Setiap orang pasti mendambakan keluarga yang utuh dan juga harmonis.
Keluarga yang bisa dijadikan rumah, tempat berlindung, tempat berbicara segala sesuatu yang sedang dirasakan, dan menjadi yang pertama mengingatkan dikala langkah tidak terarah.
*
50 tahun yang lalu, aku terlahir di tengah keluarga yang kurang beruntung.
Aku tinggal di sebuah kontrakan kecil bersama kedua orang tua dan satu orang kakak.
Kehidupanku serba kekurangan.
Jangankan untuk membeli barang-barang bagus atau mainan seperti kebanyakan anak seumuranku, untuk makan saja kami kesusahan.
Tepat saat usiaku 10 tahun, Ayah memilih pergi meninggalkan kami.
Dia mempunyai jalannya sendiri, memilih egonya dan memutuskan untuk tidak lagi memperdulikan kami sebagai keluarganya.
Di saat itulah aku mempunyai janji pada diriku sendiri, jika suatu saat aku mempunyai keluarga, aku akan memperlakukan mereka dengan sebaik mungkin.
Aku tidak ingin jika keluargaku nanti merasakan apa yang aku rasakan saat ini.
***
Saat ini aku sudah diberi kepercayaan untuk menjadi Ayah dari 2 anak laki-laki dan 1 orang perempuan.
Kedua anak laki-lakiku pernah aku sekolahkan di luar negeri, bukan berarti pendidikan di dalam negeri kurang bagus, hanya saja aku berharap mereka memiliki wawasan yang lebih baik dariku.
Kini mereka membantuku mengurus beberapa usaha yang sudah aku bangun bertahun-tahun.
Anakku yang pertama baru setahun melangsungkan pernikahan dengan seorang wanita yang sangat dicintainya. Malah orang tuanya juga mempunyai usaha yang tidak jauh berbeda denganku.
Dan tinggal menunggu beberapa Minggu lagi aku akan menimbang cucu pertamaku.
Sedangkan anakku yang kedua memilih fokus untuk mengurus usaha baruku yang sesuai dengan keahliannya, yaitu bidang otomotif. Apapun yang diinginkan oleh anak, apalagi itu demi kebaikannya juga, sudah pasti aku akan mendukungnya entah itu dengan doa dan terlebih lagi materi.
Meskipun usahanya belum genap satu tahun, tapi aku sudah melihat hasil dari kerja kerasnya. Terlihat sebuah mobil menambah koleksi di garasi rumah kami.
Anak bungsuku yang paling aku manja. Apalagi anak perempuan satu-satunya. Mungkin sedikit dibedakan pula dari kedua kakaknya. Meskipun baru menginjak bangku SMA, dia sudah aku berikan sebuah mobil yang menjadi favoritnya. Demi sebuah gengsi, katanya.
Anak zaman sekarang memang sudah seperti itu. Hanya kitanya saja yang harus lebih memahami mereka. Apapun akan aku berikan, jika tidak ada pun akan aku usahakan, asalkan mereka bahagia.
Kebahagiaanku juga anak-anakku tidak berarti apa-apa tanpa adanya seorang istri yang mungkin menjadi idaman bagi setiap suami di luar sana.
Selain pandai merawat kami, dia juga menjadi sosok istri yang sangat penyayang, pengertian, dan tidak banyak menuntut.
Dia adalah seorang wanita yang sangat aku sayangi, terbukti dia yang tetap bersedia mendampingiku menjalani proses kehidupanku. Entah sedang dalam keadaan susah maupun senang.
Usianya satu tahun lebih muda dariku. Pertama bertemu dengannya pada saat kami masih duduk di bangku SMA. Dia adik kelasku. Wajahnya masih tetap cantik sama seperti saat pertama kami bertemu.
Meksipun dia bukan istri yang penuntut, tapi aku sebagai suami yang penuh pengertian selalu memenuhi kebutuhannya.
Perawatan rutin setiap Minggunya, uang belanja yang tidak pernah kurang, ada jatah berlibur bersama ke luar negeri atau ke luar kota. Meskipun tidak selalu berlama-lama, tapi setidaknya aku selalu menyempatkan waktu untuk bersamanya.
Terkadang dia juga suka berkumpul menghabiskan waktunya bersama teman-teman arisannya. Katanya suntuk kalau terus di rumah. Apalagi anak-anak juga tidak mesti harus selalu ada Ibunya jika sedang di rumah.
*
Aku sangat merasa bahagia sekali. Mempunyai keluarga yang aku pikir inilah keluarga yang selama ini aku idam-idamkan.
Rasanya sangat sulit jika hanya dilukiskan dengan kata-kata. Yang jelas melebihi kebahagian banyak orang di luar sana.
Bukan berarti aku angkuh dengan keadaan keluargaku, hanya saja kenyataannya memang seperti ini, keluargaku sangat bahagia.
Rumah kami cukup besar dan berada di perumahan elit ternama. Bukan sesuatu yang aneh jika keluarga kami memerlukan para pekerja untuk membantu mengurus urusan rumah tangga.
