ini. Mungkin untuk sekarang hanya sebatas di level jatuh hati yang masih bisa aku akhiri kapan pun aku mau. Dan jika pada suatu saat aku diberi kesempatan lagi oleh semesta untuk jatuh cinta, sepertinya aku akan ada di level tertinggi mencintai dengan cara merelakan. Karena aku ada harapan bahwa orang itu akan lebih bahagia bersama orang lain di luar sana.
Aku juga kerap membayangkan tidak punya tanggung jawab apa pun terhadap orang lain. Tidak punya kewajiban apa-apa kecuali merawat diri sendiri. Tidak mempunyai janji-janji. Tidak mempunyai koneksi dengan manusia. Tidak bersangkut-paut dengan hal-hal yang tidak bisa aku kendalikan . Aku mengembara jauh, jauh sekali, sampai ada di tahap aku tidak tahu sedang berada di mana. Aku ingin mengetahui letak paling dasar sebuah kesunyian, keheningan, atau lebih dari itu, yaitu letak diriku.
Lagi pula aku sudah menemukan kalimat yang menjadi patokan dalam hidupku untuk sekarang hingga nanti, yaitu siapa pun yang mencintaiku maka dia akan datang tanpa diminta, akan bicara tanpa ditanya, dan akan tetap setia berada di sisiku dengan segala kerendahan dan kejujuran yang ada di dalam diriku. Selebihnya mungkin dia akan menegurku jika ada sesuatu yang tidak baik dari diriku. Karena lebih baik ditegur karena sayang, dari pada dibiarkan hancur karena pura-pura peduli. Karena cinta tanpa nasihat hanyalah rasa tanpa arah.
Aku juga menerima sisi bahagia dalam diriku dengan cara melepas niat membuktikan sesuatu kepada orang lain. Aku tidak harus bersusah payah hanya agar bisa diterima.
Meskipun terkadang aku selalu berkata kepada semua orang, jangan menyerah.
Sementara aku sedang diam-diam belajar cara bernapas dalam runtuh.
Di antara mereka juga ada yang bilang aku kuat.
Karena katanya, yang tersenyum paling lebar biasanya paling selamat.
Padahal aku hanya pandai menyembunyikan retak di balik suara yang terdengar meyakinkan.
Aku juga belajar lagi tentang tanggung jawab yang membuatku sedikit dewasa, rasa sakit yang membuatku cukup kuat, dari banyaknya pengalaman yang membuatku berani, dan dari setiap kesalahan yang membuat diriku lebih bisa belajar lagi. Dan jika aku merasa kecewa, aku akan merasa lebih baik dengan segera pergi dan melupakan semuanya tanpa perlu membenci siapa pun. Sebenarnya tidak apa-apa jika kecewa, karena itu sisi manusiawi yang ada di dalam diri kita sebagai manusia. Tapi dengan aku mengambil langkah untuk pergi, setidaknya sudah tahu "oh ternyata begitu". Karena katanya, orang sabar tidak membanting pintu saat pergi. Tapi dia akan menutup pintunya dengan pelan, tapi selamanya.
Apakah aku pernah merasakan kesepian?
Aku merasa baik-baik saja sampai di mana aku merasa ini terlalu sepi dan jauh dari semuanya. Mungkin ini yang namanya tenang dan aku hanya perlu belajar untuk terbiasa.
Lagi pula kesepian itu hanya sebuah perasaan yang timbul karena adanya sebuah kehadiran yang disertai dengan berbagai macam ekpektasi yang aku tempatkan di situasi itu. Di sini konteksnya adalah ketika bertemu dengan seseorang.
Aku tidak akan pernah memaksa siapa pun untuk tetap tinggal, tidak akan pernah juga melarang siapa pun untuk datang, tapi aku akan menanamkan bahwa setiap masa ada orangnya, dan setiap orang ada masanya. Semua ini hanya tentang bagaimana aku bisa mengendalikan responku terhadap banyak kejadian yang datangnya dari luar. Sampai kapan pun manusia hanya akan bisa mengontrol apa yang datangnya dari dalam diri manusia itu sendiri, bukan sesuatu yang datangnya dari luar.
Pada saat ini aku lebih merasa bahagia karena ternyata aku bisa menemukan banyak cara hanya agar bisa bahagia. Dan rasa bahagiaku tidaklah selalu spesifik. Karena aku sudah ada di tahap apa pun jalan yang aku tempuh, apa pun yang terjadi kepadaku, serumit apa pun masalah yang menghampiriku, kuncinya hanya ada satu, yaitu bersyukur. Mungkin akan lebih mudah untuk bersyukur ketika mendapatkan hal-hal yang baik. Tapi tidak semua orang akan mampu untuk bersyukur di saat dia mendapatkan hal-hal yang kurang cukup baik.
Aku juga sudah tidak takut lagi jika ditinggal orang-orang terdekatku, tidak akan rapuh lagi ketika dikhianati orang yang sudah aku percaya, tidak akan marah lagi jika seseorang memperlakukanku dengan kurang baik, tidak akan sakit hati jika ada orang yang menghina dan merendahkanku, tidak akan pernah merasa kesepian jika makan, tidur dan pergi ke mana pun sendirian. Aku selalu berusaha untuk merespon hal-hal yang bisa aku kendalikan saja.
Sejauh ini kekuranganku hanya satu, mungkin akan terdengar klise dan cukup naif. Karena aku selalu punya ekpektasi bahwa ketika aku nyaman dengan seseorang, di sini aku menggeneralisasikan siapa pun yang ada dalam kehidupanku. Aku selalu mempunyai keyakinan bahwa orang itu tidak akan pernah mengecewakanku. Padahal langkah pertamaku saja sudah salah. Karena pada kenyataannya dengan cara menyimpan ekpektasi kepada sesama manusia saja sudah dengan terang-terangan bahwa aku sudah siap terluka karena ekpektasiku sendiri. Faktanya adalah ketika aku berharap kepada sesama manusia, maka disanalah aku sudah menanam benih kekecewaanku sendiri. Semakin lama aku menaruh rasa itu maka akan semakin mengecewakannya untuk diriku.
Sampai sejauh ini aku sudah berusaha untuk mengurut dan mengurai semuanya dari awal. Penyebab, akar, masalah, dan aku berusaha lagi untuk fokus mengontrol hal-hal yang bisa aku kendalikan saja. Karena hidup ini sementara, aku hanya akan fokus ke bagian yang membahagiakan saja. Sekalipun aku harus lebih terbiasa bersyukur dengan hal-hal yang tidak baik yang terjadi dengan hidupku.
