Aku seorang pembunuh, pencuri, penipu, pembohong, dan aku juga seorang pengkhianat.
Hingga pada akhirnya aku bisa meninggalkan semua julukan itu setelah bertemu dengannya.
Tapi sebelumnya aku harus mencari tahu siapa Namaku.
*
Orang yang terluka itu berbahaya, karena dia tahu bahwa dia bisa bertahan. - Nugi Nugraha
***
Part 1
***
Aku tidak mempunyai nama, identitasku juga tidak jelas, apalagi setelah aku lulus dari sekolah khusus yang tidak semua orang mengetahuinya, yaitu sekolah intelijen.
Aku seorang pembunuh, pencuri, penipu, seorang pembohong, dan aku juga seorang pengkhianat.
Aku melakukan semua itu demi satu hal yang aku kejar. Yaitu..
Tapi sebelumnya aku harus mencari tahu siapa diriku, dimulai dari namaku.
"Orang yang terluka itu berbahaya, karena dia tahu bahwa dia bisa bertahan."
***
2024.
Akhirnya aku bisa mewujudkan mimpiku selama ini, aku mempunyai rumah 2 lantai dengan pemandangan yang langsung ke laut. Bentuknya persis sama dengan yang pernah aku gambar saat di bangku sekolah dasar dulu, dengan warna cat abu, jendela kaca yang banyak, ber-rooftop, dan ada kolam kecil di halaman belakang.
Rumahku tidak terlalu besar tapi mempunyai halaman yang cukup luas yang dipenuhi dengan berbagai macam tanaman.
Aku membeli rumah ini sudah dari setahun yang lalu, tapi baru aku tempati beberapa Minggu kebelakang. Sebelumnya aku berpindah-pindah tempat karena harus mengurus beberapa pekerjaan.
Aku seorang laki-laki yang tidak mempunyai nama yang pasti, umurku saat ini 30 tahun, pekerjaanku adalah..
***
2010.
Hidup di tengah keluarga yang harmonis adalah impian setiap anak.
Mempunyai Ibu yang memanjakan anak-anaknya dan Ayah yang selalu pengertian. Mereka mempunyai nama kesayangan untukku, yaitu Ceng. Diambil dari bahasa Sunda dengan asal kata Aceng yang berarti anak laki-laki.
Aku juga mempunyai kakak perempuan yang selalu menyayangiku. Dia juga mempunyai nama kesayangan khusus untukku, yaitu Oto. Nama Jepang Otouto yang berarti adik.
Tapi sayangnya kebahagiaanku itu tidak berlangsung lama. Karena pada suatu siang ketika aku pulang dari sekolah, saat itu aku baru kelas 2 SMP, di depan rumahku sudah ada bendera kuning yang terbuat dari kertas, ternyata Ayahku meninggal.
Itu adalah hari di mana aku memulai petualangan hidup yang sebenarnya.
Perasaan Ibu dan kakak tidak serapuh aku, mungkin karena mereka sudah cukup ikhlas sehingga bisa dengan cepat menerima kenyataan bahwa Ayah memang benar-benar telah pergi untuk selamanya.
Berbeda denganku yang membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk bisa menerima fakta bahwa orang yang selama ini menjadi sosok pelindung bagi keluarga kami memang tidak akan pernah kembali.
Setelah kepergian Ayah, keadaan keluarga kami tidak seperti dulu lagi, terutama masalah keuangan. Apalagi Ibu hanya seorang ibu rumah tangga tanpa keahlian, sedangkan kami sebagai anak masih harus melanjutkan sekolah.
Tiga bulan setelah Ayah meninggal, kami memutuskan untuk pindah ke rumah Nenek yang berada di kota lain. Karena saat itu keuangan keluarga kami sudah tidak memungkinkan lagi.
Rumah kami pun dijual murah hanya agar bisa laku dengan cepat.
Selain uangnya disimpan untuk biaya sekolah kami, hasil dari penjualan rumah juga digunakan untuk membayar biaya pengobatan selama Ayah sakit.
Sudah 7 tahun Ayah bertahan dan berjuang melawan kankernya. Sekarang Ayah sudah tidak merasakan sakit lagi, dia sudah tenang di alam sana.
Rumah nenek cukup besar untuk menampung kami bertiga.
Kebetulan Nenek hanya tinggal berdua bersama Paman, adik dari Ibu.
Nenek sangat beruntung, meskipun Kakek sudah lama meninggal, tapi dia juga meninggalkan beberapa perusahaan yang sampai saat ini masih diteruskan oleh Paman. Jadi tidak perlu khawatir lagi tentang keuangan.
*
2014.
Nenek dan Paman sangat menyayangi kami.
Aku juga cukup dekat dengan mereka.
Bahkan mereka mempunyai nama kesayangan khusus untukku, yaitu Egi. Bahasa Korea yang berarti kekasih dengan asal kata Aegiya
Tidak terasa sudah empat tahun kami tinggal di rumah Nenek. Bahkan kakakku sudah menikah dan memutuskan untuk ikut bersama suaminya. Sedangkan aku tinggal menunggu jadwal untuk ujian akhir sekolah. Sebentar lagi aku tidak akan menjadi beban mereka lagi, setidaknya kalau sudah mempunyai ijazah aku bisa mendapat pekerjaan dan mempunyai uang sendiri, setidaknya uang untuk membiayai hidupku sendiri.
*
Pada suatu malam yang sunyi, aku melihat jam di layar ponselku yang menunjukkan sudah pukul 12. Mungkin karena saking fokusnya aku belajar, dengan harapan agar aku mendapat hasil ujian yang bagus. Padahal ini adalah malam Minggu yang kebanyakan orang menghabiskan malam untuk bersenang-senang di luar rumah bersama teman-teman sepantarannya.
Angin terasa seperti menusuk kulit, aku lupa memakai jaket, aku merasa lebih fokus belajar di luar rumah, di halaman depan tepatnya dengan ditemani secangkir kopi.
Aku pun segera menuju kamarku yang terletak di lantai 2 bersebelahan dengan kamar Paman.
Karena sekarang malam Minggu, Paman sudah biasa menghabiskan waktu entah itu bersama pacar atau teman-temannya.
Jadi tidak terdengar ada suara musik yang dia putar hingga tengah malam seperti biasanya. Itulah salah satu alasan kenapa aku lebih nyaman untuk belajar di halaman rumah.
Pamanku saat ini umurnya 36 tahun.
Dia pernah menikah dan mempunyai satu orang anak. Tapi karena ada suatu permasalahan, dia memutuskan untuk bercerai. Sedangkan anaknya ikut bersama mantan istrinya.
Setelah membereskan buku, aku pun merebahkan tubuhku dan mulai tertidur.
Mungkin karena tidurku belum cukup lama, aku masih bisa mendengar suara orang yang berbicara di lantai bawah dan bahkan sesekali terdengar berteriak.
Karena merasa penasaran, aku pun bangun dan keluar dari kamar untuk mengintip ke bawah.
Tapi rasa penasaranku tidak berlangsung lama, karena Paman terlihat keluar dari kamar Nenek dan segera menuju ke lantai atas.
Dengan segera aku pun bergegas kembali masuk ke dalam kamar.
*
Aku terbangun saat pintu kamarku diketuk dengan begitu keras.
Begitu dibuka ternyata itu adalah Ibu yang membangunkanku dan berkata bahwa Nenek meninggal.
Meninggal?
Apakah ini mimpi?
Bukan, ini bukan mimpi.
***
Next.