Seorang wanita yang umurnya 45 tahun. Dia sudah 10 ahun ikut bersama kami. Dan sekitar 2 tahun yang lalu, dia membawa anak laki-lakinya yang berusia 25 tahun untuk turut membantu beberapa pekerjaan di rumah dan sesekali mengantarku pergi ke kantor. Selain membantu perekonomian mereka, aku juga sudah tidak muda lagi, aku membutuhkan supir untuk ke kantor dan bahkan ke luar kota jika memang diharuskan memakai kendaraan pribadi dengan alasan jarak yang masih dekat.
Mereka sudah kami anggap seperti keluarga. Kami memperlakukan meraka tidak seperti pekerja, tapi lebih seperti saudara.
*
Apakah kebahagian akan terus mengalir seperti air? Aku pikir, tidak.
Begitupun yang saat ini aku rasakan. Ternyata hidup ini tidak akan selamanya dalam lingkup yang terus diselimuti oleh kebahagiaan.
Seperti pelangi yang terhapus oleh redupnya mentari, seperti pasir yang bebas tersapu oleh gulungan ombak, seperti badai yang mampu menghancurkan semua yang dilaluinya.
Roda kehidupan masih berputar.
*
Di saat semuanya terasa indah, aku bertemu dengan waktu yang selama ini sangat aku takutkan.
Pertama, anak pertamaku yang tinggal menunggu hari untuk kelahiran anak pertamanya, ternyata dia selingkuh dengan sekretaris di kantornya. Bahkan sekarang selingkuhannya tengah hamil. Istrinya menuntut cerai.
Anakku yang selama ini kami banggakan, berharap bisa menjadi imam yang baik bagi istrinya juga bisa menjadi contoh bagi adik-adiknya.
Anakku juga memutuskan untuk menikahi selingkuhannya itu.
Sampai pada saat di mana menantu baruku itu melahirkan. Alangkah kagetnya saat anakku berkata kalau itu bukan anaknya. Karena sama sekali tidak ada kemiripan dengan dirinya. Apalagi langsung dibuktikan melalui tes DNA.
Hanya berselang beberapa Minggu, mereka sepakat untuk bercerai. Dan mantan istrinya menuntut habis harta benda yang dimiliki oleh anakku, tidak ada yang tersisa. Semua yang pernah dibangun ketika masih bersama istri pertamanya pun habis untuk wanita yang kini menjadi mantan istri keduanya.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Mungkin ini hanya cobaan kecil yang Tuhan berikan untuk keluarga kami.
Aku pun terus mengingatkan kepadanya, bahwa harus tetap sabar dalam mengahadapi semua masalah yang sedang dia hadapi. Yang sudah terjadi biarlah berlalu, harus dijadikan pelajaran untuk kehidupan di masa yang akan datang.
Semuanya kembali normal seperti semula. Seperti tidak pernah ada masalah apapun di keluarga kami.
*
Hari-hariku kembali seperti berada di tengah padang rumput yang hijau, begitu sejuk rasanya dengan angin berdesir yang begitu lembut. Sampai akhirnya aku mendapat kabar bahwa anak laki-lakiku yang kedua tertangkap polisi karena kasus kepemilikan narkoba.
Seperti mendengar petir di siang bolong. Seperti ditimpa batu sebesar gunung tepat di atas kepala. Dan sejak itu pula aku dilarikan ke rumah sakit karena serangan jantung.
Tuhan, cobaan apalagi ini?
Aku pikir, aku sudah mendidik anakku itu dengan sebaik mungkin, bahkan sangat baik sekali. Sekolah pun sampai ke luar negeri. Aku tidak habis pikir.
Kini aku hanya bisa terbaring di rumah sakit.
Beberapa Minggu kemudian, anakku sudah mendapat hasil keputusan sidangnya. Dia harus menjalani rehabilitasi selama 1 tahun. Aku masih belum dapat berpikir lagi. Pikiranku kusut.
*
Cobaan terus datang silih berganti.
Aku masih tetap terbaring di tempat tidur. Tanpa ada seorang pun yang peduli. Bahkan istriku pun entah ada di mana ketika aku terbangun di pagi hari. Meskipun ada yang membantu, tapi semuanya harus memakai biaya, apalagi sakitku yang tidak kunjung sembuh. Usahaku yang aku amanatkan kepada anak pertamaku juga tidak berjalan dengan baik. Pada akhirnya kami harus pindah ke rumah yang lebih sederhana. Jauh berbeda dengan rumah yang sebelumnya kami tempati.
Para pekerja yang sudah bertahun-tahun bekerja di rumah kami pun kembali ke kampung halamannya.
Anakku yang pertama harus mencari pekerjaan baru yang mungkin kalau dapat pun upahnya tidak akan seberapa.
Anakku yang kedua masih harus menjalani rehabilitasinya.
Kepedulian dan kasih sayang dari istriku yang mau tetap mendampingiku dalam keadaan seperti ini pun ternyata jauh dari harapan. Bahkan sudah tidak pantas lagi untuk disebut sebagai seorang istri.
Ternyata selama ini dia hanya berkumpul dengan teman-temannya untuk arisan yang tidak jelas dan menghabiskan uang untuk hal-hal yang tidak ada artinya. Dan terakhir dia mempunyai hutang ratusan juta kepada rentenir. Barang-barang yang ada di rumah kami pun harus direlakan demi membayar hutang-hutangnya.
Ketika semuanya sudah habis pun masih belum cukup.
*
Keluargaku kini tidak sebahagia dulu. Harapanku tinggal anak bungsuku yang sebentar lagi akan lulus dari sekolah.
Mungkin akan masuk ke universitas impiannya. Oh tidak, tapi tidak akan kuliah seperti kedua kakaknya.
Aku menyarankan agar dia langsung mencari pekerjaan saja.
Tapi cobaan untuk keluargaku masih belum usai.
Cobaan masih datang menimpa keluarga kami.
Aku mendengar kabar bahwa anak perempuanku tertabrak mobil dan dia mengalami koma.
*
Aku sudah tidak kuat menerima cobaan demi cobaan yang Dia berikan.
Aku sudah pasrah jika nyawaku langsung Engkau ambil, Ya Tuhan.
***
Tuhan.
Benarkah Engkau kabulkan doaku?
Aku hanya mampu melihat mereka dari sini, dari jauh, dari kegelapan, dari alam yang sudah berbeda.
Anak pertamaku yang setiap hari menyesali perbuatannya.
Anak keduaku yang masih menjalani rehabilitas.
Bahkan anak perempuanku meskipun sudah terbangun dari komanya, sekarang harus berjalan pincang.
Ya Tuhan. Kenapa Engkau biarkan keluargaku tidak sebahagia dulu?
Apa salahku?
*
Tuhan, aku baru ingat, kalau aku lupa bersyukur. Aku lupa berbagi kebahagiaan di saat keluargaku sedang baik-baik saja. Aku hanya memikirkan keluargaku saja. Aku tidak peduli pada saudara-saudaraku yang pada saat itu sedang membutuhkan bantuan dari keluarg kami. Aku melupakan mereka.
Wajar saja jika saat ini mereka tidak ada yang peduli kepada keluargaku.
Aku juga tidak pernah beramal untuk kepentingan yang ada di sekitar lingkungan kami, kepada orang-orang yang kurang beruntung dan juga lembaga sosial lainnya. Jika ada yang meminta sumbangan ke depan rumah kami, kami hanya memberi ucapan maaf saja, "maaf lain kali saja."
Tidak pernah mengadakan syukuran jika keluarga kami sedang mendapatkan sesuatu yang membahagiakan. Di saat anak-anakku lulus sekolah, di saat usahaku maju pun aku lupa tidak pernah bersyukur.
Bahkan kami pun hanya memperkerjakan pegawai di rumah kami dengan upah yang sewajarnya.
*
Dulu aku pernah menabrak seorang anak kecil hingga tewas dan aku malah tetap melaju kencang tanpa menoleh kebelakang apalagi berhenti dan turun dari kendaraan.
Aku pun membebaskan kedua anak laki-lakiku untuk bergaul dengan siapa saja, bahkan pulang hingga larut malam pun aku tidak melarangnya.
Dan terakhir istriku.
Aku sudah salah mengira. Ternyata wanita yang selama ini aku banggakan malah menjadi tombak tumpul yang tidak ada gunanya lagi, terlebih untuk anak-anakku.
*
Aku hanya menatap mata mereka yang penuh harapan kosong dari sini, dengan perasaan yang penuh penyesalan. Kenapa aku melupakan hal-hal kecil yang ternyata dampaknya sangat besar dalam kehidupan keluargaku saat ini.
*
Tuhan, jika aku diizinkan untuk kembali hidup, aku akan memperbaiki semuanya. Aku akan menjadi manusia yang pandai bersyukur. Tidak peduli keluarga kami sedang dalam keadaan susah ataupun senang, ucapan syukur akan selalu kami panjatkan. Bahagia tidak harus dengan berlimpahnya harta, selama napas masih adapun itu nikmat yang sudah melebihi kebahagiaan yang Engkau berikan.
***
Ternyata itu semua hanya mimpi.
Aku pun terbangun dari koma selama seminggu.
Katanya karena terjatuh dari tangga rumah. Sudah seminggu aku terbaring dirumah sakit.
Istri dan ketiga anakku yang dengan sabarnya setia ada di sampingku
Bahkan ditambah seorang cucu pertamaku. Anak keduaku yang ditemani calon istrinya. Anak terakhirku dengan bangga memperlihatkan nilai kelulusannya yang sangat bagus, yang sudah pasti akan diterima di sebuah univeritas ternama di luar negeri.
Terima kasih Tuhan, Engkau memberi gambaran jika aku lupa bersyukur akan seperti apa jadinya.
Tidak akan pernah aku sia-siakan kesempatan hidup ini.
Aku akan mempergunakan waktu ini sebaik-baiknya.
Karena hidup akan lebih bahagia jika selalu bersyukur.
Janji masa kecilku untuk membangun sebuah Keluarga Pelangi yang penuh warna nan indah juga bahagia akan aku wujudkan.